Pesan Whatsapp saya ke Saddam Emiruddin tak kunjung dibalas pagi itu. Pantas saja, ternyata skuat PSS Sleman sedang melakukan sesi latihan pagi.
Memang Eduardo Perez Moran, pelatih PSS saat itu, menginginkan para pemainnya untuk melakukan active recovery setelah menghadapi Persipura sehari sebelumnya.
Latihan pagi tersebut adalah sesi terakhir sebelum seluruh skuat Super Elang Jawa diberi waktu satu hari untuk libur.
Setelah itu, Saddam pulang ke kampung halamannya di Jepara. Ega Rizky terbang ke Jakarta untuk mengikuti acara launching Liga 1. Arsyad Yusgiantoro, Derry Rachman, dan I Gede Sukadana melakukan persiapan untuk berurusan dengan sponsor.
Lantas pelatih yang akrab disapa Edu itu? Ia mundur dari PSS!
Mengagetkan memang. Padahal sebelumnya, sosok berpaspor Spanyol tersebut tak pernah sekalipun mengendurkan optimismenya di depan media.
Ia juga menunjukkan kenyamanannya di Sleman dengan mulai bergurau dengan wartawan kala ditemui selepas laga menghadapi tim Mutiara Hitam.
Mantan asisten Luis Milla itu mengaku senang berada di Bumi Sembada. Empat puluh sesi latihan yang ia canangkan sebelum liga bergulir juga berjalan lancar.
Edu menunjukkan kepuasannya dengan progres para pemain. Ia sudah membeberkan rencananya untuk mengadakan tiga sesi latihan lagi sebelum berangkat ke Makassar untuk menghadapi PSM dalam laga perdana PSS di Liga 1 musim 2020.
Bahkan, Edu menjadwalkan sebuah pertemuan di tengah pekan untuk membahas integrasi tim utama PSS dengan skuat Elite Pro Academy yang dimiliki Super Elang Jawa. Namun, dua hari sebelum rapat itu terlaksana, ia memutuskan pamit dari Sleman.
Edu meninggalkan dua kata yang ia wejangkan dan dikutip oleh Danilo Fernando di akun Instagram pribadinya: Respeite o Profissional.
Sementara itu, dalam pesan perpisahan Edu yang diunggah via akun Instagram miliknya, sang pelatih mengungkapkan alasan pengunduran dirinya.
Usut punya usut, ada ketidaksepahaman mengenai keputusan teknis antara Edu dengan manajemen PSS.
Keputusan teknis? Aneh bukan? Ayolah, bagaimana bisa kubu manajemen tak sejalan dengan pelatih berstatus profesional mengenai keputusan teknis yang diambil?
Sudah sepatutnya, ranah teknis para pelatih tidak bisa dan tidak boleh diintervensi siapapun. Hal itu seharusnya merupakan hak dan tanggung jawab penuh dari Edu.
Memilih pemain yang bakal diturunkan di sebuah laga merupakan haknya. Memimpin sesi latihan adalah tanggung jawabnya.
Ia juga yang berhak menentukan frekuensi latih tanding bagi timnya, termasuk lawan dengan level seperti apa.
Haknya pula untuk datang satu jam lebih awal dari jadwal sesi latihan hanya untuk mengecek lapangan dan berkemas setelah semua staf kepelatihan dan pemainnya pulang.
Memang, Edu adalah pelatih dengan etos kerja yang amat mengagumkan. Kebiasaan yang ia lakukan saat mengadakan sesi latihan pagi bisa jadi gambarannya.
Edu memimpin sesi latihan pagi dari pukul tujuh hingga pukul sembilan dan dirinya selalu datang lebih awal.
Setelah latihan selesai, Edu acap berlari-lari kecil mengitari lapangan beberapa kali. Ia kemudian pulang, tidak dengan kendaraan, tetapi jogging menuju tempat tinggalnya selama di Sleman.
Katakanlah, pukul setengah sebelas Edu sampai di tempat tinggalnya. Nanti, pada tengah hari, semua laporan tentang sesi latihan pagi itu berikut video latihan yang ia ambil, sudah siap disajikan. Sebuah bukti kalau Edu bersungguh-sungguh dalam bekerja.
Edu datang jauh-jauh dari Spanyol dengan membawa etos kerjanya yang luar biasa ke sini.
Namun di tengah jalan, gerak-gerik dan keputusannya diintervensi. Jelas saja ia memilih mundur.
Lagi pula, mengapa manajemen harus ikut campur masalah teknis? Bukankah Edu merupakan pilihan manajemen setelah melepas Seto Nurdiyantoro beberapa waktu lalu?
Mengapa sejak awal manajemen tidak mencari pelatih yang sesuai kemauan mereka daripada harus mengintervensinya di tengah jalan? Ah, mengapa harus pelatih yang menjadi korban di detik-detik akhir jelang kompetisi bergulir?
Berhentilah kalimat-kalimat tanya itu sesaat setelah terucap. Belum sampai ke ranah mencari jawaban, sekadar menentukan siapa yang berhak untuk menjawab pertanyaan itu saja rasanya membingungkan sekali.
Lalu ke mana rentetan tanda tanya harus dialamatkan? Manajemen lama sudah kehilangan kepercayaan publik. Sementara itu, investor baru tak juga kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Waktu yang tersisa bagi PSS hanya beberapa hari untuk melantik juru strategi anyar. Apakah sosok tersebut bisa beradaptasi dengan mudah dengan skuad PSS merupakan persoalan lain. Jujur saja, situasi macam ini betul-betul memuakkan sekaligus menggelikan.
Sebuah tim yang mengaku profesional, nyatanya bisa melakukan hal-hal irasional. Jarum jam takkan berhenti demi menunggu PSS mempersiapkan diri di sisa waktu yang singkat ini.
Lantas apa yang bakal mereka lakukan? Mempersiapkan diri guna bermain sepakbola atau lebih bernapsu menghiasi linimasa dengan sejuta drama?