Gabor Kiraly dan Dua Dekade Perjalanan Spiritual Saya

Euro 2016 ini adalah sebuah tonggak penting bagi “karier” saya sebagai penonton sepak bola. Sudah 20 tahun sejak Euro 96 berlalu dan meski samar, saya masih ingat bagaimana suasana di rumah ketika saya, bersama bapak dan ibu menyaksikan laga final antara Jerman dan Republik Ceska.

Bapak saya, almarhum, adalah penggemar benda-benda elektronik mutakhir, dan ketika itu, supaya meriah, kami sekeluarga menyaksikan laga tidak di layar kaca, melainkan di layar proyektor laiknya di bioskop.

Walau momen laga yang terekam di pikiran hanya gol emas Oliver Bierhoff – kala itu saya menyebutnya Berhof – namun malam itu adalah titik tolak, di mana untuk dua dekade berikut, dan semoga berdekade-berdekade selanjutnya, saya menjadi penggemar sepak bola.

Dua dasawarsa jelas bukan waktu yang sebentar. Banyak hal, mulai dari yang remeh, sampai yang mengubah alur hidup, terjadi dalam hidup saya, termasuk ketika bapak meninggal dunia pada awal 2004.

Saya pun kini sudah bukan anak kecil yang asal, karena bodoh dan bingung, dalam menyebut nama pemain sepak bola. Bahkan, kalau ada orang yang salah dalam menyebut nama klub atau pemain, rasanya seperti ada yang mengganjal.

Sejak momen gol emas Bierhoff hingga detik ini, sudah tak terhitung berapa banyak perubahan yang terjadi di dunia sepak bola.

Sir Alex Ferguson sudah pensiun; rambut Moreno Torricelli, meski masih gondrong, kini telah bersalin kelir; Zinedine Zidane berhasil menjadi juara Liga Champions, sebagai pelatih; David Ginola, yang dulu begitu lincah mengadali fullback lawan, belum lama ini menjalani operasi bypass jantung, dan – yang paling menyakitkan – beralihnya status pemain no. 10 dari primadona, menjadi spesies langka.

Selain menepinya figur-figur besar masa lalu dari lapangan dan (nyaris) punahnya simbol keindahan sepak bola, satu hal lain yang tidak bisa luput dari pengamatan adalah perkara penampilan para pesepak bola. Penampilan, fesyen, gaya, mode, apa pun kalian menyebutnya.

Ada semacam adagium yang menyebut bahwa pesepak bola, secara keseluruhan dibagi dua, yakni pra-Beckham, dan pasca-Beckham. Hal ini didasarkan pada bagaimana seorang David Beckham menjadi lokomotif peralihan status pesepak bola dari “sekadar” atlet menjadi selebriti lapangan hijau.

Jika menilik gaya penampilan para pesepak bola pra-Beckham, kalau pun ada yang menonjol, paling-paling hanya berupa gaya rambut fenomenal, seperti milik Carlos Valderrama dengan rambut afro raksasanya. Atau mungkin kaus kaki yang tidak dinaikkan sampai ke lutut, seperti Manuel Rui Costa dan Francesco Totti. Atau warna sepatu kuning nan “nyentrik” ala Kjetil Rekdal yang – ketika itu – (cukup) menyilaukan. Atau pula, seragam warna-warni bertambal kain perca ala Jorge Campos yang sangat 90-an tersebut.

Yang lain? Meh, seperti anak sekolahan! Kaus dimasukkan, sepatu hitam, kaus kaki selutut, bahkan di sebagian tim (Argentina 1998 misalnya), rambut gondrong pun dilarang.

Tetapi kini, semua yang dianggap “wah” ketika saya kecil dulu, sudah tak lagi spesial. Lha bagaimana mau spesial, kalau semua orang berpenampilan “wah”?

Paul Pogba dengan goresan-goresan di rambut yang berganti tiap beberapa bulan; Aaron Ramsey dengan rambut pirangnya yang (diam-diam) memunculkan cercaan; produsen sepatu yang seperti terinspirasi oleh Rochi Poetiray, merilis sepatu dengan warna tak senada di tiap pasangnya; kaus kaki yang bisa dinaikkan sampai di atas lutut; Daniel Agger dengan rajah yang bisa difungsikan sebagai pengganti kaus lengan panjang, dan masih banyak lagi.

BACA JUGA:  Dejan Gluscevic dan Lahirnya Klan Dejan di Indonesia

Pendeknya, sepak bola, seperti yang sudah dikatakan ribuan kali oleh ribuan orang yang berbeda, telah berubah menjadi industri hiburan. Tak hanya para pesepak bola, yang notabene merupakan anak-anak muda, para pelatih pun kini sudah tak terbelenggu dalam jeratan tracksuit dan kaus polo.

Diego Simeone yang selalu tampil klimis, Joachim Low yang selalu tahu harus berpakaian seperti apa di segala suasana, hingga Antonio Conte yang menyadari bahwa rambut botak di usia 40-an itu tidak seksi, menjadi contoh bagaimana fesyen dalam sepak bola turut berkembang seiring naiknya status sepak bola itu sendiri.

Di tengah perlombaan untuk tampil semenarik mungkin itulah sosok Gabor Kiraly (ironisnya) mencuat.

Sosoknya sepintas mirip komedian Louis C.K. Berpostur agak gempal, dengan rambut bagian depan yang telah menipis, Gabor Kiraly tampak seperti bapak-bapak biasa.

Usianya kini sudah 40 tahun dan sebagai penggemar sepak bola yang sudah mengikuti olahraga ini selama dua dekade, saya ingat betul bagaimana “pertemuan pertama” saya dengan Kiraly terjadi: David Beckham Soccer, sebuah video game PlayStation generasi awal yang entah mengapa begitu populer di kalangan keluarga besar saya.

Ketika itu, tahun 2002, Kiraly masih membela Hertha BSC di kompetisi Bundesliga, dan karena tim favorit saya di video game adalah Schalke 04, maka pertemuan dengan Hertha BSC pun tak terhindarkan.

Kala itu, saya pun tidak begitu ngeh dengan keberadaan Kiraly, karena video game itu sendiri terlalu mudah (Anda bisa mencetak gol dari sepak pojok tanpa kesulitan berarti) dan tidak ada yang terlihat berbeda dari penggambaran Kiraly di sana.

Baru ketika tahun 2004, saat Kiraly memutuskan untuk mencoba peruntungannya di Inggris bersama klub promosi Crystal Palace, saya mulai memperhatikan bahwa ada sesuatu yang aneh di penampilan Kiraly. Sekali, saya pikir itu hanya perkara kebetulan saja. Dua kali, saya berpikir, ah mungkin memang kondisinya masih sama.

Baru ketika untuk ketiga kalinya saya menyaksikan Gabor Kiraly dengan celana panjang abu-abunya, saya berani menarik kesimpulan bahwa memang begitulah ia berpenampilan! Celana training kedodorannya itu ia pakai bukan karena celana yang “seharusnya” ia kenakan kebetulan tidak tersedia, atau bagaimana, melainkan karena memang itulah celana Gabor Kiraly!

Bagi para pembaca yang tidak cukup tua untuk mengingat sepak bola era 1990-an, saya beri tahu bahwa ketika itu, tidaklah aneh jika seorang penjaga gawang – khususnya di Eropa sana – mengenakan celana panjang.

Gianluca Pagliuca, Francesco Toldo, Bernard Lama, Massimo Taibi, dan Gianluigi Buffon pernah berada dalam fase ini. Bahkan, hingga pertengahan 2000-an pun para penjaga gawang masih sesekali mengenakan celana panjang.

Buffon pada era Capello, misalnya. Bahkan, kiper-kiper di Indonesia seperti kiper Persela, Choirul Huda, masih sesekali mengenakan celana panjang saat ini.

Bagi seorang penjaga gawang, celana panjang memang berfungsi sebagai pelindung ekstra, karena tugas mereka memang mahaberat dengan harus terbang ke sana kemari, jadi maklum saja rasanya. Apalagi, celana panjang yang mereka kenakan umumnya fit-sized dan tidak begitu mengganggu pergerakan.

Namun, bagaimana dengan celana panjang milik Kiraly?

Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, pemain tertua Euro ini mengatakan secara spesifik bahwa celananya harus satu ukuran lebih besar.

BACA JUGA:  Arda Guler: "Messi Turki" yang Dimenangkan Real Madrid Atas Barcelona

Aneh? Jelas, karena salah satu aturan tak resmi kostum olahraga adalah bahwa kostum tersebut tidak boleh mengganggu pergerakan. Logikanya, dengan kostum kedodoran macam itu, aerodinamika pergerakan Kiraly jadi agak terganggu.

Ada alasan mengapa kostum sepak bola dewasa ini semuanya menyesuaikan bentuk tubuh pemain, alih-alih longgar seperti era sebelumnya dan Kiraly, lewat takhayulnya, menolak mentah-mentah aturan tak tertulis ini.

Ritual ini sendiri bermula ketika Kiraly masih bermain untuk klub lokal, Haladar. Awalnya ia memilih celana warna hitam, hingga suatu saat tidak ada celana bersih yang bisa dikenakan. Kiraly pun terpaksa mengenakan celana berwarna abu-abu, dan setelah menjalani sembilan laga tanpa kekalahan, takhayul ini pun resmi dimulai.

Sebenarnya, selain celana panjang abu-abu ini, ada beberapa ritual lain yang selalu dilakukan ayah kiper junior Fulham ini, di antaranya mendengarkan lagu It’s My Life milik Bon Jovi, memasang deker kiri terlebih dahulu, dan ia percaya bahwa nomor keberuntungannya adalah “13”.

Akan tetapi, satu hal yang menonjol dari penampilan seorang Gabor Kiraly tetaplah celana guru olahraganya itu. Fans Fulham semakin rajin datang menyaksikan latihan tim demi celana training tersebut, dan TSV 1860 Munich juga sempat merasakan larisnya penjualan “celana jogging Kiraly”.

Ada semacam pemberontakan pasif yang dilakukan oleh Kiraly lewat fesyennya ini. Disebut pemberontakan karena ketidaklazimannya, dan pasif, karena sebenarnya, Kiraly memberontak tanpa memberontak.

Ia hanya percaya akan sesuatu, merasa nyaman terhadapnya, dan terus melakukannya, meski dunia memelototinya. Peduli setan, toh ia nyaman-nyaman saja, bahkan justru menjadi sosok ikonik karenanya.

Euro 2016 kali ini menjadi penanda tahun ke-18 Gabor Kiraly dipercaya mengawal gawang Hungaria. Pada laga debutnya dulu, Kiraly menghadapi Austria di mana satu eksekusi penalti berhasil ia halau. Selang 18 tahun kemudian, pada laga debut Kiraly di turnamen besar, di usia yang telah menginjak kepala empat, lawan yang sama ia empaskan.

Pada laga kedua kontra Islandia kemarin, Kiraly sempat membuat kesalahan yang menyebabkan jala gawangnya digetarkan Gylfi Sigurdsson, namun pada akhirnya, Hungaria selamat berkat gol bunuh diri Birkir Saevarsson.

Empat poin sudah dikemas tim yang pernah menggetarkan dunia pada dekade 1950-an, dan hasil ini saja sudah lebih baik ketimbang saat mereka tampil pada Piala Dunia 1986 (turnamen akbar terakhir Hungaria sebelum Euro 2016).

Mereka mungkin tidak akan bisa melaju hingga partai puncak, akan tetapi, dengan kemenangan atas Austria (yang disebut-sebut sebagai kuda hitam turnamen) saja, ditambah dengan hiburan tersendiri yang ditampilkan Kiraly, rasanya mungkin sudah cukup.

Bagi saya sendiri, menyaksikan Hungaria adalah kepuasan tersendiri, mengingat ketika saya masih kecil dulu, banyak orang-orang yang lebih tua bercerita bahwa mereka pernah menyaksikan Hungaria bermain.

Pengetahuan sepak bola Hungaria saya kala itu masih terbatas pada fakta bahwa mereka pernah mengalahkan Hindia Belanda 6-0. Sebuah pengetahuan yang saya dapat dari Guinness’ Book of Record 1998.

Akhir kata, terima kasih saya ucapkan kepada Gabor Kiraly, yang telah berjasa menjadi semacam penyegar di tengah sepak bola yang kian warna-warni dan meletup-letup.

Gabor Kiraly adalah pahlawan bagi mereka yang mendewakan kenyamanan di atas penampilan, dan untuk itu, mari sama-sama kita ingat namanya, karena boleh jadi, ia takkan datang untuk yang kedua kali.

 

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.