Mario Balotelli menangis tersedu, Italia harus mengakui kedigdayaan Spanyol di final Piala Eropa tahun 2012. Skor 4-0 pada pertandingan itu menunjukkan keperkasaan La Furia Roja atas Gli Azzurri dalam laga yang dihelat di Stadion NSC Olimpiskyi, Kiev.
Sejatinya, Italia bukanlah tim yang diunggulkan masuk ke final. Pasalnya, mereka kudu bersua Jerman yang jadi favorit juara pada babak semifinal. Namun sepasang gol Balotelli bikin Der Panzer tak berdaya dan merelakan tiket ke partai puncak digenggam salah satu rival bebuyutannya tersebut.
Menariknya, partai final antara Italia melawan Spanyol adalah ulangan laga fase grup. Di babak penyisihan, keduanya tergabung di Grup C. Duel antara Gli Azzurri dan La Furia Roja di babak ini sendiri berujung dengan skor imbang 1-1.
Berbekal hasil tersebut, ada sedikit keyakinan bahwa tim asuhan Cesare Prandelli bisa menjegal langkah kubu besutan Vicente Del Bosque.
Akan tetapi, Spanyol yang memang tengah superior di periode tersebut begitu sukar dibendung. Italia seperti diajari cara bermain sepakbola dengan benar oleh lawannya.
Kian mengenaskan, usaha Gli Azzurri untuk memenangkan trofi Piala Eropa keduanya terganjal oleh cederanya dua pemain mereka, Giorgio Chiellini dan Thiago Motta, pada laga tersebut. Gangguan fisik yang menimpa nama terakhir bahkan memaksa Italia bermain dengan sepuluh orang nyaris selama 30 menit laga tersisa.
Tatkala wasit asal Portugal, Pedro Proenca, meniup peluit panjang, sorak-sorai kegembiraan terpancar dari wajah para penggawa Spanyol. Keberhasilan itu membuat La Furia Roja memeluk titel Piala Eropa ketiganya sepanjang sejarah.
Malam 1 Juli 2012 di Kiev akan selalu dikenang pahit oleh penggemar Italia di manapun berada. Sebab mimpi merengkuh trofi Piala Eropa perdana sejak 1968 kembali pupus. Percobaan menyudahi dahaga gelar sedari 2006 juga gagal diwujudkan.
Berjarak 12 tahun dari momen menyedihkan di ibu kota Ukraina, Italia juga pernah mencicipi atmosfer final Piala Eropa. Bertempat di Rotterdam, Italia menantang Prancis dalam laga final Piala Eropa 2000.
Laga diprediksi seru karena kedua belah pihak dinilai punya kekuatan setara. Italia saat itu dimotori oleh Francesco Toldo, Paolo Maldini, dan Francesco Totti. Sementara Prancis diperkuat oleh Fabien Barthez, Didier Deschamps, dan Zinedine Zidane.
Harapan Gli Azzurri untuk mengangkat trofi sempat melambung tinggi tatkala Marco Delvecchio berhasil mengoyak jala Les Bleus pada menit ke-55.
Skor 1-0 untuk keunggulan Italia pun bertahan sampai detik-detik akhir pertandingan. Manakala ofisial tim dan pemain cadangan Gli Azzurri sudah berangkulan dan siap berpesta di pinggir lapangan, injury time selama empat menit diberikan oleh wasit.
Tragis buat Italia, saat laga tersisa sekitar 20 detik saja, mimpi meraih trofi Piala Eropa buyar. Gol Sylvain Wiltord yang menaklukkan Toldo memaksa pertandingan dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Pada saat itu, sistem pertandingan menganut adanya golden goal di babak perpanjangan waktu. Jadi, kesebelasan manapun yang mencetak gol terlebih dahulu, merekalah yang keluar sebagai pemenang.
Gol Wiltord pada detik-detik akhir waktu normal rupanya menggilas mental anak asuh Dino Zoff. Benar saja, Les Bleus akhirnya sanggup memaksimalkan momentum tersebut guna menguasai laga dan mencetak gol.
Berawal dari penetrasi Robert Pires di sisi kanan pertahanan Italia, bola lantas dikirimkannya ke kotak penalti. Saat itu, ada dua pemain Gli Azzurri di lini belakang.
Ironis, tak satu pun dari mereka yang bisa memotong laju si kulit bundar yang mengarah kepada striker Les Bleus, David Trezeguet. Konyolnya lagi, Trezeguet juga berdiri bebas sehingga ia dapat mengeksekusi bola tersebut dengan mudah.
Tanpa basa-basi, striker plontos tersebut menggunakan kaki kirinya untuk melepaskan sepakan voli yang menghujam gawang Toldo buat kedua kalinya sepanjang laga.
Trezeguet dan rekan-rekannya bergembira. Pun dengan sang pelatih, Roger Lemerre. Prancis memenangkan titel Piala Eropa keduanya sepanjang sejarah sekaligus menghadiahi skuad Italia dengan kekecewaan luar biasa.
Alessandro Del Piero disorot tajam oleh tifosi dan media-media Negeri Pizza karena gagal memaksimalkan dua peluang emas yang didapatnya pada pertandingan tersebut.
Tanggal 2 Juli 2000 di kota pelabuhan terbesar di Belanda, air mata Gli Azzurri menetes dengan derasnya, mengulang cerita enam tahun sebelumnya di Pasadena, Amerika Serikat. Ketika itu, Italia gagal merengkuh trofi Piala Dunia 1994 gara-gara kalah adu penalti dari Brasil.
Tatkala sukses menekuk Turki dengan skor 3-0 pada laga perdananya (12/6) di babak penyisihan Grup A. Nada-nada optimisme dari pemilik empat gelar Piala Dunia ini kembali menyeruak.
Terlebih performa yang diperlihatkan anak asuh Roberto Mancini begitu memuaskan. Ciro Immobile serta Lorenzo Insigne tajam di lini depan, Nicolo Barella dan Jorginho jadi mesin permainan yang kokoh di lini tengah, dan duo Leonardo Bonucci-Chiellini tetap tangguh membentengi area pertahanan.
Kemenangan itu sendiri memperpanjang rekor apik Gli Azzurri yang tak terkalahkan di 28 pertandingan terakhirnya. Mancini berhasil membawa angin segar ke tubuh tim.
Regenerasi terus ia lakukan dengan banyak memberi nama baru, terutama yang masih belia, kesempatan untuk mengenakan baju Italia.
Permainan Italia juga lebih menggigit dibanding sebelumnya dengan rataan 2,35 poin per laga alias punya kecenderungan menang lebih besar. Rasio gol tim asuhannya pun melonjak jadi 2,45 gol per pertandingan.
Perjalanan untuk mewujudkan ambisi meraih titel Piala Eropa 2020 masih sangat panjang. Selain menaklukkan lawan-lawannya di atas lapangan, mereka juga wajib menghunus bayang-bayang kegagalan pada sepasang edisi final yang dijalani sebelumnya.
Hanya dengan cara itulah, mimpi mengangkat trofi Henri Delaunay untuk kedua kalinya sepanjang sejarah bisa menjadi kenyataan.