Mengidolai Davinia Vanmechelen, Menghargai Sepakbola Wanita

Sebelum memulai tulisan ini, saya berani bertaruh, pasti tidak ada dari para pembaca yang tahu siapa itu Davinia Vanmechelen.

Dia adalah seorang pemain sepakbola, lebih tepatnya pesepakbola wanita, yang tidak begitu terkenal. Namanya tidak setenar Alex Morgan atau Megan Rapinoe, tetapi dia punya hak sama untuk diidolai sebagai seorang pemain sepakbola.

Penulis mengidolai si pemain bukan secara fisik penampilan cantik sebagai seorang wanita. Kalau bicara masalah cantik, pertama konsep cantik itu subyektif tergantung selera. Kedua bahwa lebih banyak pesepakbola wanita yang mungkin lebih cantik ―menurut banyak orang.

Lagipula, ini merupakan sepakbola bukan kontes kecantikan. Penulis mengidolai pesepakbola wanita ini persis seperti mengidolai pesepakbola pria. Bukan tampang fisik semata, melainkan lebih pada kemampuan bermainnya.

Perjalanan penulis mengidolai pesepakbola wanita ini berawal dari sebuah pertanyaan dasar. Apa yang ada di benak para penggemar sepakbola asal Indonesia ketika sementara waktu tinggal di Eropa?

Pasti, melihat secara langsung pertandingan sepakbola di benua ini. Begitu pula bagi penulis, tak akan melewatkan kesempatan emas. Ketika sejak tahun 90-an hanya bisa menikmati pertandingan sepakbola Eropa lewat layar kaca, sekarang saatnya datang langsung ke stadion.

Seperti lazimnya pepatah para penikmat sepakbola, “support your local team”. Pertandingan pertama yang ditonton langsung penulis adalah pertandingan klub FC Twente yang bermarkas di Enschede, tempat tinggal penulis, sejakDesember 2018.

Jalannya pertandingannya mungkin sama, hanya 2×45 menit dengan satu bola diperebutkan 22 orang di atas lapangan.

Perbedaannya hanya pada atmosfer stadion Eropa, yang tidak pernah dirasakan ketika menikmati pertandingan di Indonesia. Apalagi De Grolsch Veste kandang FC Twente merupakan salah satu stadion sepakbola terbesar di Belanda.

Kapasitasnya 30.205 tempat duduk. Hanya kalah dari Johan Cruyff Arena dan De Kuip yang berdaya tampung 50 ribuan penonton dan berselisih 6 ribuan kursi dari Philips Stadion di Eindhoven.

Kompetisi lokal Belanda sudah dicicipi. Selanjutnya adalah mencoba menonton kompetisi Eropa yang lebih bergensi, Liga Champions.

Sayangnya mantan juara Eredivisie ini bukan lagi sebuah tim besar. Bahkan waktu awal penulis datang ke Enschede, FC Twente malah berlaga di kasta kedua atau Eerste Divisie.

Di musim yang sama, Belanda diwakili Ajax Amsterdam pada kompetisi tertinggi Eropa, bahkan tembus semifinal sebelum kalah dramatis melawan Tottenham Hotspurs. Tapi sayangnya kesempatan penulis untuk menonton pertandingan-pertandingan Ajax di Liga Champions kandas.

Pertama, betapa susahnya mencari tiket pertandingan. Perjalanan ajaib mereka di kompetisi Eropa menjadi magnet bagi penikmat sepakbola untuk melihat langsung ke stadion.

Kedua, ternyata betapa mahalnya harga tiket pertandingan Liga Champions untuk kantong perantau dari Indonesia. Alasan kedua ini membuat penulis harus melupakan asa dan mengubur dalam-dalam hasrat yang terdalam. No debate.

Sampai akhirnya suatu siang di musim panas datang suatu kesempatan langka. Penulis menemukan suatu informasi bahwa akan ada satu pertandingan Liga Champions di Enschede.

BACA JUGA:  Semoga Musim Depan Tak Seburuk Ini, Persiba Bantul

Lokasi pertandingan hanya berjarak satu setengah kilometer dari tempat tinggal penulis. Ini bukan informasi abal-abal dan benar-benar Liga Champions yang mempertemukan tim-tim kuat benua biru.

Kenyataannya memang pada tanggal 13 Agustus 2019 akan ada satu pertandingan antara FC Twente Vrouwen melawan klub asal Polandia GKS Górnik Łęczna, dalam kompetisi UEFA Women’s Champions League atau Liga Champions Wanita.

FC Twente Vrouwen atau FC Twente Wanita berhak mewakili Belanda di kancah persepakbolaan Eropa setelah tahun sebelumnya berhasil menjuarai Eredivisie Vrouwen.

Mereka bermain melalui fase kualifikasi berisi 40 tim dan dibagi menjadi 10 grup dengan sistem home tournament. Juara masing-masing grup sudah ditunggu 22 kontestan lain untuk bertarung di babak 32 menggunakan sistem gugur kandang-tandang.

FC Twente Vrouwen sebagai tuan rumah kualifikasi grup 9 berhasil keluar sebagai juara grup. Kelak di babak 32 besar berhasil melewati hadangan klub asal Austria St. Pölten, sebelum dihajar VfL Wolfsburg dengan skor agregat 7-0 di babak 16 besar.

Pertandingan antara FC Twente Vrouwen melawan GKS Górnik Łęczna sendiri dilangsungkan di Sportvereniging Vosta, sebuah lapangan sepakbola milik salah satu klub amatir lokal di Enschede. Ketika berada di sana, atmosfer pertandingan mirip pertandingan Sunday League alias tarkam.

Di mana lapangan hanya memiliki satu tribun di sisi barat dan penonton lain bisa menyaksikan dari pinggiran lapangan sambil berdiri. Penonton tampak santai menikmati pertandingan sambil sesekali melepas suara lantang memberikan dukungan.

Menariknya walaupun ini sepakbola yang dimainkan wanita tapi tidak sedikit pun dijumpai aksi-aksi seksisme. Tidak dalam bentuk psywar pelecehan sebelum pertandingan baik di media sosial ataupun lapangan.

Tidak dalam spanduk-spanduk penuh perkataan melecehkan individu atau tim lawan. Tidak pula dalam teriakan seksisme dan rasisme dari pinggir lapangan. Di mana dua bulan setelah pertandingan ini kejadian sebaliknya malah terjadi pada perhelatan Liga 1 Putri di Indonesia.

Pertandingan dimenangkan FC Twente Vrouwen dengan skor 2-0. Hasil ini memantapkan posisi mereka di puncak klasemen dan berhak lolos ke babak 32 besar.

Terkait pertandingan itu sendiri penulis lebih tertarik pada aksi seorang pemain yang bermain ciamik pada sore itu. Nomor punggung 25 bertuliskan Vanmechelen. Dimainkan sebagai gelandang serang, permainnya mampu memporak-porandakan pertahanan lawan.

BACA JUGA:  Real Madrid Femenino Tidak Sama dengan Real Madrid

Pergerakan serta umpan-umpannya mampu membuahkan peluang bagi timnya. Mungkin dialah pemain yang paling banyak dilanggar lawan sore itu.

Kekaguman penulis kepada si pemain membawa keingintahuan lebih sampai ke ranah dunia maya. Didapatlah nama lengkap si pemain idola, Davinia Vanmechelen, kelahiran 30 Agustus 1999.

Ternyata pemain muda ini bukan warga negara Belanda seperti perkiraan awal penulis, melainkan Belgia. Pernah dua kali ia mengantarkan tim kampung halamannya, Standard Liège, menjadi juara liga lokal dua musim berturut-turut.

Davinia didatangkan ke Enschede pada awal musim 2019/2020 dari Paris Saint Germain setelah semusim sebelumnya dipinjam PSV Vrouwen.

Pada perekrutannya pemain ini disebut sebagai talenta muda terbaik Belgia oleh direktur teknik FC Twente Vrouwen. Dari berbagai macam berita dan video memang terlihat pemain muda satu ini memiliki bakat besar sebagai pesepakbola wanita.

Layaknya seorang penggemar kepada pemain sepakbola idolanya, penulis berusaha selalu update perkembangan si pemain. Setiap pertandingan coba diikuti, minimal melihat cuplikan pertandingan tim yang dibelanya.

Bahagia ketika Davinia masuk daftar sebelas pertama dan lebih bahagia bila dia bermain bagus atau bahkan mampu mencetak gol. Tidak hanya di level klub, tapi juga tim nasional senior Belgia yang sudah dibelanya sejak 2016.

Puncaknya saat melihat sang idola berhasil mengantarkan FC Twente Vrouwen menjadi juara Eredivisie Cup setelah mengandaskan PSV Vrouwen, timnya musim lalu.

FC Twente Vrouwen Juara Eredivisie Cup 2019/2020 (sumber: knvb.nl)

Mengikuti perkembangan Davinia juga bisa dilakukan dengan mengikuti akun media sosialnya. Beberapa kali Davinia mengunggah foto di akun Instagram miliknya yang hanya berisi 6 ribuan follower. Pun konten unggahan, mayoritas berisi kegiatannya di lapangan hijau.

Tak tampak unggahan endorse produk, menjadi model dan berfoto menggunakan produk tertentu, ataupun gelimangan kehidupan mewah khas pesepakbola.

Dia terkesan sederhana dan lebih suka mengunggah aksinya bersama bola sepak. Dari situ bisa dilihat betapa pemain satu ini benar-benar profesional sepenuh hati menjalani profesinya sebagai pesepakbola.

Mungkin seperti ini harusnya kita mengidolai pemain sepakbola, termasuk pesepakbola wanita. Tidak terpaku pada wajah cantik atau tubuh indah sang pemain, tapi lebih pada kemampuan dia dalam mengolah si kulit bulat.

Termasuk tanpa tindakan seksisme baik di dunia maya ataupun ketika melihat mereka bertanding. Hanya teriakan dukungan yang biasa terlontar, sama ketika melihat pertandingan sepakbola pria.

Mereka sama, sama-sama atlet dengan kemampuan memainkan bola sepak yang mengagumkan. Kita sebagai penonton tinggal menikmati keahlian mereka dalam permainan di lapangan. Mengidolai sepenuh hati talenta mereka tanpa memerdulikan pria ataupun wanita.

Komentar
Bapak rumah tangga yang bermukim sementara di Enschede, Belanda. Bisa diajak ngobrol untuk mengisi waktu luang di akun Twitter @AdityoNugroho30.