Klenik dalam Persepakbolaan Afrika

Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi belum semaju sekarang, tak jarang manusia memercayakan pemecahan masalah yang mereka hadapi lewat praktik klenik. Ketika dulu, misalnya, statistik sepak bola belum dikenal secara luas, tak sedikit orang yang rela bermalam di kuburan keramat untuk mendapat wangsit soal siapa yang menang pada pertandingan esok hari. Tak hanya penggemar, para pelaku sepak bola pun juga tak luput dari praktik semacam ini. Banyak di antara mereka yang masih percaya takhayul meski zaman telah beralih rupa.

John Terry, misalnya. Ia selalu duduk di bangku bus yang sama, mendengarkan CD yang sama, dan parkir di tempat yang sama di Stamford Bridge. Lalu ingatkah Anda pada Laurent Blanc yang selalu mencium kepala plontos Fabien Barthez sebelum pertandingan Piala Dunia 1998? Itulah dua dari banyak contoh praktik kebiasaan pemain yang sering dihubung-hubungkan dengan takhayul.

Sepak bola Afrika juga tak lepas dari takhayul dan klenik. Di benua Afrika, perkara takhayul dan klenik adalah bagian dari sepak bola. Pemberitaan mengenai isu klenik selalu muncul pada penyelenggaraan Piala Afrika. Tak jarang, terjadi saling tuding soal penggunaan ilmu hitam di antara tim yang bertanding.

Contoh isu klenik di Piala Afrika adalah pada laga semifinal Piala Afrika 2002. Sebelum pertandingan yang mempertemukan tuan rumah Mali dengan Kamerun tersebut, asisten pelatih Kamerun, Thomas N’Kono digelandang oleh pihak kepolisian. N’Kono sebelumnya terlihat seperti melempar sesuatu ke arah lapangan pertandingan dan kepolisian setempat mengklaim bahwa N’Kono telah melemparkan jimat.

Pada pertandingan pembuka Piala Afrika 2008 antara tuan rumah Ghana dan Guinea, banyak pendukung Ghana membawa atribut juju. Juju merupakan ilmu gaib yang banyak dipraktikkan di Afrika Barat. Praktik juju yang dilakukan pendukung tuan rumah menjelang pertandingan dipercaya dapat membawa keberuntungan serta menjauhkan hawa jahat dari stadion. Kebetulan, pada pertandingan tersebut, tuan rumah Ghana mampu mengalahkan Guinea dengan skor 2-1.

Juju sendiri konon berasal dari Nigeria Barat. Dari Nigeria, juju lantas merambah ke negara-negara sekitarnya, dan hingga kini, juju masih banyak dipraktikkan di Afrika Barat. Menurut kepercayaan yang berkembang, juju, meski tidak berdampak langsung terhadap hasil pertandingan, diyakini dapat memengaruhi semangat bertanding suatu tim. Juju “baik” dipercaya dapat meningkatkan semangat bertanding dan memberi keberuntungan pada tim, sementara juju “jahat” dianggap dapat merusak semangat bertanding tim.

Para dukun dan praktisi juju memiliki cara kerja dan ramuan yang berbeda-beda. Media yang umum digunakan dalam praktik juju antara lain potongan tubuh dan darah binatang, serta gading gajah. Salah satu praktik yang cukup ekstrem adalah dengan mengubur hidup-hidup seekor sapi di dekat gawang lawan. Ritual ini konon dipercaya dapat mengisap semangat bertanding lawan.

BACA JUGA:  Rasisme: Musuh Sepakbola, Musuh Kita Semua

Pada tahun 2002, BBC melaporkan bahwa pemerintah Pantai Gading sedang berdamai dengan sejumlah dukun juju. Para dukun tersebut mengklaim ikut berjasa memenangkan Pantai Gading padaperhelatan Piala Afrika 1992 di Senegal. Pascakemenangan tersebut, sejumlah dukun juju yang konon “dipekerjakan” oleh menteri olahraga setempat merasa tak mendapat penghargaan yang layak dari pemerintah. Rumor berkembang ketika dalam beberapa turnamen selanjutnya Pantai Gading gagal menembus perempatfinal. Konon, para dukun yang telah “membantu” Pantai Gading itu membalas perlakuan tersebut dengan memberi kutukan. Menteri Pertahanan, Moise Lida Kouassi sampai harus turun tangan menemui para dukun ini dan memberi kompensasi sebesar 1,5 juta CFA dan sebotol liquor.

Serupa dengan Pantai Gading, tim nasional (timnas) Ghana pun pernah berurusan dengan paranormal terkait prestasi The Black Stars di ajang internasional. Sebelum Piala Dunia 2006, Ghana tak pernah lolos ke Piala Dunia. Padahal, tim ini bukan tim yang lemah. Catatan empat kali juara Piala Afrika menunjukkan bahwa The Black Stars adalah tim tangguh di Benua Hitam. Seorang paranormal bernama Joshua Nyame menyebut bahwa Ghana terkena kutukan. Menurut Nyame, kutukan tersebut harus dicabut melalui sebuah ritual khusus. Nyame telah menyiapkan ritual tersebut dan menurut kabar yang berhembus, kapten Ghana, Stephen Appiah bersedia membayarnya.

Kabar yang berkembang menyebut Nyame meminta bayaran sebesar 100 juta cedi atas “jasa” spiritualnya dan Appiah baru membayar sebagian. Nyame juga mengklaim ikut membantu kemenangan Ghana pada Piala Afrika 1982 di Libya dan otoritas sepak bola setempat tidak memenuhi kewajiban mereka.

Selain prestasi tim, juju juga disebut-sebut dalam kiprah pemain. Michael Essien yang terpaksa absen dari Piala Dunia 2010 karena cedera disebut-sebut terkena “santet” juju. Konon, santet tersebut dikirim oleh ayahnya yang sakit parah dan tak pernah dihubungi pemain Chelsea tersebut selama belasan tahun.

Maraknya praktik juju di sepak bola Afrika menarik minat sutradara asal Jerman, Oliver Becker untuk melakukan penelitian mengenai hal ini. Penelitiannya dituangkan dalam sebuah film dokumenter berjudul Kick the Lion – Witchcraft and Football in Africa serta buku berjudul Voodoo im Strafraum: Fussball und Magie in Afrika. Menurut Becker, sepak bola merupakan olahraga paling populer di Afrika, dan maka dari itu, adalah logis jika kepercayaan tradisional memegang peranan penting di dalamnya. Bahkan menurut Becker, banyak klub Afrika rela mengeluarkan banyak uang untuk juju sampai tak sanggup bepergian dalam partai tandang.

BACA JUGA:  Merawat Ingatan di Omah Bersama

Pendapat Becker diamini oleh sejumlah pihak yang terlibat dalam sepak bola Afrika, mulai dari pers hingga pengurus federasi. Majalah African Soccer pernah menulis, “Berangkat ke sebuah turnamen penting tanpa praktisi juju adalah sama bodohnya dengan berangkat ujian tanpa membawa pena”. Mantan pelatih Ghana, Goran Stevanovic, menyebut bagaimana praktik ilmu hitam memengaruhi mental bertanding anak asuhannya. Ia menyebut para pemain lebih percaya akan kekuatan ilmu hitam daripada disiplin di lapangan.

Presiden federasi sepak bola Benin, El Hadj Moucharafou Anjorin pernah menyebut bahwa juju berperan atas lolosnya Benin ke Piala Afrika 2008. Namun saying, pada kesempatan keduanya berlaga di turnamen antar negara Afrika ini, Benin harus tersingkir di babak penyisihan grup. Tim ini menjadi juru kunci di Grup B tanpa meraih satu pun poin. Entah Anda percaya ilmu gaib atau tidak, yang jelas tiga lawan Benin di Grup B, Mali, Nigeria, dan Pantai Gading adalah negara-negara Afrika Barat yang juga memiliki tradisi juju.

Jika El Hadji Mocharafou mengakui peranan juju, lain halnya dengan Abedi Pele. Mantan kapten timnas Ghana ini menyebut bahwa praktik juju memang ada dalam sepak bola, namun ia meragukan keampuhan juju dalam menentukan hasil pertandingan. Mantan pemain Marseille ini menyebut prestasi tim-tim Benua Hitam di ajang internasional sebagai contoh. Ia menyebut kegagalan tim-tim Afrika untuk berpretasi jauh di Piala Dunia menjadi bukti bahwa juju tidak manjur. Bagi Abedi Pele, juju adalah bagian dari taktik psikologis untuk mengacaukan mental bertanding tim lawan.

Pendapat Abedi Pele ini dibuktikan dengan perkembangan sepak bola dewasa ini. Tim-tim yang konsisten berprestasi adalah tim yang konsisten melakukan kerja keras. Barcelona misalnya, menjadi klub paling disegani di dunia berkat pembinaan pemain muda yang mulai mereka lakukan sekitar 30 tahun lalu. Di tingkat internasional, kekuatan sepak bola baru seperti Jepang dan Korea Selatan muncul setelah melalui kerja keras otoritas sepak bola setempat. Pada setiap tim yang berprestasi selalu didapati adanya pembinaan usia muda dan kompetisi profesional, bukan dukun ilmu hitam dengan mantra ajaibnya.

Tulisan ini pernah dimuat di Fandomagz edisi Afrika. Ditampilkan kembali dengan sedikit perubahan.

 

Komentar
Fans bola layar 14", karena fans layar kaca sudah terlalu mainstream.