Ayrton Senna dan Piala Dunia 1994

Para pemain Brasil merentangkan banner penghormatan bagi Senna usai memenangi Piala Dunia 1994 © royalgazzette.com

“Being second is to be the first of the ones who lose”

Mentalitas macam apa yang Anda miliki tatkala berujar bahwa ada di peringkat kedua atau ketiga merupakan prestasi? Lebih-lebih menyebut posisi empat yang dihadiahi tiket ke kompetisi antarklub Eropa merupakan sebuah hal yang superb.

Tak perlu mendustai diri, rasanya jengah juga kan tidak menjadi yang pertama? Karena kita semua tahu, hanya ada satu juara dan satu pemenang, si nomor satu.

Layaknya kutipan di atas yang memang ucapannya, menjadi yang terbaik memang tujuan hidup seorang Ayrton Senna da Silva, pria kelahiran 21 Maret 1960 asal Sao Paulo.

Anda tidak asing dengan namanya, bukan? Dialah pebalap Formula 1 (F1) yang punya tiga gelar juara dunia, yakni pada 1988, 1990, dan 1991.

Penggila balap jet darat pada era 1980-an hingga awal 1990-an jelas mafhum benar bagaimana sepak terjang Senna di lintasan balap. Pun begitu dengan persaingan ketatnya melawan Nigel Mansell, Nelson Piquet dan Alain Prost. Rivalitasnya dengan Prost bahkan menjadi yang paling kesohor dan panas sepanjang sejarah F1.

Kiri ke kanan : Senna, Prost, Mansell, Piquet di GP Portugal 1986 f1-history.deviantart.com
Kiri ke kanan : Senna, Prost, Mansell, Piquet di GP Portugal 1986 f1-history.deviantart.com

Bicara tentang Senna, maka sulit untuk menepikan kepribadiannya yang sangat luar biasa. Saya teringat kolom Happy Wednesday di koran Lombok Post yang ditulis Azrul Ananda, dalam menjabarkan pria yang merupakan fans klub Corinthians ini.

Senna yang diidolai Azrul merupakan pebalap yang punya pesona. Segala hal tentang Senna, di dalam maupun luar arena, begitu menarik untuk diikuti. Azrul bahkan menyebut jika Senna dengan semua ucapan, perbuatan dan hidupnya seolah mengajak kita untuk berpikir perihal segalanya.

Sayangnya, Senna dengan segenap bakat, etos kerja, dan hal-hal menakjubkan lainnya tewas dengan cara mengenaskan.

Adalah GP San Marino 1994 di sirkuit Imola yang menjadi kisah horor bagi F1 dan dunia sepanjang masa. Balapan itu sendiri merupakan seri ketiga dalam kalender balap musim 1994.

Pada Sabtu (30/4) para pebalap turun ke lintasan untuk melakoni sesi kualifikasi demi memperebutkan posisi start. Semuanya terlihat baik-baik saja pada awalnya, hingga kemudian Roland Ratzenberger dengan mobil Simtek-nya tewas akibat kerusakan sayap depan mobil sehingga meluncur deras keluar lintasan sebelum menghajar tembok pembatas di pinggir trek.

Peristiwa menyedihkan itu terjadi di Villeneuve Curva, tikungan ketiga di Imola (berdasarkan lay out sirkuit yang lama). Senna yang kala itu ada di paddock dan menyaksikan dari televisi langsung memalingkan muka seraya menutupnya dengan tangan.

Sorot matanya memancarkan rasa sedih, jeri, dan bimbang. Kala babak kualifikasi dilanjutkan, Senna tak turun lagi ke lintasan.

“Senna benar-benar syok. Sepanjang kariernya, dia tak pernah sekalipun menemui kejadian di mana seorang pebalap tewas di atas aspal. Senna merupakan orang yang pasrah jika menyangkut kematian. Dirinya amat religius dan paham dengan hal tersebut,” terang Profesor Sid Watkins, sahabat akrab Senna yang saat itu menjadi Kepala Komite Medis FIA (Federation Internationale de lAutomobile) seperti dikutip dari newsbank.com.

Akhir pekan tersebut, dirinya terlihat tidak seperti Senna yang biasanya. Tatapannya diliputi kengerian, mimiknya pasrah dan nyaris tanpa senyuman, dirinya tak banyak bicara dan gestur tubuhnya begitu gusar. Bahkan saat memasuki kokpit mobil Williams-Renault miliknya jelang start balapan yang digelar tepat pada tanggal 1 Mei, langkah dan tingkah lakunya berbeda. Matanya menerawang jauh entah ke mana.

BACA JUGA:  Memuji Romelu Lukaku

Senna berhasil melakukan start sempurna sekaligus mempertahankan posisi terdepan (dirinya berhasil menempati pole position usai menjadi yang tercepat di kualifikasi jauh sebelum Ratzenberger mengalami kecelakaan fatal).

Namun, kecelakaan yang menimpa J.J. Lehto dan Pedro Lamy pasca-lomba dimulai membuat safety car dipaksa keluar trek guna memberikan waktu kepada para petugas untuk membersihkan debris (serpihan-serpihan mobil, red.) yang ada di lintasan.

Jelang lap keenam, safety car masuk ke pit dan balapan pun kembali berlangsung normal. Senna langsung memacu mobilnya diekori oleh Michael Schumacher yang mengendarai Benetton-Ford. Senna terus menggeber mobilnya untuk menciptakan jarak signifikan dengan Schumacher yang terpaut jarak tak sampai satu detik di belakangnya.

Namun tragedi yang dikhawatirkan dan menghantui Senna itu terjadi juga di lap ke-7. Saat memimpin lomba dan memacu mobilnya sampai 310 km/jam melintasi tikungan Tamburello, tiba-tiba mobilnya keluar jalur dan menghajar dengan dahsyat tembok yang ada tepi sirkuit. Mobilnya hancur lebur, Senna sendiri kaku di kokpitnya.

Konon, batangan suspensi Williams-Renault yang dikemudikannya patah sehingga dirinya tak mampu mengontrol laju mobilnya meski sempat membejek keras rem sehingga kecepatan mobilnya turun hingga 218 km/jam sebelum membentur dinding. Senna kemudian dilarikan ke rumah sakit Maggiore di Bologna tapi naas, nyawanya tak bisa diselamatkan.

Duka pun menyelubungi F1 dan penggemar setianya akibat kehilangan salah satu pebalap paling heroik dan jenius serta dicintai banyak fans. Cita-cita Senna merengkuh gelar dunia keempatnya pun pupus bersamaan dengan peristiwa tersebut.

Senna adalah sosok yang membuat orang-orang (di Brasil) rela bangun pagi dan menyaksikan bendera Brasil berkibar-kibar pada saat negeri mereka dilanda krisis politik. Senna adalah representasi kemenangan bagi rakyat Brasil, ujar Juca Kfouri, seorang kolumnis olahraga seperti dikutip dari theguardian.com.

Kematiannya saat itu seakan membawa publik ke sebuah dimensi yang tak pernah terjadi sebelumnya perihal kesadaran. Kematian Senna yang tragis benar-benar menjadi sebuah trauma nasional (di Brasil) dan dunia karena setiap orang menyaksikannya sendiri di televisi, lanjutnya.

Senna dan Selecao

Pada satu hari di musim semi, tepatnya awal April, Senna bersua dengan skuat tim nasional Brasil di Paris, Prancis. Ketika itu tim Selecao asuhan Carlos Alberto Parreira akan melakukan laga persabahatan di Stadion Parc Des Princes sebagai persiapan jelang Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat.

Senna menemui kami. Pada tahun itu, Senna ingin meraih gelar dunianya yang keempat. Begitu juga dengan timnas Brasil. Saya masih ingat ketika itu Senna berujar dengan penuh determinasi bahwa tahun 1994 adalah tahun kita (Senna dan timnas Brasil), papar Leonardo, punggawa timnas Brasil di Piala Dunia 1994 seperti dilansir dari chinadaily.com.cn.

Sesudah mengetahui bahwa Senna berpulang keharibaan Tuhan Yang Maha Esa hanya beberapa pekan setelah bertemu, jelas membuat seisi skuat timnas Brasil diliputi kepiluan. Salah seorang sahabat dan panutan telah pergi.

BACA JUGA:  Bagaimana Anda Mengeja Kata “Pele”?

Di mata masyarakat Brasil, Senna memiliki posisi sejajar dengan Pele, yakni ikon olahraga Brasil pada bidang yang mereka geluti masing-masing.

Diakui atau tidak, seisi skuat Brasil yang berangkat ke Piala Dunia 1994 menyemai cita-cita merengkuh gelar dunia keempat tak hanya sebagai penguat status sebagai juara dunia terbanyak namun juga persembahan berharga untuk sosok mahahebat seperti Senna.

Seakan terinspirasi oleh gaya balap Senna yang beringas namun penuh perhitungan, cepat dan penuh determinasi, timnas Brasil pun terlihat sulit ditaklukkan kala itu.

Timnas Selecao yang tergabung di grup B melaju mulus ke babak perdelapan final. Sang juara dunia tiga kali (ketika itu) sukses meraup dua kemenangan, masing-masing atas Rusia dan Kamerun serta sekali hasil imbang dengan Swedia.

Keluar sebagai juara grup B, Brasil kemudian harus bertemu dengan tuan rumah AS yang lolos sebagai salah satu tim peringkat ketiga terbaik.

Berlaga di Stadion Stanford dan disaksikan hampir 82.000 ribu pasang mata tepat pada hari kemerdekaan AS, Brasil sukses membekuk tuan rumah melalui gol semata wayang Bebeto di menit ke-72.

Jalan terjal harus ditemui Brasil di laga selanjutnya karena wakil Eropa sekaligus juara Piala Eropa 1988, Belanda, telah menanti mereka di perempat final. Laga ini sendiri berlangsung sangat seru.

Selecao berhasil unggul dua gol terlebih dahulu via Romario dan Bebeto sebelum Dennis Bergkamp dan Aron Winter menyamakan kedudukan buat De Oranje. Melalui tekad baja dan semangat yang terus berkobar, Brasil akhirnya sanggup mencuri kemenangan setelah Branco menceploskan gol kemenangan ke gawang Belanda yang dikawal oleh Ed de Goey pada menit ke-81.

Lolos ke fase semifinal membuat trofi juara dunia keempat semakin dekat dengan tangan Brasil. Namun Swedia yang mereka jumpai di babak penyisihan grup berdiri untuk menghadang langkah Brasil ke final.

Namun Brasil pada akhirnya sukses melaju ke final setelah gol tunggal Romario sepuluh menit jelang laga berakhir menyudahi perlawanan tim berjuluk Blagult yang kala itu diperkuat oleh Kenneth Andersson, Thomas Brolin, Roland Nilsson, sampai Thomas Ravelli.

Dan seperti yang kita ketahui bersama, final Piala Dunia 1994 memanggungkan dua kutub sepak bola dunia yang sama-sama mengincar gelar keempatnya saat itu, yakni Brasil dan Italia.

Pada final yang berlangsung di Stadion Rose Bowl, Pasadena, serta disaksikan 94.194 penonton, Selecao lah yang berhasil membawa pulang gelar dunia keempat usai mengalahkan Gli Azzurri lewat adu penalti dengan skor 3-2. Momen sepakan penalti Roberto Baggio yang melambung ke luar angkasa jelas takkan lekang oleh waktu.

Para pemain Brasil berselebrasi di lapangan pasca-menerima piala dari Al Gore, calon wakil presiden AS ketika itu. Tak lupa, mereka merentangkan sebuah banner sebagai penghormatan dan dedikasi bagi sahabat sekaligus panutan yang telah pergi.

Sudah 22 tahun Senna tiada, akan tetapi namanya akan selalu diingat sebagai salah satu yang terbaik, sebagai seorang legenda.

Race In Peace.

 

Komentar