Lionel Messi dan Hikayat Skripsi

Agak aneh melihat keputusan Lionel Messi pensiun di timnas pada usia masih cukup bugar dan produktif. Ia masih 29 tahun. Masih bugar, bebas cedera dan sedang menikmati evolusi posisinya sebagai pemain nomor 10 yang mulai langka di Argentina usai pensiunnya Juan Roman Riquelme.

Messi, dengan bulu lebat di dagunya yang memang sengaja dibiarkan tumbuh panjang, semakin matang dan taktis di permutasi posisi terbarunya bersama timnas Argentina di bawah arahan Gerardo Martino. Sederet hal ini adalah pemantik perdebatan.

Untuk apa Messi pensiun? Lelah karena gagal di tiga kali final turnamen besar dalam tiga tahun terakhir? Atau, jenuh dengan nasib buruk yang menghantuinya selama berkostum timnas Argentina?

Tapi, sebentar, nasib buruk? Benarkah ada nasib buruk di timnas? Seburuk apa nasib di sepak bola yang dialami Messi, dibandingkan misal, nasib buruk Michael Ballack bersama timnas Jerman?

Atau dongeng Roberto Baggio di final Piala Dunia 1994? Apa semua bisa disalahkan pada nasib buruk? Atau, memang Messi yang tidak mampu mengangkat Argentina?

Coba Messi merenung sejenak, dan melihat sekitarnya. Coba ia bayangkan rasanya menjadi Zlatan Ibrahimovic yang bertahan hingga usia 34 tahun bersama timnas Swedia. Lima tahun lebih lama dari usia pensiun Messi di timnas saat ini.

Bayangkan Zlatan bermain bersama Albin Ekdal, Jimmy Durmaz dan Erkan Zengin di Euro 2016 ini. Messi memiliki barisan dayang-dayang yang lebih seksi dan lebih menggoda secara kapabilitas teknik dibanding misal yang dimiliki Zlatan di Swedia atau yang dimiliki Cristiano Ronaldo di Portugal usai era Luis Figo dan Manuel Rui Costa.

Hikayat skripsi

Pada tahun 2013, tahun yang sama saat pria Rosario yang menjadi dewa di Catalan itu menjalani periode terbaiknya bersama timnas di bawah asuhan Alejandro Sabella, saya memulai petualangan bersama skripsi untuk syarat dalam memperoleh gelar sarjana di jenjang pendidikan S1 yang tengah ditempuh di sebuah universitas di Malang, Jawa Timur.

Tahun 2013 bukan hanya titik terpenting bagi Messi saja, namun juga bagi saya. Periode awal Sabella (2011-2013) adalah titik balik karier Messi di timnas. Ia diberkahi jabatan kapten utama di usia masih cukup belia, 24 tahun.

Ia menjadi kapten tim Argentina dibanding misal, Javier Mascherano yang lebih matang secara mental. Begitu pula bagi saya, 2013 adalah masa-masa peralihan dari kuliah yang penuh masa bersantai ria menjadi masa genting karena masuk di fase pengerjaan skripsi.

Messi menjalani tiga tahun paska 2013 dengan banyak kejadian, tiga di antaranya bahkan capaian yang cukup fenomenal. Lolos dalam tiga kali final turnamen besar bersama Argentina.

BACA JUGA:  Mengenal Thomas Gronnemark, Spesialis Throw-In

Tidak hanya meloloskan Argentina ke final, Messi juga tampil gemilang di tiga turnamen tersebut. Final Piala Duia 2014 di Brasil, final Copa America 2015 di Cile dan terbaru, final Copa America Centenario 2016 di Amerika Serikat.

Tiga final yang semuanya berakhir dengan gelar runner-up bagi Sang Messiah.

Saya pun menjalani fase yang tak kalah fenomenal dibanding La Pulga. Usai resmi mengampu mata kuliah bernama “Skripsi” di Kartu Rencana Studi per semester 7, saya sudah berganti dosen pembimbing sebanyak tiga kali dalam lima semester terakhir.

Sudah menjalani 15 kali masa bimbingan dengan empat dosen berbeda. Sudah menjalani dua kali ujian seminar proposal yang dua-duanya tidak berlanjut ke ujian sidang skripsi karena saya tinggalkan masa pengerjaannya.

Dan saat ini, di penghujung semester 12, yang beranjak menginjak angka 13 dalam beberapa minggu ke depan, saya sudah resmi menjalani tiga tahun masa pengerjaan skripsi. Tiga kali berganti dosen dalam tiga tahun.

Sampai di titik ini, karena satu dan lain hal seperti yang dinarasikan di atas, saya benar-benar merasa seperti Lionel Messi. Kami begitu dekat secara nasib dan takdir. Terjatuh dalam lautan luka dalam dan tak tahu arah jalan pulang.

Perbedaannya, saya tak kunjung pensiun dari kampus. Saya, seperti laiknya para bocah laki-laki yang menjadi harapan keluarga, memiliki tanggung jawab moral untuk menyelesaikan skripsi sebagai memorabilia manis bagi orang tua.

Ini yang mungkin tidak atau belum disadari pria kidal yang baru saja berulang tahun ke 29 pada 24 Juni lalu.

Messi jangan baper

Messi mungkin sedih, hancur atau tenggelam dalam lautan luka dalam yang masif, tapi ia harus sadar bahwa Argentina masih akan bergantung padanya.

Ia akan memimpin generasi emas Argentina yang bakal berisi nama seperti Paulo Dybala hingga Mauro Icardi dalam dua tahun mendatang di pagelaran Piala Dunia 2018 di Rusia. Atau kalau Messi mau, ia bisa membujuk Tata Martino untuk memanggil Gaston Castano.

Kurang dahsyat apalagi trio lini serang Argentina nantinya?

Cara pandang seperti ini yang harus diubah dari pola pikir Si Kutu. Messi bukan anak kecil, dan berjuang bersama timnas Argentina hingga usia senjanya adalah satu-satunya cara untuk menolak stigma sebagai Sisifus yang dianalogikan Zen RS bagi dirinya.

Messi perlu urgensi untuk merasa bahwa dirinya berjuang, bukan untuk catatan pribadinya semata, tapi juga bagi Argentina.

Bagi Juan Riquelme yang pensiun dari timnas tanpa catatan gemilang. Bagi Hernan Crespo, Ariel Ortega, hingga Pablo Aimar yang tak kunjung memiliki catatan emas mengangkat trofi juara bersama Albiceleste.

BACA JUGA:  Rizky Ridho: Dari Ortuseight ke Mizuno

Messi punya masa edar lebih lama dibanding para legenda Argentina lainnya yang gagal menjadi juara.

Dan yang paling utama, Messi adalah titik sentral permainan Argentina. Ia adalah komposer, sumber imajinasi dan fantasi permainan Albiceleste yang pudar usai ditinggal pensiun oleh Riquelme.

Dari Alfio Basile, Diego Maradona, Alejandro Sabella sampai Tata Martino, semua menjadikannya pusat permainan. Memang tidak ada dari mereka yang sukses memanfaatkan superioritas Messi sebagai pesepak bola dalam bingkai taktikal yang mantap, tapi bukan berarti, Messi tidak akan pernah menjadi juara bersama negaranya.

Pada 2018 nanti, ia akan berusia 31 tahun. Usia yang sama dengan Ronaldo saat ini kala memimpin Portugal berjuang di Piala Eropa 2016.

Messi perlu mentalitas untuk sombong, keras kepala dan bebal. Messi perlu, katakanlah, urgensi untuk selalu merasa dibutuhkan oleh Argentina.

Sebenarnya jujur saja, selain pada Lionel Messi, mau kepada siapa harapan untuk berprestasi nantinya akan disematkan? Pada Marcos Rojo? Pada Ever Banega? Atau, pada Paulo Dybala yang masih belia itu?

Ia masih sanggup menarik ucapannya soal pensiun dan kembali untuk berjuang di kualifikasi Piala Dunia 2018 bersama Argentina. Mirip apa yang pernah dilakukan Zinedine Zidane pada 2006 bersama timnas Prancis di babak kualifikasi hingga putaran final Piala Dunia di Jerman.

Asal tidak cukup tolol mengulang tandukan maut Zidane ke Marco Materazzi, Messi lebih dari layak untuk memimpin Argentina di Piala Dunia dua tahun mendatang.

Sudah hampir pasti, ditariknya ucapan Messi untuk meralat keputusan pensiun akan diikuti oleh Angel Di Maria, Sergio Aguero hingga Gonzalo Higuain. Messi adalah role model, dan seharusnya ia paham itu.

Sepak bola tanpa Messi, tidak akan pernah sama. Ia adalah penanda zaman, sekaligus evolusi permainan sepak bola itu sendiri.

Dan Argentina membutuhkannya, setidaknya, sampai ia tidak lagi menemukan gairah bermain sepak bola dan berhenti untuk pensiun, seperti yang sempat ia katakan dalam salah satu wawancaranya.

Kalah di final dalam tiga tahun terakhir tidak akan pernah membuatnya tenang dalam masa pensiun. Itu akan menghantuinya dan membuatnya meninggalkan sepak bola selama-lamanya jauh lebih cepat dari yang orang bisa perkirakan.

Itulah kenapa suami Antonella Rocuzzo ini tak perlu mengalami gejala anak muda Indonesia yang labil dan gemar baper (bawa perasaan).

Meminjam kutipan mahsyur Albert Camus, Messi perlu paham bahwa demi moralitas dan tanggung jawab, ia berhutang pada sepak bola, dan juga pada Argentina.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.