Il Biscione Itu Bernama Alvaro Recoba

Setiap prosa tentang Alvaro Recoba pasti menyisipkan satu kisah tentang pertandingan di akhir Agustus 1997, laga pertama Il Chino bersama Internazionale Milan.

Pemain Uruguay itu mencetak dua gol kemenangan Nerazurri setelah masuk lapangan sebagai pemain pengganti. Ia mengalihkan perhatian dunia dari debutan lain, Sang Fenomenal, Ronaldo.

Selain laga debut memang tak ada lagi yang bisa diceritakan tentang Recoba di musim perdananya. Recoba tidak bisa mendapatkan kepercayaan pelatih Internazionale saat itu, Luigi Simoni.

Pada giornata kedua ia hanya bermain 7 menit. Tiga pertandingan berikutnya Il Chino mangkrak di bangku cadangan. Total semusim Recoba hanya bermain delapan kali.

Musim itu Internazionale menjuarai Piala UEFA. Ronaldo menjadi bintang di partai final sementara Recoba berada di bangku cadangan sepanjang laga.

Ronaldo dan Recoba

Alvaro Recoba memang ndableg. Kedekatannya dengan Javier Zanetti tidak membuatnya tertular etos kerja pria Argentina itu.

Bila setiap jam 7 pagi Zanetti bersiap-siap latihan, Recoba memilih tidur. Alhasil Il Chino kerap terlambat datang ke tempat latihan. Pada sebuah wawancara Recoba juga mengakui bahwa ia tidak menyukai latihan fisik.

Lain halnya dengan Ronaldo. Luigi Simoni memuja bintang Brasil itu sebagai striker terbaik yang pernah ia latih.

“Saat latihan Ronaldo sering terlihat lebih hebat dibandingkan ketika pertandingan. Seringkali saya tercengang melihat aksinya. Bagi Ronaldo itu biasa, tentu saja hanya bagi dia,” ujar Luigi Simoni.

Sangat masuk akal bila Recoba tidak mendapat tempat di hati Luigi Simoni. Pada musim keduanya Recoba hanya terlibat dalam satu pertandingan Nerazurri sebelum dipinjamkan ke Venezia.

Aliran laguna di kanal-kanal Venesia membangkitkan kenangan Il Chino akan Rio De Plata yang mengalir merangkul Montevideo. Bagi Recoba Montevideo bukan hanya kota kelahiran, melainkan ruang dan waktu tempat kejayaannya bermula.

Recoba membuktikan kualitasnya di Venezia. Ia mencetak 11 gol dan 9 asis dalam 19 pertandingan. Membawa Lagunari bercokol di posisi 11 klasemen akhir, terpaut 4 poin dari Internazionale di posisi 8.

Biru Hitam Recoba

Alvaro Recoba kembali ke Internazionale pada musim 1999/2000. Kedatangannya disambut sesaknya lini depan Nerazurri. Ronaldo, Roberto Baggio, Adrian Mutu, Ivan Zamorano, juga rekrutan baru Christian Vieri menjadi pesaing Il Chino merebutkan satu tempat di lini penyerangan.

Luigi Simoni tak lagi berada di Internazionale. Marcello Lipi mengambil alih kemudi. Lippi mempercayai Recoba. Terlebih  saat Ronaldo cedera panjang.

Bersama Zamorano, pria berkebangsaan Uruguay itu menjadi striker dengan penampil terbanyak. Recoba mencetak 10 gol sepanjang musim. Nerazurri nangkring di posisi 4 klasmen akhir.

Musim berikutnya (2000/2001) Recoba masih menjadi pilihan utama Marcello Lipi. Menit bermainnya teratas di antara penyerang lain. Sembilan gol ia bukukan dalam 29 penampilan. Internazionale mengakhiri musim di posisi 5 klasmen.

Di akhir tahun 2000 Alvaro Recoba memperpanjang kontraknya di Internazionale. Besar gajinya meningkat fantastis. Ia menerima bayaran lebih besar dari pemberi dua Scudetto Juventus, Zinedine Zidane.

Juga dari Rivaldo di Barcelona dan Raul Gonzales yang mengantar Real Madrid juara Liga Champions 1999/2000. Il Chino menjadi pemain bergaji tertinggi sejagad.

BACA JUGA:  Kisah Roberto Carlos dan Maskot Sepak Bola Bernama Ronaldo

Hanya beberapa bulan setelah kontrak fantastisnya itu Recoba tersandung kasus paspor palsu. Ia dilarang bermain selama 4 bulan.

Selesai menjalani masa hukumannya Recoba segera menjadi bagian penting perburuan Scudetto Nerazzuri musim 2001/2002. Sayangnya Juventus merebut gelar pada pekan terakhir. Belum ada Scudetto untuk Il Chino.

Pun untuk musim 2002/2003. Recoba yang berduet dengan Vieri tak mampu menandingi kedigdayaan Juventus di Serie-A. Di Liga Champions, Nerazurri yang menapaki kejuaraan dari babak play off gagal melewati AC Milan di semifinal.

Inter baru memenangi gelar Scudetto pada musim 2005/2006, saat Recoba tak banyak bermain karena cedera. Gelar juara Serie A tahun berikutnya pun diperoleh Internazionale tanpa kontribusi besar Il Chino.

Pada akhir musim Recoba meninggalkan Internazionale untuk menjalani masa peminjaman di Torino. Sejak saat itu ia tak tak pernah kembali.

Yang tertinggal

Kabut turun menyesaki Renato Curi saat Perugia menghadapi Internazionale Milano. Semakin larut kabut menebal. Namun laga giornata 18 Serie A 2002 itu terus berlanjut. Pergerakan bola semakin sulit diamati. Hanya kelebat pemain kedua kesebelasan yang menandakan bahwa pertandingan masih berlangsung.

Saya tidak menonton pertandingan itu. Entah karena tidak disiarkan di stasiun televisi atau karena jam tayang yang terlalu malam. Namun, dua hari setelah laga itu saya membeli Tabloid BOLA untuk membaca ulasan pertandingannya.

Ninja Reco-Bo Membunuh Dari Balik Kabut. Tabloid Bola menggunakan frasa itu untuk menggambarkan pertandingan Perugia melawan Internazionale itu. Ninja Reco-Bo merujuk pada duet striker Inter, Recoba dan Bobo Vieri. Mereka mencetak masing-masing satu gol yang membawa kemenangan Nerazzuri atas Perugia.

Bagi banyak orang mungkin terdengar biasa. Tapi frase itu terus hidup di kepala saya.

Saya membayangkan Recoba yang meliuk-liuk melewati lima atau enam pemain Perugia. Tiba-tiba ia melepaskan sebuah tendangan yang melengkung deras, membelah kabut. Penjaga gawang yang tak menyangka hanya melongo saat bola masuk ke gawangnya.

Bagi saya, Recoba adalah satu-satunya pemain yang bisa melakukan hal-hal semacam itu. Il Chino adalah seorang penyihir penuh keajaiban.

Aksi-aksi Recoba menunjukkan hal itu. Gol pertamanya bagi Internazionale berawal dari tendangan keras dari jarak 30 meter! Bola sepakannya meluncur naik menuju sudut gawang tanpa sanggup dihentikan kiper Brescia.

Gol keduanya berawal dari tendangan bebas dari jarak yang hampir sama dengan gol pertama. Kali ini Alvaro Recoba melengkungkan bola untuk mencapai sudut gawang. Akurasinya maut. Baik saat ia menendang dengan punggung kaki ataupun kaki bagian dalam.

Francesco Moriero menekuk lutut dan memaksa Recoba meletakkan kaki kirinya di sana. Sebuah shoeshine celebration untuk seorang debutan dari seniornya.

Simak juga bagaimana Recoba mencetak gol pertamanya ke gawang Lecce selepas kembali dari Venezia.

Recoba menerima operan membelakangi gawang. Seorang pemain membayanginya. Bola datang sedikit memantul. Sekali kontrol Recoba mencungkil bola melewati kepala pemain lawan. Saat yang bersamaan Recoba membalikkan badan. Bola kembali ke kakinya. Sekali lagi Il Chino mencungkil bola. Kali ini melewati kiper lawan. Gol.

BACA JUGA:  Franck Ribery: The Scarface Penggila Kecepatan

Recoba seakan bisa mencetak gol dalam situasi apa saja. Tendangan keras, gocekan maut, solo run, tendangan bebas, bahkan gol olimpico!

Dalam setiap pertandingan yang melibatkan Recoba akan ada pertanyaan abadi; Apalagi yang akan ia (Recoba) lakukan? Begitu terus sepanjang musim. Seringkali kita akan terkejut dengan aksinya, tidak jarang juga ia mengkhianati harapan kita.

“Recoba mungkin adalah pesepak bola paling baik yang pernah saya kenal. Beberapa kali ia membuat kesalahan di lapangan yang membuat kami jengkel. Tetapi kemudian ia melakukan kejaiban dengan kaki kirinya, semua kesalahannya terbalas,” Christian Vieri.

Kejutan yang sama

Dalam skala yang lebih besar Internazionale juga melakukan hal yang sama dengan Alvaro Recoba. Memberikan banyak kejutan.

Musim 2001/2002 contohnya. Pada sebuah laga menentukan melawan pimpinan klasmen, AS Roma, Nerazurri mengamuk. Recoba mencetak dua gol dan 1 asis. Inter mengambil alih klasmen. Optimisme meningkat. Interisti siap berpesta.

Butuh satu kemenangan di laga terakhir untuk meraih scudetto. Yang terjadi adalah Internazionale dibantai Lazio, tim yang saat itu duduk di peringkat 7 klasmen.

Harapan yang terbangun sepanjang musim hancur lebur di pekan penutupan. Perang urat syaraf dan ejekan ke tifosi lain seketika berbalik kepada diri sendiri. Saya pikir ada ribuan Interisti yang meneteskan air mata saat itu.

Musim sebelumnya Internazionale juga memberikan kejutan yang tidak kalah menyebalkan. Nerazzuri bermain imbang saat tandang ke markas Alaves pada leg pertama babak 16 besar Piala UEFA. Alih-alih meraih kemenangan, di kandang sendiri Internazionale malah takluk 2 gol tanpa balas.

Pada periode 1999 sampai 2005 ada banyak “kejutan” lain Nerazurri untuk tifosinya. Sama banyaknya dengan keajaiban yang tersimpan di kaki kiri seorang Alvaro Recoba.

“Alvaro Recoba mirip dengan Inter, selalu mengejutkan. Dia sering terlihat malas, kemudian tiba-tiba melakukan sesuatu yang belum pernah dilihat orang sebelumnya,”  Massimo Moratti.

Pada akhirnya

Banyak orang menganggap bahwa Recoba adalah pemain paling overpriced. Anggapan itu diperkuat oleh Forbes yang mengeluarkan daftar yang membandingkan besaran gaji pemain bola (pada tahun 2001) dengan kontribusinya bagi tim. Zinedine Zidane Juventus berada di peringkat teratas dan Recoba Internazionale terbawah.

Sepak bola bukanlah matematika. Alvaro Recoba bukan semata seorang pemain yang dibayar untuk bermain di sebuah klub bernama Internazionalle Milan.

Recoba adalah Inter itu sendiri. Ia adalah Biscione yang merepresentasi sebuah masa yang penuh duka, harapan, dan imajinasi. Butuh keberanian besar bagi seorang Interisti mengakui Recoba sebagai idolanya.

Alvaro Recoba mengumumkan pensiun dari sepak bola pada 30 Maret 2016. Laga perpisahan digelar di stadion Gran Parque Central Montevideo sehari setelahnya.

Moratti, Zlatan Ibrahimovic, dan Luis Suarez mengucapkan kata perpisahan lewat layar besar di stadion. Javier Zanetti, Francesco Toldo, Ivan Zamorano, dan Juan Roman Riquelme terlibat pada saga terakhir Recoba itu.

Presiden Uruguay, Tabarez Vasquez, membuka pertandingan. Sementara di ruang ganti, mantan presiden Uruguay Jose “Pepe” Mujica memberi selamat seuasi laga. Ciao, Chino!

 

 

Komentar
Penyuka desk research. Sedang belajar menulis feature. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @waprijadi