Sebagai pecinta sepakbola lokal, kita tentu sepakat bahwa berada dalam satu grup bersama Brunei Darussalam dalam suatu kompetisi merupakan sebuah berkah. Karena dengan begitu, pendukung Timnas Indonesia seolah yakin bahwa satu kemenangan sudah ada di dalam genggaman.
Bersama dengan Timor Leste, negara monarki di bagian utara Pulau Kalimantan itu memang kerap jadi bulan-bulanan. Kekalahan dengan skor yang mencolok seolah menjadi hal lumrah bagi mereka ketika mengikuti suatu kompetisi sepakbola hampir di semua level usia.
Siring berjalannya waktu, kesadaran mulai tumbuh bahwa ada yang salah dengan pengembangan dan pengelolaan olahraga tersebut. National Football Association of Brunei Darussalam (NFABD) sebagai induk organisasi sepakbola di Brunei pun berbenah.
Hasrat untuk mengubah wajah dalam pergelutan di lapangan hijau dimulai oleh seorang bernama Pengiran Haji Matusin bin Pengiran Haji Matasan. Presiden NFABD tersebut, memulai revolusi besar sepakbola Brunei lewat Strategic Plan NFABD 2019-2023 sebagai pedoman utamanya.
Kesuksesan Islandia pada Piala Dunia 2018 menjadi inspirasinya. Langkah demi langkah yang sama perlahan dipelajari. Kemudian, pengejawantahannya dituangkan dalam cetak biru lima tahunan sepakbola Brunei.
Matusin menekankan empat pilar utama yang menjadi fokus dari organisasinya. Yang pertama adalah pengembangan dari sisi teknis. Pada poin ini, pembinaan usia muda menjadi fokus utama. Ia menekankan pentingnya peningkatan angka partisipasi sepakbola bagi warga Brunei.
Lewat program di tingkat akar rumput, NFABD mencoba menumbuhkan gairah sepakbola di negara yang jumlah penduduknya tidak lebih banyak dari provinsi Bali itu.
Salah satu caranya adalah menggelar kompetisi sepakbola dengan lapangan kecil bertajuk Grassroots 4×4 Game Festival. Kompetisi semi profesional dalam bentuk liga di beberapa regional juga dilakukan.
Selain untuk menumbuhkan minat bermain sepakbola, dua kompetisi tersebut bertujuan untuk menemukan pemain-pemain muda berbakat. Tentu saja mereka akan diproyeksikan untuk bergabung ke dalam tim nasional usia muda.
Keseriusan Brunei membangun sepakbolanya di tataran akar rumput itu sudah terbukti menorehkan hasil. Gelar AFC President Recognition Award tahun 2019 berasil digondol.
Selanjutnya, pembangunan infrastruktur dan teknologi juga berusaha dikejar. Fasilitas sepakbola dengan taraf internasional diperbanyak. Impiannya cukup jelas bahwa hasil dari pembangunan itu dapat mendukung perkembangan sepakbola di Brunei.
Untuk mewujudkannya, Matusin berniat membangun sebuah National Center Building. Kompleks itu akan berisi tempat pemusatan latihan Timnas Brunei, termasuk penginapan, lapangan, dan gymnasium. Di sekitarnya, juga direncanakan untuk didirikan stadion utama.
Selanjutnya, di bidang yang bersinggungan dengan akademik juga menjadi sorotan. Matusin sadar bahwa sport science penting sebagai faktor pendukung. Oleh karena itu, didirikan sebuah laboratorium untuk memantau perkembangan dan kondisi pemain melalui data yang telah diambil.
Melalui kompleks pemusatan yang memadai tersebut, Brunei ingin memastikan bahwa talenta-talenta muda yang ditemukan lewat program pengembangan di ranah akar rumput tidak begitu saja terbuang sia-sia.
Kemudian, dari sisi manajemen organisasi, Matusin mendorong nilai profesionalisme. Pandangannya disampaikan saat sang presiden berbicara dalam Kongres Luar Biasa NFABD.
Pada kesempatan tersebut, ia menghubungkan hal itu dengan prestasi sepakbola Brunei yang bisa dibilang tidak ada kemajuan. Peringkat FIFA negaranya yang tidak berubah sejak dua dekade terakhir menjadi parameternya.
“Kita harus berjuang untuk naik 20, 30, atau 50 langkah. Itu semua dapat dicapai. Jika Anda berpikir kita tidak bisa melakukannya, saya pikir Anda berada di tempat yang salah. Kita memang tidak bisa melakukannya sendirian. Kita harus melakukannya bersama secara profesional,” ungkapnya.
Faktanya, ucapan Matusin membuahkan hasil. Selama satu tahun kepemimpinannya, peringkat FIFA mereka menanjak. Walaupun hanya naik empat peringkat ke posisi 191, tetapi tetap saja hal itu merupakan suatu prestasi.
Pilar terakhir yang menjadi fokusnya adalah meningkatkan level kompetisi dalam negeri. Sejak menjabat menjadi presiden NFABD, Matusin telah menempuh dua strategi utama untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Pertama, kerjasama bilateral dilakukan dengan federasi negara lain yang sudah menjalankan kompetisi yang lebih profesional. Malaysia dan Jepang menjadi dua negara yang telah diajak kolaborasi. Harapannya terdapat banyak ilmu yang dapat diambil dan dapat diaplikasikan di Brunei.
Kedua, perangkat kompetisi Liga Super Brunei disekolahkan lagi. Mulai dari pengurus liga hingga wasit diajak untuk belajar kembali di luar negeri. Dalam beberapa kesempatan lain, pakar dari negara lain didatangkan untuk mendidik mereka.
Dengan melakukan itu, Matusin percaya bahwa akan ada peningkatan kemampuan baik dari pengelola kompetisi maupun perangkat pertandingan. Ujungnya, level kompetisi sepakbola dalam negeri akan membaik pula.
Matusin memang berambisi mengubah sejarah Brunei. Ia berusaha menyingkirkan stigma tim nasional kelas dua yang disematkan kepada negaranya. Melihat keseriusan federasi yang dipimpinnya dalam berbenah, bisa jadi mereka benar-benar bisa mengubah peta kekuatan sepakbola Asia Tenggara.
Ketika masa tersebut tiba, boleh jadi pendukung tak lagi bahagia jika bersua mereka. Karena pada waktu itu, Brunei sudah menjelma menjadi lawan yang sepadan. Atau malah menjadi lebih kuat dari kita karena federasi sepakbola negara ini yang jalan di tempat.