Las Gardenias, Queer, dan Realisme Magis Tepito

Jika ada klub sepak bola paling bahagia di dunia, bisa jadi itu adalah Las Gardenias: sebuah klub yang berisikan para transgender di kawasan Tepito, Mexico City, Meksiko.

Tepito sendiri merupakan kawasan yang dianggap paling berbahaya di seantero Meksiko. Beragam kejahatan, mulai dari yang “remeh” seperti menjual barang bermerek palsu hingga baku tembak antarkartel narkotika, semuanya ada di wilayah ini. Namun, hal terburuk dari tempat ini adalah bahwa semua hal mengerikan itu dianggap lumrah oleh masyarakat setempat.

Untuk mengetahui rutinitas kedegilan di wilayah yang memiliki 72 blok ini, bisa dimulai dengan menelusuri tianguis–sebuah pasar terbuka yang telah ada di Tepito sejak zaman pra-Hispanik.

Bagi Anda fundamentalis hak cipta, amat disarankan untuk tidak mampir ke pasar ini. Nyaris seluruh barang yang dijual di tianguis merupakan barang bermerk palsu, mulai dari rokok palsu yang didatangkan dari Tiongkok, jersey sepak bola KW, tas, baju, dan sepatu yang semuanya hasil bajakan, hingga barang-barang elektronik yang kebanyakan hasil curian. Walau demikian, pasar inilah yang menjadi roda penggerak utama perekonomian masyarakat Tepito.

Menjelang malam, ketika tianguis mulai tutup dan para pedagang hendak pulang, daerah yang juga dikenal dengan nama Barrio Bravo ini bersalin rupa menjadi labirin lubang hitam kejahatan tanpa ujung: transaksi narkotika yang digelar kartel-kartel, bajingan-bajingan berkeliaran mencari pekerja seks di bawah umur, dan berbagai komplotan bromocorah yang tengah bersiap menjalankan aksinya.

Pada akhir pekan, suasana lebih ramai karena bar-bar di Tepito sering mengadakan pesta dengan menampilkan para DJ (Disk Jockey) lokal. Sementara di pinggir jalan, tak jauh dari deretan bar-bar tersebut, sebuah band legendaris Tepito bernama Los Jibaros de Tep, yang sudah ada sejak tahun 1960-an, juga ikut tampil.

Berpesta memang merupakan sebuah kultur yang menjadi identitas masyarakat Amerika Latin. Biasanya, ritual pesta dibarengi dengan acara barbekyu sambil berjoget bersama semalaman suntuk. Persetan berapa usia Anda dan berasal dari lapisan sosial mana, pesta-pesta ini digelar murni untuk bersenang-senang.

Terkait suasana bengis di Tepito, ada sebuah hal menarik. Rata-rata, setiap istri di Tepito memiliki suami yang dipenjara karena tindak kriminal. Akibat kecenderungan ini, sebagian besar wilayah di Tepito pun “dikuasai” oleh perempuan, meski sebagian besar di antara mereka tak menjalankan aktivitas kriminal apa pun.

Setiap istri yang ditinggal ke penjara oleh suaminya itu memiliki sebutan cabronas. Panggilan tersebut terinspirasi dari seorang pahlawan wanita dari Tepito bernama Cabrona. Secara harafiah, “cabrona” berarti “anjing betina”, tetapi dalam konteks panggilan tadi, kata itu bermakna “(orang yang) mengagumkan”.

Bagi pelancong asing, wilayah Tepito amat disarankan untuk tidak dikunjungi, sebab mereka kerap menjadi target utama kejahatan. Pemberitahuan mengenai hal ini biasanya sudah tertulis dalam setiap brosur perjalanan di Meksiko. Jika pun memang hendak ke sana, mereka harus pandai-pandai menjaga diri atau malah dengan menyamar.

Meski demikian, bagi salah seorang sejarawan sekaligus antropolog Meksiko yang merupakan warga asli Tepito, Alfonso Hernandez, kawasan tersebut justru dijadikannya sebagai salah satu destinasi pariwisata terbaik di Meksiko. Melalui berbagai iklan yang ia buat di dunia maya, Hernandez menjelaskan betapa Tepito akan dapat memberikan sensasi perjalanan bagi para turis asing maupun lokal.

BACA JUGA:  Menyikapi LGBT dalam Sepak Bola

Tapi Hernandez tak sekadar menerima sembarang turis. Pangsa pasar yang ditujunya lebih ke para antropolog, sejarawan, seniman, atau akademisi lain yang hendak melakukan penelitian sembari jalan-jalan. Untuk perjalanan selama tiga jam, Hernandez mematok biaya 8 dolar AS per kepala. Biaya tersebut juga sudah termasuk kursus singkat bahasa lokal untuk meminimalisi resiko bahaya dari perampokan dan sejenisnya.

Sebagaimana lazimnya wilayah lain di Amerika Latin, penduduk di Tepito juga tergila-gila dengan sepak bola. Ada sebuah stadion kecil di Tepito bernama Maracana–merujuk kepada stadion legendaris di Brasil–yang terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk, layaknya oase di gurun pasir.

Sebelum bicara lebih lanjut soal sepak bola di Tepito, mari kita sedikit bernostalgia. Anda ingat Cuauhtemoc Blanco? Ya, dialah pemain Meksiko yang pernah melewati dua pemain Korea Selatan dengan trik menjepit bola dan melompati dua pemain lawan tersebut. Aksi ini ia pertontonkan pada Piala Dunia 1998 lalu.

Aksi Blanco tersebut kemudian dikenal dengan istilah cuauhtemina, yang ditakik dari penggalan nama depan Blanco, “Cuau”. Cuauhtemina, sebagaimana trik sepak bola lain seperti rabona dan pedalada, dapat menjadi gambaran betapa nyeleneh dan absurdnya cara orang Amerika Latin dalam membentuk realitas kehidupan. Dalam khazanah kesusastraan, Gabriel Garcia Marquez menyebut absurditas antara fiksi dan fakta tersebut dengan istilah “Realisme Magis”.

Selain teknik bermain yang ruwet, riwayat realisme magis sepak bola Amerika Latin telah terawikan dalam sekian momen legendaris. Anda tinggal pilih: cerita tentang Garrincha, pemain Brasil berkaki lempung yang tiap selesai bertanding selalu menghabiskan malam di bar, tendangan kelalajengking Rene Higuita saat melawan Inggris, kisah tragis Andres Escobar, hingga, tentu saja, dibentuknya Gereja Maradona (Iglesia Maradoniana) sebagai simbol pemujaan terhadap Diego.

Di Tepito, realisme magis sepak bola hadir di kaki-kaki kekar dan jari-jari lentik para pemain transgender Las Gardenias, klub yang merupakan kebanggaan masyarakat sekaligus simbol Tepito. Jika mereka bertanding, dapat dipastikan nyaris seluruh penghuni Tepito akan tumpah ruah memadati Maracana.

Bagaimana kehebohan ketika Las Gardenias bertanding dapat Anda saksikan dalam film dokumenter Vice tahun 2014 yang berjudul Playing Soccer In One of Mexico’s Dangerous Barrios. Film yang dipandu oleh jurnalis Vice, Alex Mendoza, dan berdurasi 16 menit tersebut menceritakan sejarah singkat Las Gardenias hingga keruwetan yang terjadi kala mereka mempersiapkan diri jelang pertandingan melawan tim lokal dalam perayaan hari lahir Santo Fransiskus tanggal 4 Oktober.

Las Gardenias sudah dibentuk oleh para kaum transgender di Tepito sejak 50-an tahun lalu. Klub tersebut mula-mula didirikan sebagai upaya untuk menjalin keakraban dengan warga sekitar. Seiring berjalannya waktu dan kian bertambahnya populasi para queer di Tepito, Las Gardenias pun jadi memiliki banyak fans.

Las Gardenias sekarang memiliki seorang pelatih yang juga merangkap jabatan sebagai direktur teknik bernama Barbara Zamora. Oleh para anak didiknya, Barbara disebut sebagai Godmother. Selain melatih, ia juga bertugas menyeleksi sekaligus merekrut pemain anyar. Untuk hal tersebut, Barbara biasanya bekerja sama dengan salah satu pemainnya yang ia tugaskan sebagai “pemantau bakat”.

BACA JUGA:  Kevin Sanjaya dan Harapan yang Pernah Ada

Masyarakat Tepito biasa mengadakan hajatan besar-besaran untuk merayakan hari lahir Santo Fransiskus. Dari sekian acara yang diselenggarakan, laga antara Las Gardenias dengan tim lokal yang terdiri dari warga setempat, merupakan acara yang paling dinanti.

Dalam perayaan tahun 2014 kemarin, sebagaimana yang diliput oleh Vice, para penggawa Las Gardenias tampil heboh dengan kostum yang tak biasa. Jika biasanya mereka berkostum selayaknya tim sepak bola, kali ini mereka berdandan sesuai dengan selera fashion masing-masing. Ada yang memilih berdandan seperi gadis Hindi hingga mengenakan syal layaknya Cher.

Kehebohan sudah dimulai sejak mereka melakukan perburuan busana di pasar. Begitu banyak pria, baik tua maupun muda, yang menggoda rombongan skuat Las Gardenias tersebut ketika mereka melintas. Dan selayaknya selebriti papan atas, para kaum transgender itu pun meladeni godaan tersebut dengan berfoto mesra bersama.

Ketika pertandingan hendak dimulai, kehebohan kian menjadi-jadi. Kedua tim melakukan acara minum-minum terlebih dahulu sambil asyik mempersiapkan diri. Alex Mendoza, sang jurnalis, bahkan sempat dikerjai saat dirinya tengah berganti baju. Tepat ketika Alex mencopot celana jeans-nya, sontak beberapa pemain dari kubu Las Gardenias membopongnya masuk ke dalam suatu ruangan yang telah dipenuhi skuat lainnya. Mereka kemudian berebut meraba-raba seluruh badan, termasuk merogoh kemaluanmya, hingga menciumi Alex secara bertubi-tubi. Sang jurnalis pun hanya mampu meronta-ronta kecil sembari tertawa terbahak-bahak tanpa merasa dilecehkan sama sekali.

Di lapangan, aksi seksual tersebut pun juga tetap dilakukan oleh para pemain Las Gardenias. Sasarannya pun beragam. Jika ada lawan yang dirasa menggemaskan, mereka akan berusaha mencopot celana pemain yang bersangkutan dan meremas buah zakarnya. Bahkan wasit pun juga jadi target. Namun demikian, semua tetap tertawa, semua terus gembira, termasuk para penonton yang memadati Maracana. Tiap kali Las Gardenias mencetak gol, penonton akan serentak masuk ke lapangan sambil menyalakan kembang api. Riuh sekali.

Pertandingan pun berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan Las Gardenias. Meski bertingkah centil dan feminin, para pemain Las Gardenias tetaplah orang-orang yang memang mahir bermain sepak bola. Kemenangan ini menambah panjang rekor tak terkalahkan Las Gardenias selama pagelaran hari lahir Santo Fransiskus sejak diselenggarakan 10 tahun lalu.

Usai laga, pesta pun berpindah ke bar. Mendoza pun turut larut dalam ritual tersebut, bersama dengan para orang miskin, bandar-bandar heroin, rombongan pencopet, barisan bromocorah, pedagang barang palsu, bekas pembunuh, mantan pemerkosa, hingga para waria. Tak ada kedegilan, tak ada kedengkian. Hanya ada pesta, hanya ada suka cita.

Melihat kenyataan seperti ini, saya kira, hingga derajat tertentu Tepito adalah neraka paling indah yang pernah ada.

 

Komentar
Pemalas, penulis, pembangkang.