Bangkok adalah metropolis yang cantik nan megah. Perpaduan antara modernitas dan kultural yang melekat bagai dua keping mata logam yang tak bisa dipisah. Pun sepakbola di Thailand yang terus berkembang dan melaju. Ia menggeliat luar biasa, seakan tidak memberi napas bagi negara-negara sekitar untuk mengejar.
Kini, saya berada di kawasan metropolis tersebut. Melihat hiruk pikuk laju kaki-kaki nan cepat, mengejar impian untuk sekadar hidup. Khlong Toei dan Port FC memang kadung seksi di mata saya, pun dengan rivalitas antara Buriram United dan Muangthong United, apalagi geliat si kaya Chiangrai United di utara Negeri Gajah Putih. Di Bangkok, saya dihimpit oleh napas-napas sepakbola yang mewangi.
Suatu hari, saya harus berkemas menuju Krabi. Kakak saya waktu itu sedang berlibur di sana. Bersamaan dengan isi kantong yang kian menipis, tampaknya ini adalah momen terbaik untuk berjumpa saudara. Bermodalkan uang yang tersisa, menggunakan bus adalah alternatif paling wahid guna melakukan perjalanan.
Dari Terminal Sai Tai Mai (maaf jika saya salah mengeja) Bangkok, bus saya menuju Surat Thani. Katanya, agar lebih murah, dari Surat Thani nanti naik seperti angkutan kota menuju Krabi. Namun siapa sangka, justru di bus inilah emosi dan nasionalisme saya diuji.
Di dalam bus tersebut, saya bertemu dengan salah seorang warga Thailand yang menyukai sepakbola/ suporter sepakbola Thailand. Mereka mengatakan secara gamblang bagaimana rivalitas antara negara mereka dengan Indonesia. Melalui tulisan ini, saya akan meringkas dan menuliskan apa adanya.
Apakah menganggap Indonesia sebagai rival terbesar Thailand?
Dengan ngelelengnya, si narasumber ini, sebut saja Tapa, mengatakan dengan jujur, “Oh, Indonesia masih menganggap Thailand sebagai rival? Maaf-maaf saja, rival kami sekarang adalah negara-negara Asia Timur. Bukan lagi Indonesia.”
Saya hanya menghela napas. Sudah tahu, kan, kenapa saya bilang nasionalisme saya diuji dengan hebatnya.
Tapa melanjutkan, “Maaf jika tersinggung, ya. Jika harus memilih, sepertinya yang layak dijadikan rival itu, ya, Malaysia dan Vietnam (dalam perburuan gelar Piala AFF). Sementara Filipina perihal peringkat FIFA mungkin, ya.”
Tapa yang merupakan salah satu mahasiswa di Bangkok dan akan pulang kampung ke Surat Thani bahkan mengatakan, Indonesia sudah lama tidak masuk perhitungan lawan yang bikin deg-degan ketika bersua Thailand.
Selain gelar, faktor apa yang membedakan sepakbola Indonesia dan Thailand?
“Untuk menjawab ini sangat kompleks, Bro. Saya mengikuti perkembangan sepakbola negaramu (Indonesia). Sepengamatan saya, koreksi jika salah, yang menjadi jurang pemisah di antara kita adalah keseriusan orang-orang di dalam badan federasimu.”
Alih-alih sebal, saya malah tertarik dengan pandangan Tapa.
Ia melanjutkan, “Tiap orang yang terlibat di federasi (baik itu FAT maupun PSSI), pasti punya tabiat lain selain sepakbola. Jika tidak ada, dan murni untuk sepakbola, itu bohong sekali, Bro. Kalau ada, orang itu bakalan tersingkir karena nggak bisa diajak bekerja sama alias kongkalikong. Jika memang orang seperti itu masuk, umumnya sebagai tameng saja atau malah jadi kacung di federasi.”
Saya lalu bertanya, apakah FAT (federasi sepakbola Thailand) juga seperti itu juga. Tanpa tedeng aling-aling, Tapa mengatakan hal yang membuat saya terkejut.
“Lho, saya ini sedang banyak membicarakan federasi negara saya. Pasti kondisinya mirip, kan? Tidak cuma di Thailand dan Indonesia, saya yakin di Malaysia, Vietnam, bahkan Jepang pun sama. Hanya satu yang membedakan kinerja federasi tiap negara yakni profesionalitas.”
Saya menyeringai, apa yang dikatakan Tapa itu terlalu utopis. Saya bertanya, apakah politik juga bisa profesional dalam sepakbola? Tapa mengiyakan.
“Pada akhirnya, semua itu adalah politik, Bro,” saya ingat sekali wajah Tapa ketika tersenyum sambil membicarakan hal ini.
Apa perbedaan politik dalam sepakbola di Thailand dan Indonesia?
“Industri ada, maka sepakbola berkembang. Lantas, setelah ada industri dan sepakbola menghidupi hajat hidup manusia banyak di dalamnya (saya menaksir maksud kata-kata Tapa kurang lebih begini: ketika sepakbola menghidupi manusia, baik secara material maupun hiburan), maka politik pun hinggap,” ujar Tapa.
Saya tidak lagi memperhatikan jalan. Kini saya mau tahu pendapat satu dari jutaan penduduk Thailand yang suka sepakbola, tentang Indonesia.
“Hei,” Tapa menaikan satu alisnya. Ia seperti berbisik walau suaranya sama saja kerasnya.
“Chairman Buriram itu politisi. Pun dengan Port FC. Bahkan Presiden FAT juga seorang politisi. Sepakbola kami itu penuh sesak dengan para politisi. Akui saja, federasimu juga, kan?”
Tapa pun melanjutkan, “Politik kami suci bagai dewa? Ah, tidak juga. Worawi Makudi, Presiden FAT sebelumnya dan orang penting Muangthong United (Makudi sekitar tahun 2006 pernah memiliki Norgjorg Pittayanusorn FC, nama awal Muangthong United), pernah terlibat cekcok dengan Lord Triesman lantaran voting Piala Dunia 2018 dan Piala Dunia 2022. Bagaimana politik sepakbola di Indonesia? Pasti lebih parah, ya,” ia tertawa. Saya hanya bisa nggrundel sendiri.
Tapa menekankan terus menerus mengenai profesionalitas. “Apapun yang dilakukan para politisi, entah sepak terjangnya bagaimana, jika sudah masuk ranah sepakbola, maka mencederai sepakbola adalah keniscayaan. Mengapa? Lantaran di balik sepakbola Thailand, ada fans militan seperti saya. Jika hati saya terluka karena tabiat politik pribadi, musnah sudah orang itu karena tidak lagi dipercaya.”
Saya hanya diam. Lantas membandingkannya dengan politisi di Indonesia yang malah gemar mendompleng PSSI untuk angkat nama dan sialnya, sering membumihanguskan harapan buat melihat negeri tercinta berprestasi. Apes betul nasib penggila sepakbola Indonesia. Barangkali, benar kata Tapa, sepakbola Indonesia tak pernah kurang diisi oleh orang-orang pintar, tetapi yang profesional, bisa dihitung jumlah hidungnya.