Stoke City tercatat memulai petualangannya di level Liga Primer Inggris sejak musim 2008/2009 di bawah bimbingan Tony Pulis. Perlu dicatat bahwa saat itu saya tidak benar-benar memerhatikan klub medioker Liga Inggris mana pun.
Sampai sebuah kolom di BOLA menampilkan tabel pencetak gol oleh “pribumi” di tiap masing-masing klub di Inggris.
Teringat nama Danny Higginbotham sebagai satu-satunya Englishman yang mencetak gol bagi The Potters. Sejak saat itu, saya mulai sedikit memerhatikan sepak terjang pasukan Britannia. Mulai terdengar stereotip yang melekat pada mereka, seperti “Tim rugby” dan “lemparan ke dalam Rory Delap”.
Simak parade lemparan ke dalam paling nikmat, sekaligus menyebalkan, dari Rory Delap, yang tak jarang membuat banyak pelatih lawan kesal karena akurasi dan daya jangkaunya.
Lee Dixon pernah menulis, “Lemparan jauh biasanya cenderung melambung, sementara punya Delap meluncur seperti tendangan bebas. Jauh lebih berbahaya.” Mantan bek Arsenal tersebut juga menyebut lemparan jauh Delap ini sebagai undefendable—tak bisa ditangkal.
Arsene Wenger, pelatih Arsenal, dengan sedikit kesal pernah melontarkan ide untuk mengganti lemparan ke dalam menjadi tendangan ke dalam. Manajer asal Prancis tersebut mencontohkan bagaimana Rory Delap sedikit “curang” karena kemampuannya melontarkan bola menggunakan tangan.
“Kemampuannya itu merupakan keuntungan yang tidak adil. Ia menggunakan kekuatan yang biasanya tidak ada di dunia sepakbola,” ungkap Wenger kepada The Telegraph.
Satu karakter yang tak bisa dilepaskan dari Stoke asuhan Tony Pulis ialah, gaya bermain mereka yang sangat Inggris tradisional. Para pemain diinstruksikan memainkan bola-bola panjang dan tak boleh ragu menerjang kaki lawan. Kepada Mirror, Pulis berujar, “Kita harus bertahan di Liga Primer Inggris. Jalan terbaik bertahan hidup di sana ialah, Anda memainkan kekuatan (fisik) Anda.”
Dengan derasnya umpan jauh milik Stoke, kita bisa menyebut perekrutan Peter Crouch pada 2011 sebagai “perjodohan sempurna”. Mempunyai tinggi 201 centimeter, Si Jangkung merupakan orang yang tepat untuk menyambut bola dari kiper, Asmir Begovic, atau lemparan ke dalam paling menyebalkan milik Rory Delap.
Untuk alasan itu pula, Ivica Olic sempat melontarkan candaan ketika dirinya mendapatkan tawaran bergabung dengan Stoke City. Saat itu, Mark Hughes baru saja menjabat sebagai pelatih menggantikan Tony Pulis. Meski sudah berganti pelatih, corak bola lambung sudah kadung menjadi ciri khas Stoke. Hal itu membuat Olic “khawatir”.
“Ketika berbicara dengan Mark Hughes aku berkata bahwa leherku bisa sakit karena gaya bola panjang yang Stoke peragakan,” katanya pada GMS.
Ketika itu, Stoke memang sudah lama menaruh minat kepada Ivica Olic yang kontraknya bersama Wolfsburg akan segera habis. Hughes sendiri mengungkapkan bahwa Stoke akan mengubah gaya bermain, tak lagi memperagakan “sepakbola satu arah”, dari belakang ambil bola jauh ke depan.
Saat Pulis lengser, ada kekhawatiran hilangnya stabilitas di Britannia Stadium (kini Bet365 Stadium). Mark Hughes sang pelatih baru juga baru saja “mendegradasikan” Queens Park Rangers pada musim sebelumnya.
Meski demikian, alih-alih terjun bebas, Stoke berhasil meroket di musim pertama Hughes melatih. Ia melampaui torehan Pulis dalam hal capaian poin tertinggi dalam semusim, sesuatu yang konsisten diraihnya pada musim 2013/2014, 2014/2015, dan 2015/2016.
Pendekatan Inggris tradisional khas Pulis digantikan pendekatan Eropa daratan, khususnya Spanyol. Bola-bola panjang mulai jarang terlihat. Kini, bola lebih sering berada di permukaan tanah.
Malahan, Hughes amat mengandalkan lulusan La Masia. Bek Marc Muniesa dan penyerang Bojan Krkic merupakan kontingen Barcelona andalan Hughes. Masih ada nama Ibrahim Afellay yang sempat merumput bersama raksasa Catalan tersebut.
Gaya bermain Hughes yang lebih atraktif juga lebih disukai penggemar. Atas hal itu, mantan pelatih Manchester City ini berani mencanangkan target lolos ke kompetisi Eropa pada musim depan.
“Bagi klub dengan level seperti kita, kompetisi Eropa adalah target terdekat,” katanya. “Kita mempunyai ambisi dan saya sedang berada di klub yang merasa belum mendapatkan prestasi apa yang seharusnya mampu kami raih. Kami tetap mencoba untuk maju lebih jauh.”
Mapannya Stoke di kompetisi tertinggi di Inggris sejak promosi pada 2008/2009 tentu memberikan kesan tersendiri bagi klub lain. Yang paling mengena tidak lain ialah Stadion Britannia itu sendiri. Terutama bila kebetulan pertandingan dijalankan pada malam hari dan musim hujan. Ya, pengalaman bertanding di “cold rainy night in Stoke” sudah menjadi mitos tersendiri.
Belum jika kita menambahkan “windy” mengingat desain Stadion Britannia mengizinkan terjadinya hal demikian. Berbeda dengan stadion lain yang berbentuk persegi panjang dengan tribun penonton mengelilingi seluruh lapangan, pemandangan berbeda terjadi di sana.
Terdapat tiga “celah” yang amat besar di tiga sudut lapangan akibat tribun yang tidak saling menyambung. Saya ingat Juan Mata sampai menata ulang bola sebanyak tiga kali sebelum mengambil sepak pojok dalam suasana “cold rainy and windy night in Stoke”.
Saking keramatnya, “mitos” tersebut menjadi perhatian pemain-pemain di liga lain. Gerrard Pique pernah berseloroh bahwa Barcelona dan Real Madrid bermigrasi ke Inggris, kedunya belum tentu akan dengan mudah menjadi juara karena harus bertandang ke kandang Stoke.
“Aku berpikir jika Barcelona atau Real Madrid bermigrasi ke Liga Primer Inggris, tidak ada kesempatan buat kami untuk juara pada musim pertama karena bertandang ke Stoke akan sangat menyulitkan.”
Stereotip negatif tersebut masih terus melekat sampai sekarang, bahkan ketika Stoke sudah mengubah gaya bermain. Besarnya pengaruh Pulis kala itu membuat Stoke tak dipandang remeh ketika bermain di rumah sendiri.
Hingga memutuskan tak memperpanjang kontrak pada 2013, pelatih asal Wales tersebut telah mematenkan Stoke City sebagai lawan alot bagi siapa pun di Inggris.