Akhir bulan Juni, tepatnya tanggal 29, selalu menjadi memori tersendiri untuk warga Korea Selatan. Khususnya mereka yang di tahun 2002 pernah menikmati mukjizat dalam sejarah sepakbola karena dianggap berhasil menggelar hajatan sepakbola paling akbar empat tahunan sekaligus tampil heroik di ajang tersebut.
Terlepas dari kontroversi kemenangan atas Italia yang masih membekas di ingatan, perjalanan Taeguk Warriors menghasilkan euforia tersendiri. Walau akhirnya harus menangis setelah keok dari Jerman pada babak semifinal lewat gol tunggal Michael Ballack, tapi perjalanan mereka sesungguhnya baru selesai di laga perebutan tempat ketiga melawan Turki.
Memanggul banyak harapan, utamanya sebagai tim Asia pertama yang berpotensi mengakhiri kejuaraan dengan finis di peringkat ketiga, Korsel berusaha tampil spartan. Namun nahas, Turki justru memamerkan performa yang lebih fantastis. Termasuk mencetak gol tercepat dalam sejarah Piala Dunia via sepakan Hakan Sukur pada detik ke-11 selepas sepak mula. Bagi masyarakat Korea Selatan sendiri, laga ini bertajuk The Farewell Match.
Malam itu, tanggal 29 Juni di Stadion Daegu, berakhir sudah perjalanan Hong Myung-bo dan kawan-kawan. Menariknya walau kalah dan tidak berhasil meraih medali perunggu yang biasa disematkan di leher tim-tim yang finis sebagai peringkat ketiga, tak ada suara tangisan yang terdengar di stadion.
Fans Taeguk Warriors malah terus menyanyikan chant bagi tim nasionalnya. Ya, ada perasaan bangga yang melonjak-lonjak di kepala dan dada mereka. Kenyataan ini seakan cukup untuk membuat masyarakat Negeri Ginseng lupa akan kesulitan hidupnya dan tersenyum bahagia dalam jangka waktu yang lama. Hebatnya, seluruh momen fenomenal Korea Selatan di Piala Dunia 2002 tersimpan rapi dalam sebuah museum yang bernama Football Faentasium.
Sumber: Penulis
Saya cukup beruntung, karena sebelum pandemi Corona menyapa, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan riset mengenai stadion sepakbola di Asia. Penelitian tersebut mengharuskan saya untuk meninjau langsung Stadion Sangam (selama Piala Dunia 2002 dikenal dengan nama Seoul World Cup Stadium) di kota Seoul dan mengamati cara mereka dalam menyimpan memori sebagai salah satu negara yang pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Perjalanan ini yang membuat saya menginjakkan kaki di Football Faentasium. Jujur, awalnya saya kira hanya akan berisi pajangan ratusan foto-foto saja. Ternyata dugaan saya salah besar.
Letak museum sepakbola ini persis di dalam area Stadion Sangam yang berada di jantung ibu kota Korsel tersebut. Jika suatu hari Anda berkesempatan untuk mengunjunginya, patokan paling mudah adalah turun di stasiun MRT Stadion Sangam dan carilah bangunan khusus yang menjual merchandise FC Seoul, klub lokal Korea Selatan yang bermarkas di stadion itu.
Museum ini terlihat jelas dari gerai merchandise karena warnanya yang serba merah, layaknya warna kebanggaan timnas Korea Selatan. Harga tiket masuknya sendiri bisa dikatakan cukup murah untuk ukuran penduduk lokal. Bila dikonversi ke mata uang Rupiah, jumlahnya sekitar 150 ribu. Nominal yang setara dengan harga dua tiket nonton bioskop premium dikala weekend bersama pacar, kan?
Recalling The Moment adalah ramuan utama yang coba disajikan dalam bangunan bertajuk museum sepakbola modern. Layaknya teori experiental marketing yang menuntut penggunaan seluruh indera manusia untuk dapat menikmati produk yang ditawarkan, spot-spot yang ada di museum ini cukup memanjakan mata, telinga, serta tubuh kita yang seolah ikut hadir dalam kejuaraan akbar tersebut.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di museum yang didirikan setelah Piala Dunia 2002 usai, Anda akan diajak melihat perjalanan timnas Korea Selatan di berbagai turnamen mayor. Meski demikian, sorotan utama di museum ini memang perjalanan hebat mereka ketiak jadi tuan rumah Piala Dunia 2002 bersama Jepang.
Seperti yang saya utarakan sebelumnya, museum ini tidak hanya berisi foto-foto bersejarah dalam kancah sepakbola Korea Selatan. Di salah satu spot, Anda akan diajak berdiri melingkar menatap sebuah video berbentuk hologram, yang di dalamnya menampilkan gol sundulan dramatis Ahn Jung-hwan ke gawang Gianluigi Buffon.
Sumber: Penulis
Puas melihat hologram megah tersebut, Anda akan dihadapkan pada sejumlah video yang salah satunya berisi teriakan Guus Hiddink, pelatih Korsel di Piala Dunia 2002, saat memberi instruksi di pinggir lapangan. Anda seolah-seolah jadi seorang pemain yang tengah beraksi di lapangan dan menerima instruksi sang pelatih.
Seperti museum Madame Tussauds yang memajang beraneka patung lilin, Football Faentasium juga memamerkan beberapa patung lilin dari pesepakbola legendaris Korea Selatan. Mulai dari Myung-bo sampai Cha Bum-kun, pesepakbola pertama dari Negeri Ginseng yang bermain untuk kesebelasan Eropa.
Buat Anda yang suka dengan segala hal berbau games, hampir seluruh permainan di museum ini berbentuk aktivitas. Misalnya saja Anda diminta untuk menggantikan Park Ji-sung untuk menendang penalti dan menjadi seorang kiper dengan jersi nomor punggung satu milik kiper legendaris Lee Woon-jae. Permainan berbentuk Virtual Reality juga tersedia dengan suasana menonton langsung megahnya partai final Piala Dunia 2002 antara Brasil melawan Jerman.
Kurang lebih Anda membutuhkan waktu satu hingga dua jam untuk mencoba semua aktivitas dan mengenang euforia momen yang disajikan. Tenang saja, jika Anda bingung, selalu tersedia seorang pemandu yang bahasa Inggris-nya sangat baik. Rute akhir dari museum ini adalah melewati lorong yang mengabadikan seluruh jersi asli 23 pemain Taeguk Warriors yang bermain di Piala Dunia 2002 dan disertai beberapa foto mereka ketika sedang bertanding. Ikonik!
Sumber: Penulis
Andai suatu saat Anda berkesempatan untuk mampir ke Seoul, setelah puas menemani pasangan Anda belanja kosmetik atau menikmati jajanan yang tersedia Myeongdong, Anda harus menyempatkan mampir ke Football Faentasium. Saya sendiri, hingga saat ini, masih terpana jika mengingat kehebatan Korea Selatan berfantasi dengan memori indah belasan tahun lalu lewat keberadaan sebuah museum yang modern.
Semoga saja sepakbola Indonesia dapat belajar dari keberadaan Football Faentasium ini, terlebih pada tahun 2021 mendatang kita menjadi tuan rumah ajang Piala Dunia U-20. Paling tidak, kita bisa belajar untuk mengarsipkan memori-memori yang ada dari kejuaraan tersebut sehingga dapat dijadikan modal agar di masa depan, Indonesia mampu menjadi tuan rumah ajang yang lebih besar lagi.
Jangan sampai menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 hanya jadi ingatan semata tanpa ada kepingan yang bisa kita pelajari dan kenang secara visual. Di sisi lain, segala artefak yang disimpan itu kelak bisa membuat kita mengerti bagaimana cara membentuk dan mengembangkan timnas Indonesia agar makin berprestasi di kancah regional maupun internasional.