Coliseum Alfonso Perez sedang bergairah. Stadion yang terletak sekitar tiga belas kilometer dari pusat kota Madrid itu kini selalu penuh dengan para pendukung Getafe Club de Futbol. Kegairahan ini bahkan melebihi euforia laga terbesar mereka sepanjang sejarah, yaitu saat Javier Casquero dan kawan-kawan menghadapi Bayern München pada tahun 2008 lalu.
Partai Getafe kontra Bayern di tahun 2008. Sumber foto: Marca
Alfonso Perez terkenal sebagai salah satu striker Spanyol tersukses sepanjang sejarah. pengujung karirnya memang tiba jauh sebelum La Furia Roja merajai dunia dengan satu gelar Piala Dunia dan sepasang titel Piala Eropa. Namun Alfonso memiliki tempat khusus di hati para pencinta sepakbola Spanyol.
Selain memperkuat tim muda Spanyol yang merebut medali emas di Olimpiade Barcelona 1992, ia juga pernah membela panji Real Madrid, Barcelona, dan klub Andalusia tempatnya melegenda yakni Real Betis.
Lantas, sudah sewajarnya nama pemain yang gantung sepatu pada tahun 2005 ini diabadikan menjadi nama Stadion Coliseum Alfonso Perez di kota kecil di pinggiran Madrid, Getafe. Satu-satunya hal yang mengganjal dari penamaan tersebut adalah Alfonso tak pernah sekalipun membela Los Azulones.
Coliseum Alfonso Perez memang baru diresmikan sekitar dua dekade lalu, yaitu pada tahun 1998. Wajar jika stadion ini belum banyak melihat legenda yang dihasilkan oleh Getafe yang memang baru berdiri 15 tahun sebelumnya.
Mungkin itulah alasan pemerintah Getafe menamai stadion berkapasitas 17 ribu penonton ini dengan nama eks pesepakbola paling terkenal yang lahir di kawasan tersebut, meski tak pernah mengenakan seragam klub sepakbolanya.
Kendati tergolong berusia muda, sudah ada beberapa laga berkesan di dalam sejarah pendek stadion yang satu ini. Jika Anda mengobrol dengan pendukung Los Azulones mereka pasti akan menyebutkan dua momen paling membanggakan selama klub ini berdiri, yaitu pada tahun 2007 dan 2008.
Pada bulan April 2007, Getafe yang masih diperkuat Casquero, Cosmin Contra, dan eks striker timnas Spanyol, Dani Guiza, mencatatkan salah satu remontada terbaik sepanjang sejarah.
Di laga kedua semifinal Copa del Rey 2006/2007, Getafe yang kalah telak dari Barcelona dengan skor 2-5 di laga pertama, sukses lolos ke final usai secara mengejutkan mengukir kemenangan 4-0 atas klub raksasa Catalunya itu.
Laga berkesan kedua sepanjang sejarah Coliseum pun terjadi hampir setahun kemudian. Getafe yang berhak mewakili Spanyol di Piala UEFA (sekarang Liga Europa), menghadapi raksasa Jerman, Bayern. Tak ada yang menduga bahwa Getafe yang tampil di Eropa berbekal status runner-up Copa del Rey, berhasil melaju ke perempatfinal dan menantang salah satu klub raksasa Eropa.
Langkah Getafe memang terhenti di babak tersebut. Namun, klub kecil cenderung miskin dari pinggiran Madrid ini memberi perlawanan sengit kepada Philip Lahm dan kawan-kawan. Langkah Casquero beserta kolega terhenti di tangan Die Bayern hanya gara-gara aturan gol tandang. Perjalanan heroik itu pun melegenda dengan sebuatan ‘EuroGeta’.
Jose Bordalas, Otak di Balik Kebangkitan ‘EuroGeta’
Bernd Schuster dan Michael Laudrup adalah dua pelatih yang membawa Getafe menjadi buah bibir penikmat sepakbola Eropa di pengujung dekade 2000-an.
Schuster adalah otak di balik remontada hebat kontra Barcelona pada tahun 2007 dan lolos ke final Copa del Rey. Sementara Laudrup sukses meneruskan prestasi pendahulunya dengan menembus perempatfinal Piala UEFA serta kembali berlaga di final Copa del Rey 2008.
Sempat terlupakan di awal dekade 2010-an dan kembali ke fitrah mereka sebagai tim medioker, Getafe menggebrak sejak awal musim 2017/2018. Kali ini, otak performa brilian mereka adalah pria kelahiran Alicante, 5 Maret 1964, bernama Jose Bordalas.
Fakta bahwa Bordalas adalah pelatih genius juga sempat terlupakan pencinta sepakbola Spanyol. Ia berjasa membawa Deportivo Alaves kembali ke kasta tertinggi sepakbola Spanyol pada musim 2015/2016 silam. Namun, ia tetap kehilangan jabatannya di musim kompetisi tersebut.
Bordalas lalu menerima tawaran untuk menangani Los Azulones meski klub yang berdiri pada tahun 1983 itu sedang terjebak di kasta kedua dan nyaris terjerumus ke kasta ketiga.
Perlahan-lahan, Bordalas menerapkan filosofi bermain uniknya ke tubuh tim. Pada musim pertamanya menangani Getafe di La Liga, Bordalas hampir membawa mereka kembali ke kompetisi antarklub Eropa. Finis di posisi delapan La Liga 2017/2018 bagi sebagian orang memang masih dianggap sebagai sebuah one-hit wonder. Namun ketika Bordalas melakukannya lagi di musim selanjutnya, semua pihak akhirnya mengamini bahwa pelatih yang semasa aktif merumput lebih banyak berkarier di level amatir ini memang juru taktik luar biasa.
Mengandalkan duet striker gaek Jaime Mata (kelahiran tahun 1988) dan Jorge Molina (kelahiran 1982), Bordalas mengingatkan kita kepada dongeng indah Leicester City di Liga Primer Inggris pada musim 2015/2016 kemarin.
Dengan bajet operasional kurang dari sepersepuluh bajet semusim Barcelona dan Real Madrid, Getafe konsisten bersaing di papan atas klasemen La Liga Spanyol.
Mereka bahkan nyaris membuat sejarah dengan lolos ke Liga Champions di akhir musim 2018/2019. Sayang, kedalaman skuad yang kurang merata bikin mereka kehabisan bensin dan melambat di pekan-pekan terakhir. Walau begitu, Molina dan kawan-kawan masih sanggup finis di posisi lima klasemen akhir.
Di musim 2019/2020 ini, Bordalas tetap berani bermimpi lebih besar. Skuat Getafe kini lebih ‘gemuk’ demi mengatasi jadwal padat tiga kompetisi yang mereka jalani.
Penyerang sayap yang lebih banyak tampil sebagai cadangan, Angel Rodriguez, justru menjadi pendulang gol terbanyak mereka sampai awal Februari 2020. Striker asal Brasil, Deyverson, didatangkan dari Palmeiras untuk dipasang bergantian dengan Molina dan Mata. Pemain Brasil lain, Kenedy, dipinjam dari Chelsea untuk menjadi pendobrak di sisi sayap.
Sektor sayap kini menjadi andalan Los Azulones berkat kelihaian Bordalas merevolusi Marc Cuccurella yang sejatinya seorang bek sayap. Anak muda yang dipinjam dari Barcelona ini menjadi salah satu penyerang sayap terbaik di La Liga musim 2019/2020.
Sampai pertengahan Februari 2020, Molina dan kawan-kawan masih konsisten bertarung di papan atas. Bordalas sanggup membangun mentalitas pemenang di klub kecil yang secara bisnis, sebenarnya jauh dari progresif ini.
Beberapa hari sebelum menang secara spektakuler di kandang Athletic Bilbao dengan skor 2-0 dan naik ke peringkat tiga klasemen sementara, Getafe sebenarnya mengalami peristiwa memalukan. Situsweb resmi mereka diretas oleh oknum iseng yang kabarnya berasal dari Indonesia.
Namun, tak ada yang peduli dengan ke-gaptek-an manajemen Getafe. Mungkin presiden klub, Angel Sanchez, meyakini bahwa infrastruktur bisnis mereka akan berkembang mengikuti prestasi di dalam lapangan dengan sendirinya.
Setelah membantai salah satu tim kuat Valencia dengan skor meyakinkan 3-0, semua penggila sepakbola dunia menginginkan Los Azulones lolos ke Liga Champions musim 2020/2021. Tak sedikit juga yang mendukung Molina dan kawan-kawan untuk melewati hadangan Ajax Amsterdam di babak 32 besar Liga Europa 2019/2020. Menjelma jadi ‘EuroGeta’ versi 2.0 tampaknya bukan kemustahilan!
Bordalas dan Getafe mengajarkan kita bahwa tak perlu menjadi klub kesar dan kaya untuk berani bermimpi. Perjalanan heroik ‘EuroGeta’ adalah buktinya.