Kisah Transfer yang Menautkan Maradona dan Sabella

Medio akhir November dan awal Desember 2020 silam merupakan periode berdua bagi masyarakat Argentina. Dua sosok besar dalam sejarah sepakbola mereka, Diego Maradona dan Alejandro Sabella, mangkat.

Maradona meninggalkan kita semua pada 25 November 2020 akibat serangan jantung. Sudah sejak lama, penyakit tersebut mengganggu Si Boncel.

Sementara Sabella, yang juga wafat karena masalah jantung, pergi pada 8 Desember 2020, beberapa waktu setelah ia menjalani operasi.

Maradona adalah ikon sepakbola 1980-an. Reputasinya sebagai pemain top sudah melekat dalam ingatan masyarakat.

Aksi-aksi memukaunya selama aktif bermain sering diputar di berbagai platform digital. Jika menyebut nama-nama pemain sepanjang masa yang piawai menggiring bola sembari melewati empat sampai lima pemain lawan guna mencetak gol, maka El Pibe de Oro pasti masuk ke dalam daftar tersebut.

Dua momen ikoniknya pada Piala Dunia 1986 yakni mencetak gol ‘Tangan Tuhan’ dan gol solo run versus Inggris bikin nama Maradona abadi dalam sejarah sepakbola.

Uniknya, segala keajaiban yang mampu diciptakannya kala bermain malah gagal diduplikasinya saat berstatus pelatih.

Berbeda dengan Maradona yang dikenal sebagai pesepakbola kelas atas, nama Sabella justru lebih dikenal saat menjalani karier sebagai pelatih. Hal yang wajar sebab kariernya sebagai pemain tergolong biasa-biasa saja.

Para penggemar Tim Nasional Argentina pasti mengingat Sabella sebagai lelaki yang membawa negaranya lolos ke final Piala Dunia 2014 usai terakhir kali merasakan laga puncak di kejuaraan tersebut pada tahun 1990.

Karier Maradona dan Sabella di lapangan hijau merupakan kebalikan walau keduanya sama-sama pernah mencicipi rasanya membesut La Albiceleste.

Menariknya, awal karier sepakbola Maradona sebagai pemain secara tidak langsung memiliki kaitan dengan Sabella. Keduanya pernah ditaksir Sheffield United. Namun hanya satu nama yang berangkat ke Inggris.

Sabella sebagai Pengganti Maradona

Awal musim 1978/1979, Sheffield United yang baru terdegradasi ke Divisi Dua Inggris bermaksud untuk memperkuat tim dengan mendatangkan Maradona dari Argentinos Junior.

BACA JUGA:  Lika-liku Pelatih saat Menangani Bekas Klubnya

Pelatih The Blades saat itu, Harry Aslam, bahkan terbang langsung ke Argentina untuk mengurusi transfer tersebut. Maradona yang masih berusia 17 tahun selangkah lagi bakal menjejakkan kakinya di Inggris.

Akan tetapi, kesepakatan tidak terjadi karena biaya transfer sebesar 200.000 Poundsterling tidak disanggupi oleh Sheffield United karena Maradona masih belum punya nama saat itu.

Sebuah alasan dan keputusan yang tentu saja logis. Sebagai ‘oleh-oleh’ dari Negeri Tango, Aslam lantas merekrut Sabella dengan harga lebih murah yaitu 160.000 Poundsterling.

Selain itu, Sabella lebih dulu berkarier sebagai pesepakbola dan sudah punya nama sehingga terlihat sebagai pengganti yang tidak buruk.

Cerita kepindahan Maradona yang nyaris terjadi ini kemudian melegenda dan menjadi satu dari bagian sejarah hidupnya.

The Blades dianggap melakukan blunder dan kisah ini disebut-sebut sebagai salah satu blunder transfer yang pernah dilakukan sepanjang sejarah.

Sheffield United yang terkena getah dalam cerita ini tentu saja memiliki penjelasan yang lebih lengkap.

John Garrett, salah satu staf senior klub, sebagaimana dikutip dalam 90min.com, mengatakan bahwa Maradona sebenarnya ditemukan secara kebetulan oleh perwakilan The Blades.

Sabella juga bukan pengganti Maradona karena dia salah satu target transfer yang sudah direncanakan. Selain Sabella, rival sekota Sheffield Wednesday ini juga sudah menyepakati transfer Pedro Verde, rekan setim Sabella di River Plate.

Penolakan Osvaldo Ardilles dan Ricardo Villa akhirnya membawa perwakilan mereka ke pinggiran Buenos Aires dan kepincut pada Maradona.

Garrett juga mengatakan bahwa uang tidak pernah menjadi masalah bagi Sheffield United yang berambisi kembali ke Divisi Satu.

Masalah utamanya, junta militer yang menguasai Argentina ketika itu mengetahui ketertarikan The Blades terhadap bocah ajaib mereka.

Nilai transfer Maradona yang hanya 150.000 Poundsterling mendadak dimintai tambahan dengan jumlah yang sama oleh militer Argentina.

BACA JUGA:  Agama Sepak Bola dan Sebuah Dunia Dalam Pikiran

Memberikan sogokan kepada pihak militer agar transfer mulus tentu sarat akan muatan politik ketimbang urusan bisnis transfer itu sendiri.

Artinya, Maradona gagal merapat ke Stadion Bramall Lane bukan karena uang melainkan faktor politis.

Kembali ke Sabella. Berstatus sebagai pemain Amerika Selatan pertama yang bermain di Inggris, ia bertahan selama dua musim di Sheffield United dengan mencatat 76 penampilan dan 8 gol.

Setelah itu ia pindah ke Leeds United dan mudik ke kampung halamannya buat memakai baju Estudiantes pada awal tahun 1982. Meski singkat, suporter The Blades menganggap Sabella sebagai salah satu legenda klub.

Pasca-gagal ke Inggris, Maradona sendiri sempat bertahan di Argentinos Junior sebelum hijrah ke Boca Juniors.

Usai membela Boca Juniors, barulah Maradona berkelana ke Eropa. Sisanya tentu menjadi sejarah yang penuh kegemilangan sekaligus kontroversi.

Berkat segenap kehebatannya selama bermain, baik untuk klub maupun Timnas, Maradona didapuk sebagai pesepakbola terbaik sepanjang masa.

Banyak yang meyakini bahwa Maradona, andai penghargaan Ballon d’Or garapan France Football tidak ditujukan kepada pemain Eropa saja pada awal penganugerahannya, Maradona dinilai layak meraihnya dua kali yakni tahun 1986 dan 1990.

Jalan hidup tidak ada yang tahu. Persimpangan jalan yang sempat menautkan Maradona dan Sabella dalam satu situasi yang sama membuat keduanya layak dikenang sebagai legenda.

Meski identik dengan kisah-kisah suram, Maradona tetaplah pesepakbola adiluhung kendati reputasinya sebagai pelatih tidak begitu bagus.

Sementara Sabella tetaplah luar biasa dengan menggenggam trofi Copa Libertadores bersama Estudiantes tahun 2009 dan menjadi runner up Piala Dunia 2014 bersama Argentina walau kariernya biasa saja sebagai pemain.

Sampai kapanpun, keduanya akan hidup dalam benak penggemar sepakbola di Argentina. Keduanya adalah pahlawan yang memiliki kontribusi luar biasa untuk perkembangan sepakbola di sana.

Komentar
Penulis merupakan alumni Magister PPKn Universitas Negeri Padang dan pencinta Chelsea FC. Bisa dihubungi di instagram @hendra_fm dan twitter di @hendrafm7.