Danke, Bastian Schweinsteiger!

Melalui akun Twitter-nya pada tanggal 29 Juli 2016, Bastian Schweinsteiger mengumumkan pengunduran diri dari tim nasional Jerman.

Ia menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepada para penggemar Jerman. Di akhir surat, Basti menyampaikan pesan kepada fans, “Merupakan sebuah kehormatan bermain untuk kalian, terima kasih untuk segala sesuatu yang bisa kita alami bersama.”

Kabar ini tentu mengejutkan bagi para penggemar, penggawa, dan pemerhati sepak bola Jerman. Kontribusinya dalam 120 kali penampilan bersama die Mannschaft merupakan peragaan totalitas dari sang fussballgott.

Dan, totalitas itu akhirnya membuahkan hasil tertinggi ketika tim nasional Jerman menjuarai Piala Dunia 2014.

**

Sebelum memutuskan untuk fokus mengejar karier di lapangan hijau, Basti dikenal sangat bagus dalam bermain ski. Ia bahkan cukup sering mengalahkan sahabat masa kecilnya Felix Neureuther yang menjadi peraih medali perak kejuaraan ski dunia tahun 2013.

Namun, tawaran untuk bermain bersama Bayern Munchen sulit untuk ditampik dan akhirnya sejak 2001, ia melupakan mimpi menjadi atlet ski.

Pilihannya menjadi pemain sepak bola profesional tidak sia-sia. Di Bundesliga, ia berhasil meraih delapan kali titel juara. Jika terus gagal memenangi gelar juara dunia dan Liga Champions mungkin julukan the nearly man bisa saja terus disematkan kepada dirinya.

Pemain sekelas Basti diharapkan publik untuk bisa mencapai level tertinggi bersama klub dan negara. Namun, persaingan di level puncak tentu jauh dari kata mudah. Bahkan dua “makhluk luar angkasa”, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi tak bisa begitu saja meraih kesuksesan bersama tim nasional.

Ronaldo akhirnya berhasil di level Piala Eropa sedangkan Messi memutuskan mundur dari sepak bola internasional setelah kalah empat kali di final bersama tim Tango.

Di level klub, Basti harus merasakan dua kali kekalahan pahit di final Liga Champions sebelum akhirnya berhasil menjadi juara pada musim 2012/2013.

Bahkan pada musim tersebut, ia mampu meraih treble winner bersama FC Bayern. Bersama tim nasional, ia pun harus mengalami sejumlah kegagalan sebelum akhirnya keluar sebagai juara di Stadion Maracana.

BACA JUGA:  Mengkhidmati dan Memuja Hariono

Debutnya bersama tim nasional di turnamen antar-negara dimulai pada Piala Eropa 2004. Hasilnya sangat mengecewakan. Jerman langsung terdepak di fase grup. Pada Piala Dunia 2006 di Jerman, Bastian Schweinsteiger dan kawan-kawan takluk di semifinal dari Italia.

Jerman hanya bisa menghibur diri dengan meraih posisi ketiga setelah mengalahkan Portugal. Pada pertandingan tersebut, Basti mencetak dua gol. Meski gagal juara di negeri sendiri, publik Jerman tetap memberi apresiasi luar biasa kepada para pemain di Brandenburg Gate.

Sesaat setelah menjuarai Piala Dunia 2014, Basti mengenang peristiwa di tahun 2006, “Para fans menunjukkan cinta yang begitu besar kepada kami hari itu di Berlin dan sekarang kami bisa membalas mereka sepenuhnya.”

Perjalanan menyakitkan terus berlanjut bagi Basti bersama timnas Jerman. Spanyol menaklukkan mereka pada dua kesempatan emas selanjutnya, yaitu di final Euro 2008 dan semifinal Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Di Piala Eropa 2012, giliran Italia yang mengandaskan asa Jerman untuk bisa meraih trofi.

Lalu tiba Piala Dunia 2014 di Brasil. Jerman datang dengan kedalaman skuat plus percampuran komposisi pemain senior serta junior yang pas. Banyak pihak menjadikan Jerman sebagai salah satu kandidat kuat juara.

Namun, pada masa persiapan menjelang turnamen, sejumlah pemain tidak berada dalam kondisi fit termasuk Basti. Ia sama sekali tidak diturunkan pada pertandingan pertama kontra Portugal.

Di pertandingan selanjutnya melawan Ghana, Basti baru bermain di menit ke-70 menggantikan Sami Khedira. Fussballgott baru tampil sebagai starter di pertandingan terakhir fase grup melawan Amerika Serikat. Itu pun tidak tampil 90 menit.

Perlahan tapi pasti, Bastian Schweinsteiger semakin mendekati peak performance pada turnamen tersebut. Setelah melewati Algeria, Prancis, dan Brasil di babak knock out, Jerman tiba di partai puncak melawan tim asal Amerika Latin, Argentina. Belum pernah ada tim Eropa yang berhasil menjuarai Piala Dunia di Amerika Latin hingga saat itu.

BACA JUGA:  Emiliano Mondonico yang Harum di Atalanta dan Torino

Berbicara tentang final tentu tidak hanya melibatkan kesiapan fisik semata-mata. Persiapan mental bisa jadi lebih penting untuk sebuah partai puncak. Majalah Focus menanyakan bagaimana tekanan yang dirasakan Basti sebelum laga pamungkas tersebut.

Wajar jika banyak orang menilai bahwa tekanan yang dihadapinya dan sejumlah pemain senior tentu sangat tinggi. Mereka selalu gagal di turnamen-turnamen sebelumnya. Dan bisa jadi, bagi para pemain senior Piala Dunia 2014 adalah kesempatan terakhir untuk bisa merengkuh gelar juara dunia.

Namun Basti menjawab, “Saya dibesarkan di Säbener Strasse (markas FC Bayern) dan terlatih untuk memiliki sikap ingin menang di setiap laga. Tekanan adalah hal yang biasa bagi saya.” Dan ia, seperti biasa, menunjukkan totalitas di lapangan, seolah-olah bermain tanpa dibebani kegagalan di masa lalu.

Penampilannya di final begitu heroik. Darah sempat mengucur di bagian bawah matanya setelah berbenturan dengan tangan Sergio Aguero. Joachim Löw meminta Kevin Großkreutz untuk pemanasan menjaga kemungkinan Basti harus segera ditarik keluar.

Namun pemain kelahiran Kolbermoor tersebut memutuskan tetap melanjutkan pertandingan hingga selesai. Schweinsteiger berlari sejauh 15 km sepanjang pertandingan bersejarah tersebut, melebihi pemain lainnya yang turut bermain hari itu.

Tak lama setelah turnamen selesai, sejumlah pemain senior termasuk sahabatnya, Philipp Lahm menyatakan pensiun dari tim nasional. Ban kapten pun diserahkan kepada Schweinsteiger. Namun sayang, cedera kembali menderanya di sepanjang musim 2015/2016 dan membuatnya tak bisa tampil optimal di Euro 2016.

Meski demikian, hal tersebut tak mengurangi rasa hormat para penggemar terhadap dirinya. Hanya ada satu kata yang pantas diucapkan kepadanya setelah 12 tahun menjalani karier bersama die Mannschaft: Danke.

 

Komentar
Penggemar FC Bayern sejak mereka belum menjadi treble winners. Penulis buku Bayern, Kami Adalah Kami. Bram bisa disapa melalui akun twitter @brammykidz