Kota Sepak Bola Itu Bernama Surabaya

Perkembangan Sepak Bola di Surabaya

Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat saat ini. Hampir bisa dipastikan, masyarakat di belahan dunia mengenal olahraga sepak bola. Seandainya sebagian tidak menggemari atau dapat memainkannya, minimal mereka mengetahui tentang keberadaan olahraga ini.

Sehingga tak dapat dimungkiri lagi bahwa sepak bola adalah olahraga yang terpopuler di dunia. Semua kalangan baik tua dan muda, bahkan tanpa membedakan laki-laki dan perempuan sangat menggemari olahraga ini.[1]

Selain itu, sepak bola sendiri mampu mendobrak batasan sosial dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari kalangan proletar hingga borjuis pun menikmati sepak bola. Mendiang Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa sepak bola adalah olahraga yang mampu menyatukan seluruh umat manusia.

Banyak hal yang terjadi. Sepak bola tak bisa dipisahkan dari drama, selebrasi, sensasi, konflik, intrik, dan tragedi yang silih berganti menghiasi. Namun, justru itulah yang membuat permainan ini lebih berwarna dibanding cabang olahraga lain. Tak berlebihan jika Richard Giullianotti memberi judul bukunya Sepak Bola: Pesona Sihir Permainan Global–judul terjemahan dariFootball: A Sociology of the Global Game.

Indonesia sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu negara yang memiliki minat yang besar terhadap sepak bola. Masuknya sepak bola ke Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme bangsa Eropa.

Tidak hanya ingin mengeksploitasi sumber daya yang ada di Indonesia, tetapi juga membawa pengaruh kebudayaan. Salah satunya adalah pengaruh budaya olahraga. Di antara olahraga yang masuk ke Indonesia, sepak bola merupakan salah satu olahraga yang sangat terkenal dan luas jarak penyebarannya.[2]

Sudah banyak orang Indonesia yang memainkan sepak bola. Dapat dilihat dengan banyaknya bond-bond[3] yang didirikan di daerah-daerah. Baik itu milik Belanda, masyarakat Tionghoa, maupun milik bumiputra. Salah satu daerahnya yaitu Surabaya.

Salah satu barometer sepak bola di Indonesia adalah Kota Surabaya. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sederet prestasi maupun kontribusi yang diberikan terhadap persepakbolaan nasional.

Diawali oleh seorang siswa asal HBS, John Edgar. Pada tanggal 1 September 1885, John Edgar mendirikan klub sepak bola Victoria. John Edgar, selain menjadi pendiri klub, juga merangkap sebagai kapten kesebelasan Victoria.[4]

Setelah itu, mulai bermunculan bond lain di Surabaya. Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB), Tionghoa Surabaya, dan Soerabhaiasce Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Ketiga klub tersebut memberikan kontribusi besar terhadap wadah organisasi yang menaunginya. SVB kepada NIVB, Tionghoa Surabaya kepada HNVB, dan SIVB kepada PSSI.

Setelah kedatangan Jepang, klub yang tersisa hanya milik pribumi yang kemudian berganti nama dari SIVB menjadi Persibaja dan berubah menjadi Persebaya. Sedangkan untuk klub Tionghoa Surabaya menjadi anggota klub internal Persebaya.[5]

Kompetisi sepak bola nasional sempat vakum, bahkan kompetisi pertama setelah kemerdekaan Indonesia kembali digelar pada tahun 1951. Persebaya keluar menjadi Juara dua musim berturut-turut, 1951 dan 1952.[6] Selanjutnya Persebaya hanya mampu menjadi runner-up hingga akhirnya merasakan kembali juara pada tahun 1978 dan 1987/1988.

Itu merupakan catatan juara Persebaya di kompetisi Perserikatan yang diadakan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Total, Persebaya mampu keluar menjadi juara kompetisi nasional sebanyak empat kali pada tahun 1951, 1952, 1978, 1987/1988, dan menjadi peringkat kedua sebanyak tujuh kali pada tahun 1965,1967,1971,1973,1976/1977,1986/1987, 1990.

Semakin marak dan menggeliatnya persepakbolaan nasional, maka PSSI sebagai organisasi sepak bola nasional membentuk kompetisi semiprofesional pada tahun 1979 yang diberi nama Liga Sepak Bola Utama (Galatama).

Muncul tim baru dari Surabaya, NIAC Mitra dan Asyabbab Salim Grup. Selain Galatama, PSSI juga membentuk kompetisi sepak bola wanita yang diberi nama Liga Sepak Bola Wanita (Galanita). Surabaya pun juga memiliki tim sepak bola wanita yang didirikan pada tahun 1977 dan diberi nama Puteri Puspita.

Klub-klub asal Surabaya tersebut juga menjadi perhatian dunia. Persebaya pernah bertanding melawan tim-tim Eropa antara lain Lokomotiv Moscow, Sturm Grasz, Grasshoper, Salzburg, Stade de Reims, Ajax Amsterdam, PSV Eindhoven, AC Milan, dan terakhir ialah Queens Park Rangers (QPR).

Selain tim asal Eropa, ada beberapa timnas negara luar bertanding melawan Persebaya. Tim nasional (timnas) Olimpiade Yugoslavia, timnas Malaysia, timnas Mozambique, timnas Uruguay, timnas Thailand, timnas Korea Selatan, dan timnas Jepang.

NIAC Mitra pun pernah bertanding melawan Arsenal serta menjadi juara di kompetisi Aga Khan Gold Cup pada tahun 1979 di Bangladesh. Prestasi NIAC Mitra di kompetisi Galatama tercatat sebagai juara sebanyak tiga kali pada tahun 1980-1982, 1982/1983, 1987/1988, dan menjadi runner-up pada tahun 1988/1989.

BACA JUGA:  PSIM Jogja: Rindu Berwarna Biru

Namun, NIAC Mitra resmi dibubarkan dan menarik diri dari kompetisi Galatama yang digelar oleh PSSI pada tahun 1990 karena menganggap kebijakan yang dikeluarkan oleh PSSI tidak relevan. Setelah dibubarkan, tuntutan dari masyarakat Surabaya supaya NIAC Mitra tetap eksis tersalurkan ketika pihak Jawa Pos masuk dan kemudian mengganti nama NIAC Mitra menjadi Mitra Surabaya.

Ketika kompetisi Perserikatan dilebur dengan Galatama pada tahun 1994, Persebaya baru mampu juara pada tahun 1997 dan 2004. Persebaya tercatat sebagai tim pertama yang mampu menjuarai dua kali Liga Indonesia. Sedangkan Mitra Surabaya hanya mampu eksis sampai musim kompetisi 1998/1999.[7]

Surabaya juga menjadi salah satu kota penghasil pemain sepak bola yang andal dan menjadi tulang punggung timnas Indonesia.

Beberapa pesepak bola terkenal Surabaya lintas generasi antara lain dr. Nawir, Liem Tiong Hoo, Jacob Sihasale, Abdul kadir, Andjiek, Hamid Asnan, Rudy W. Keltjes, Didiek Nurhadi, Rusdi Bahalwan, Joko Malis, Mustaqim, Putu Yasa, Yusuf Ekodono, Bejo Sugiantoro, Eri Irianto, Anang Ma’ruf, Aji Santoso, Hendro Kartiko, Uston Nawawi, Mursyid Effendi, Mat Halil, Andik Vermansyah, Muhammad Taufiq, Fastabiqul Khoirot, hingga yang terbaru Evan Dimas Darmono.

Selain itu, sepak bola Surabaya juga sangat identik dengan suporter fanatik yang dikenal dengan nama Bonek, yang merupakan kependekan dari Bondho Nekat.

Suporter Sepak Bola di Surabaya

Suporter merupakan salah satu faktor penting dalam sepak bola. Fungsi dan peranan suporter sebagai pemberi dukungan kepada klub. Kehadiran suporter dalam pertandingan dapat memberikan suntikan semangat maupun motivasi tersendiri bagi para pemain yang sedang bertanding.

Suporter juga berfungsi untuk menjatuhkan mental para pemain lawan. Sepak bola tanpa suporter bagaikan sayur tanpa garam, terasa hambar. Suporter dan sepak bola bisa dikatakan muncul beriringan. Di mana ada sepak bola, di situ pasti ada suporter.

Klub sepak bola dan suporter itu bersifat simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan satu sama lain. Suporter datang untuk memberikan dukungan terhadap klub kebanggaanya. Dukungan yang diberikan oleh suporter menjadi motivasi tersendiri bagi para pemainnya.

Mereka akan lebih bersemangat dan memberikan hasil yang bisa membuat para suporter bangga. Bahkan fanatisme seorang suporter mengatakan bahwa sepak bola adalah agama kedua.

Teori dari Bennedict Anderson tentang imagined community, sebuah bangsa, sebuah komunitas, sekecil apa pun, sebenarnya adalah soal “terbayangkan” (imagined) karena pada dasarnya kita tidak pernah kenal, bertemu, atau tahu-menahu sebagian besar anggota komunitas itu, terlebih kalau diluaskan sebagai bangsa.

Dalam hal ini, suatu klub bisa diibaratkan sebagai suatu bangsa. Yang mana di dalamnya terdapat berbagai macam golongan suporter. Tidak peduli dari kalangan kelas rendah, menengah, ataupun atas. Mungkin juga tidak peduli dari agama dan ras yang berbeda.

Namun, para suporter itu bisa bersatu dalam lingkup yang lebih besar, yaitu klub yang digemarinya. Dengan adanya fanatisme terhadap klub itulah yang kemudian mewujudkan adanya rasa solidaritas.

Ketika berbicara tentang fanatisme dan solidaritas, Indonesia tidak bisa dikesampingkan. Suporter di Indonesia merupakan perwujudan dari representasi kebudayaan masyarakat Indonesia. Seperti halnya di Jawa, dinamika suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa.

Kultur Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, di mana penolakan yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri. Termasuk jika klub kebanggaan mereka kalah. Pada dasarnya itulah sifat orang Indonesia. Tingginya rasa memilikki serta sifat kedaerahannya.[8]

Hal semacam itu juga tidak jarang memicu terjadinya gesekan-gesekan antarsuporter. Tidak sedikit suporter itu terlibat dalam aksi keributan antarsesama suporter. Namun, keributan itu tidak datang dari satu pihak suporter yang sama, melainkan dari pihak suporter rival.

Berbicara tentang suporter di Indonesia, suporter Persebaya merupakan salah satu dari kelompok suporter yang ada di Indonesia. Suporter Persebaya sangat militan dan mempunyai daya juang tinggi. Hal itu erat kaitannya dengan sejarah serta karakteristik yang melekat pada masyarakat Surabaya.

Ketika zaman penjajahan, masyarakat Surabaya berani melawan dan berhasil mengusir para penjajah dari kota mereka dengan modal keberanian serta tekad yang kuat. Setelah itu muncul sebuah istilah Bonek (Bondho Nekat), yang memiliki makna hanya bermodalkan semangat atau tingkat perjuangan yang tinggi untuk sebuah kemenangan.[9]

BACA JUGA:  Persebaya dalam Lembaran Buku

Militansi yang dimiliki oleh Bonek dapat dilihat dari kesediaan menemani Persebaya di mana pun bermain. Suporter Persebaya tidak hanya berasal dari kalangan menengah ke bawah, tetapi juga menembus semua lapisan masyarakat.

Perjalanan panjang serta dinamika-dinamika yang terjadi kepada suporter Persebaya juga tidak bisa dilepaskan dari karakter masyarakat Surabaya, yang memilikki sikap egaliter, tegas, dan apa adanya. Sikap seperti itulah yang kemudian juga mengalir di jiwa para suporter Persebaya.

Para suporter menolak hal-hal yang mencederai nilai-nilai sportivitas. Suporter Persebaya juga tidak segan mencaci maki pemain Persebaya ketika bermain jelek. Akan tetapi, kekecewaan para suporter itu hanya sebagai kritik buat klub agar bisa memberikan yang terbaik untuk suporternya.

Selain itu, suporter Persebaya mempunyai semangat, solidaritas, dan rasa memiliki yang sangat tinggi. Semangat positif, solidaritas dan keinginan yang kuat dalam mendukung Persebaya itu sudah ada sejak masa kolonial. Namun, istilah Bonek itu baru melekat pada suporter Persebaya ketika Bajul Ijo–julukan Persebaya–berhasil menjuarai kompetisi Perserikatan tahun 1987/1988 di Senayan, Jakarta.

Pada waktu itu, rombongan massa yang begitu besar dari Jawa Timur, khususnya Surabaya, berangkat ke Jakarta untuk mendukung Persebaya. Semangat itulah yang kemudian melekatkan istilah Bondho Nekat (Bonek)kepada suporter Persebaya.

Namun, semangat dan militansi suporter Persebaya tersebut bisa dikatakan kelam dan tidak dibarengi semangat positif para pendahulunya ketika memasuki era 1990-an ke atas. Muncul anggapan bahwa ada rangkaian yang terputus, tidak adanya sinergisme antara generasi sebelumnya dan generasi selanjutnya.

Jika di Inggris, masa kelam suporter itu terjadi ketika tahun 1960 hingga 1980-an yang biasa disebut dengan hooliganism. Di Indonesia justru terjadi pada tahun 1990-an ke atas.

Banyak tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang suporter. Tindak kriminal serta kekerasan sering terjadi pada masa itu. Selain itu, berbagai media massa maupun elektronik juga berperan di dalamnya yang (seringkali) justru memperkeruh keadaan.

Pemberitaan yang tidak seimbang dan sering menuding suporter Persebaya sebagai suporter paling rusuh dan tukang bikin onar. Anehnya lagi, media akan sangat senang jika ada aktivitas ataupun tindakan negatif dari para suporter. Bahkan akan menjadi headline dan pemberitaannya akan terus-menerus.[10]

Dari situlah suporter Persebaya yang terkenal dengan sebutan Bonek itu dicap sebagai sampah masyarakat. Bahkan banyak yang membenci. Akan tetapi, tidak bisa digeneralisasikan bahwa itu semua merupakan Bonek. Mantan Gubernur Jawa Timur, Basofi Soedirman, pernah mengatakan bukan Bonek, tapi itu Boling (Bondho Maling).

Satu hal lagi yang menjadi sebuah kisah atau cerita unik dari suporter Persebaya ialah ketika para suporter dipulangkan menggunakan kapal perang dari Jakarta ke Surabaya. Hal itu dikarenakan kekhawatiran akan adanya bentrokan antara suporter Persebaya dan suporter Semarang.

Pada waktu itu hubungan antara kedua suporter tersebut tidak harmonis seperti yang terjadi pada saat ini. Pemulangan rombongan suporter dengan menggunakan kapal perang itu bisa dikatakan merupakan satu-satunya di Indonesia.

Sepak bola merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari Kota Surabaya. Surabaya tetap eksis menjadi salah satu kota penghasil pemain berkelas nasional. Persebaya selalu diperhitungkan keberadaannya dalam setiap kompetisi yang diikutinya.

Bonek, suporter Persebaya yang memiliki semangat, militansi, dan loyalitas tinggi merupakan salah satu suporter besar yang ada di Indonesia. Dengan berkaca pada sejarah yang ada di Kota Surabaya, dan begitu besarnya animo masyarakat, salahkah jika menyebut kota sepak bola itu bernama Surabaya?

 

[1]Agus Salim. 2007.Buku Pintar Sepak Bola, Penerbit Jembar,Bandung. (Hal. 9).

[2]Indische Verslag,1932, hlm. 266.

[3]Bond sebutan lain klub atau tim dalam bahasa Belanda.

[4]Skripsi As’ad Syamsul Arifin,Surabaya: Kota Sepak Bola Tahun 1900-1942.

[5]R.N. Bayu Aji. 2010.Tionghoa Surabaya dalam Sepak bola,Penerbit Ombak, Yogyakarta.(Hal. 70).

[6]Skripsi Jemmy H Mubarak, Perkembangan SIVB Hingga Persebaya 1927-1978.

[7]Skripsi Devana Bramantyo, Dari NIAC Mitra Hingga Mitra Surabaya: Pasang-Surut Sepak Bola di Surabaya Tahun 1979-1990.

[8]Freek Colombijn. 1999.View from The Priphery: Football in Indonesia.

[9]Des Alwi. 2011.Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Jakarta.(Hal. 105).

[10]Tesis Rangga Agnibaya,Kekerasan Simbolis Media Massa pada Pemberitaan Bonek: Critical Discourse Analysis Berita Media.

 

Disclaimer: Artikel ini pernah dimuat dalam buku Sepak Bola 2.0. Dimuat di Fandom.id untuk menjangkau pembaca yang lebih luas.

Komentar