Saya tidak lagi ingat tanggal yang pasti. Berdiri di dekat loket tiket sebelah selatan stadion Mandala Krida, perasaan berdebar bukan hal baru. Sore itu, Parang Biru menjamu Elang Jawa. Aroma kebencian menguar dengan jelas.
Kebencian yang semu, yang terbangun dari rintihan sejarah ambigu. Kebencian, yang nyatanya berintikan haru rindu. Rindu duduk di tribun, menikmati nyala mata berwarna biru. PSIM Jogja, apa kabarmu?
Rivalitas Jogja Kota dan Sleman untuk urusan sepak bola adalah nostalgia bagi saya. Dalam setiap laga dan teriakan makian menjadi seperti katarsis yang membawa saya menjadi persona baru.
Lemparan batu yang mendarat lembut di tubuh ini terasa begitu akrab. Bahkan, saking mesranya, baku pukul pun terasa seperti sapaan rindu. Begitulah ingatan zaman dulu, ketika liga berjalan syahdu dan mendukung klub lokal adalah kencan yang ditunggu.
Kedekatan dengan PSIM sudah terbangun sejak saya mulai mengenal sepak bola, mungkin sekitar kelas 3 bangku sekolah dasar. Bapak saya berkawan baik dengan beberapa penggawa Parang Biru. Dua persona yang masih membekas dalam sanubari saya adalah Bambang Sumantri dan tentu saja, the one and only (bagi saya), Rofik Ismanto.
Bambang adalah sosok yang hangat, terbuka, dan senyumnya tegas di tengah wajah semi-kotaknya. Beliau murah hati, pernah menghadiahi saya setelan jersey PSIM dengan cetakan nomor 25. Setelan itu harta karun saya, meskipun sayang, sekarang raib entah ke mana pasca-gempa Jogja sekian tahun lalu.
Lain Bambang, lain Rofik Ismanto. Striker tajam dengan torehan bekas operasi di lututnya adalah seorang person yang menarik. Tawa yang khas dan renyah selalu tersemat ketika kami bertemu dan senyum bak Al Pacino yang murah menghiasi wajahnya masih membekas dalam kotak ingatan saya soal PSIM.
Soal kedekatan, saya lahir dan dibesarkan di Jogja Kota, bertetangga dengan sanctuary yang disebut Mandala Krida. Maka secara de facto, saya adalah fans PSIM.
Kisah kala menjadi fans PSIM seperti menjadi bingkai dalam linimasa hidup saya. Mulai dari menikmati sore hari dengan bermain bola di atas lapangan Mandala, bertemu untuk sekadar mengobrol berbagi rokok dengan sesama kawan suporter di sekitaran stadion, hingga merencanakan awayday bersama rekan-rekan kantong suporter.
Satu yang pasti. Sore atau malam hari, meniti tangga berwarna abu-abu dengan tiket di tangan, mendekati pintu besi usang berwarna merah, dan sebuah perasaan meluap ketika hijau rumput Mandala mulai menyapa mata. Ada perasaan agung yang melegakan ketika menghirup aroma tribun stadion untuk pertama kali. Sebuah perasaan yang langka, sebuah kerinduan yang mahal, kerinduan milik saya seorang.
Awayday selalu menarik bagi saya kala itu, terutama silaturahmi ke kota tetangga, Solo. Ada kerinduan yang menggelegak ketika nama Persis Solo mampir di telinga, apalagi ketika tanggal pertandingan sudah tercatat. Entah, seperti ada perasaan tertahan, yang kudu dilontarkan.
Kunjungan ke Solo selalu menarik untuk diperbincangkan. Kami sangat akrab, mungkin bahkan saling membutuhkan untuk memuaskan dahaga adrenalin.
Dari bakar-membakar, guling-mengguling, lempar-melempar, sampai sapa-menyapa nama binatang. Sesekali “Kandang Menjangan” menjadi tempat kencan yang romantis. Mungkin kami menyesali keonaran itu, mungkin tidak. Entah, karena cinta terkadang tak habis diukur dengan logika. Memang, keonaran tak elok, namun inilah dinamika. Sebuah proses bersama, kerja sama untuk memelihara keasyikan dan gairah lelaki.
Sayang, rindu ini terasa hampa ketika liga tak lagi berputar. Ketika kompetisi hanya untuk segelintir dan konflik adalah gincu yang justru dinikmati. Makin merana ketika suporter internal pun tak lagi seiya-sekata. Saya di sini tak ingin menghakimi. Bukan tempat saya untuk membuat dikotomi kelompok satu dan lainnya.
Saya hanya rindu. Kangen dengan nuansa biru yang secara lahiriah sudah ada sejak Warisane Simbah berdiri dulu. Rindu dengan tabuhan perkusi dan nyanyi sumbang para pemuda tanggung.
Pada akhirnya, mendukung PSIM adalah soal gejolak jujur yang saat ini harus dipendam. Derak roda kompetisi yang belum juga menggelinding mengharuskan sepak bola Jogja sementara tiarap.
Kehampaan yang sudah cukup lama berselang melahirkan buih kerinduan yang nyata. Kerinduan tersebut berwarna biru, terasa haru, dan kudu setia menunggu lahir baru.