“Kita masih harus percaya pada sepak bola karena sepak bola merupakan budaya populer yang paling populer.”
Ungkapan itu berasal dari Fajar Junaedi saat menjadi pembicara dalam acara diskusi sepak bola di kampus saya, beberapa waktu lalu. Secara umum, saya setuju dengan apa yang diucapkan oleh dosen jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut.
Sebelum kita memahami tentang mengapa sepak bola merupakan budaya populer yang paling populer, kita harus memahami dulu definisi budaya populer tersebut.
Raymond Williams dalam bukunya yang berjudul Keyword (1983) memberikan definisi budaya populer. Menurutnya, budaya populer merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu “budaya” dan “populer”. Williams menjabarkan “budaya” merujuk kepada tiga definisi: pertama, suatu proses perkembangan intelektualitas, spiritual dan estestis. Kedua, suatu pandangan hidup suatu masyarakat, dan ketiga, suatu praktik-praktik intelektual. Selanjutnya, ia juga memberikan empat definisi dari “popular”: pertama, banyak disukai orang. Kedua, jenis sesuatu yang rendah. Ketiga, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, dan keempat, budaya yang dibuat untuk dirinya sendiri.
Pertama, budaya populer merupakan sesuatu yang menyenangkan dan disukai banyak orang. Sepak bola sangatlah cocok jika merujuk pada definisi ini. Tak ada yang lebih menyenangkan ketimbang melihat kesebelasan kesayangan kita memenangi derby dengan gol tunggal pada menit terakhir. Atau, tak ada yang lebih menyenangkan saat tim nasional (timnas) kita menjuarai turnamen internasional, seperti ketika timnas U-19 menjadi jawara Piala AFF U-19 dua tahun silam.
Lebih lagi, sepak bola memang menyenangkan, karena sifatnya yang menghibur. Setelah bekerja keras seharian, sepak bola merupakan hiburan antilelah yang disukai oleh banyak orang. Lihat saja berapa banyak orang yang buru-buru pulang cepat hanya untuk sekadar nonton bola. Atau tengok saja saat ada Piala Dunia, berapa banyak manusia di berbagai belahan bumi yang matanya tertuju pada ajang empat tahunan tersebut? Atau berapa banyak orang yang mencari segala cara untuk menonton pertandingan tim kesayangannya meskipun tidak punya uang? Sepak bola, suka tidak suka, telah menjadi candu.
Kedua, budaya populer merupakan jenis sesuatu yang rendah. Disebut juga dengan budaya rendah, atau bahasa kerennya, budaya residual. Budaya residual yang dimaksud adalah budaya yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi budaya tinggi. Sosiolog Perancis, Pierre Bourdieau dalam karyanya, La Distinction (1979) mengatakan bahwa celah antara budaya rendah dan budaya tinggi kerap dimanfaatkan untuk memperlebar jarak kelas antarkelas. Budaya rendah dianggap budaya yang diperuntukkan bagi manusia-manusia kelas menengah ke bawah. Sebaliknya, budaya tinggi merupakan budaya yang diperuntukan untuk manusia kelas atas.
Ketiga, budaya populer disebut juga budaya massa. Budaya massa merupakan budaya yang diproduksi secara massal dengan konsumsi massal pula. Budaya massa tidak membutuhkan pendidikan tinggi untuk menontonnya. Intinya budaya massa juga dianggap sebagai budaya yang rendah sebagaimana definisi sebelumnya.
Keempat, budaya populer merupakan budaya yang berasal dari rakyat dan dibuat oleh rakyat. Namun sebenarnya, ada beberapa permasalahan yang muncul. Seperti siapa sajakah yang dimaksud dengan “rakyat”? Atau bagaimana hakikat budaya-budaya itu terbentuk. Yang jelas, rakyat tidak bisa secara spontan membentuk budaya menggunakan material yang ada, melainkan tetap ada yang membentuknya dari atas, yaitu kaum pemilik modal. Karena bagaimanapun populernya sebuah produk budaya, bahan mentah budaya tersebut pasti disediakan secara komersial.
Jika kita gabungkan ketiga definisi di atas dengan sepak bola, memang ada benarnya. Awalnya, sepak bola memang merupakan hiburan bagi rakyat kecil. Di Eropa, sepak bola cukup identik dengan kaum working class (kelas pekerja). Simon Kuper dalam bukunya, Why England Lose: & Other Curious Football Phenomena Explained (2010) menulis mentalitas penonton sepak bola di Inggris yang merupakan kelas pekerja memandang bahwa pada Sabtu malam merupakan akhir dari hari-hari kerja dan oleh karenanya dianggap waktu yang tepat untuk gila-gilaan.
“Gila-gilaan” di sini terutama merujuk pada kebiasaan minum bir sambil menonton pertandingan sepak bola. Kaum working class akan memadati pub sambil meminum bir mereka sebelum berangkat bersama-sama ke stadion dan menyajikan lagu-lagu penyemangat (chants). Atau jika sedang tidak berangkat ke stadion, mereka akan menonton pertandingan di dalam pub sambil meminum bir. Intinya, mereka akan gila-gilaan untuk melupakan segala hal berat yang telah terjadi dan akan tenggelam dalam kesenangan.
Namun saat ini, sepak bola telah bertransformasi menjadi olahraganya semua kalangan. Kalangan atas senang menonton pertandingan sepak bola begitu pun dengan kalangan bawah. Lihat saja berapa pejabat-pejabat negara yang menonton Piala Dunia dan tentu saja mereka tidak bisa disebut sebagai kalangan bawah. Fenomena macam ini bisa dijelaskan dengan kembali ke sifat utama sepak bola itu sendiri, yakni hiburan.
Budaya massa akan menghasilkan industri yang berorientasi kepada keuntungan semata. Hal tersebut juga terjadi dengan sepak bola. Semakin ke sini, sepak bola akan terus berkembang, terutama dari segi ekonomi. Komersialisasi dalam sepak bola begitu besar. “Komersialisasi” sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan”.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sepak bola sudah menjadi barang dagangan. Ini sangat jelas terlihat dari mahalnya hak siar televisi suatu kompetisi sepak bola, pernak-pernik klub kesayangan, atau mahalnya harga tiket masuk stadion. Sebenarnya, yang dijual dari sepak bola hanyalah “kesenangan”. Ada perasaan senang ketika menonton pertandingan, dan hal itu laku dijual, dengan harga yang tidak murah tentunya.
Saya jadi teringat teori Parento Principle atau lebih dikenal dengan sebutan teori 20-80. Teori ini berasal dari Italia. Saat itu, pada tahun 1960 Vilfredo Pareto menemukan bahwa di Italia, 80 persen tanah dan kekayaan dikuasai oleh 20 persen jumlah populasi yang ada. Teori yang awalnya merupakan teori ekonomi ini kemudian ditafsirkan ke dalam bentuk ilmu-ilmu yang lain.
Saya akan mencoba menafsirkannya secara bebas.
Kita anggap 20 persen merupakan pemilik modal dan 80 persen merupakan konsumen. 20 persen pemilik modal akan membentuk budaya populer yang dikemas secara komersial untuk dinikmati 80 persen konsumen. 80 persen konsumen tersebut akan tenggelam dalam kesenangan dan 20 persen pemilik modal juga akan tenggelam dalam kekayaan. 80 persen konsumen tidak akan sadar bahwa kesayangan mereka sedang dikomersialisasi pemilik modal. Mungkin karena saking cintanya, mereka jadi melupakan segalanya.
Jika sudah seperti ini yang rugi siapa? Tidak ada. Pemilik modal semakin kaya, sementara konsumen akan senang karena hasratnya tercapai.
Jadi, apakah Anda sudah menemukan alasan mengapa sepak bola merupakan budaya populer yang paling populer?