Di dunia tinju, publik mengenal sebuah pertarungan klasik bertajuk Rumble In The Jungle. Pertandingan tinju yang digelar tahun 1974 tersebut mempertemukan dua petinju kelas berat legendaris, Muhammad Ali dan George Foreman. Ali saat itu berusia 32 tahun, sempat absen dari dunia tinju selama 3,5 tahun akibat menolak wajib militer, dan dinilai orang sudah habis. Sementara itu, George Foreman yang lebih muda tujuh tahun, merupakan juara tak terkalahkan kala itu.
Laga tersebut dimenangi oleh Muhammad Ali lewat kemenangan TKO pada ronde ke-8. Padahal, sepanjang laga, Foreman lebih banyak mendominasi Ali lewat pukulan-pukulan kerasnya yang terkenal itu. Namun, Ali, dengan teknik serangan balik Rope-A-Dope-nya yang legendaris itu, berhasil membuat Foreman menghabiskan sebagian besar pukulannya dengan sia-sia. Ketika kondisi Foreman sudah menurun akibat stamina yang terbuang, barulah Ali melancarkan serangan ala kupu-kupu dan lebahnya itu. Alhasil, Foreman pun tersungkur dan Ali berhasil menjadi juara dunia kelas berat lagi.
Sulit dipercaya bahwa laga sebesar itu digelar di sebuah negara sub-Sahara Afrika yang miskin dan lebih dikenal dengan konfliknya. Negara itu adalah Zaire, yang sebelumnya (pada 1960-1965) bernama Kongo dan sejak 1997 berganti nama lagi menjadi Republik Demokratik Kongo. Tentu orang bertanya-tanya, bagaimana bisa laga itu sampai di Zaire? Dan siapakah orang yang bertanggungjawab di baliknya?
Semua itu terjadi berkat Joseph Desiré Mobutu, atau yang lebih dikenal sebagai Mobutu Sese Seko. Seorang diktator yang berusaha membawa negaranya ke level elit dunia. Ia menggulingkan kekuasaan Joseph Kasavubu dan Patrice Lumumba tahun 1965, melokalkan Kongo dengan mengganti nama negaranya menjadi Zaire tahun 1971, dan berkuasa hingga ia digulingkan tahun 1997.
Olahraga memang menjadi salah satu instrumen penting bagi Mobutu Sese Seko dalam usahanya memantapkan posisi sebagai pemimpin Zaire. Ia menganggap, lewat olahraga, nama Zaire bisa terangkat di pergaulan antarnegara dan nama baik Zaire di masyarakat internasional akan mampu membawa stabilitas bagi kekuasaannya di negara tersebut. Membawa laga Ali kontra Foreman ke Kinshasa (lewat promotor Don King yang saat itu kebingungan mencari investor) menjadi salah satu ‘prestasi terhebat’ Mobutu Sese Seko.
Selain tinju, sepak bola juga tidak luput dari perhatian Sese Seko. Olahraga satu ini bahkan menjadi fokus utama kebijakan mercusuar Sese Seko. Ia sadar betul bahwa sepak bola adalah olahraga yang paling mendapat sorotan di dunia. Ia berkeinginan agar tim nasional Zaire dapat berprestasi di tingkat benua dan mampu menembus putaran final Piala Dunia. Prestasi sepak bola yang bagus juga diharapkannya mampu membawa dampak positif ke mantan negara jajahan Belgia yang tak henti dirundung konflik ini.
Sedikit banyak, Sese Seko terinspirasi dari keberhasilan Presiden Ghana, Kwame Nkrumah yang popularitasnya meningkat drastis usai negaranya memenangi African Cup of Nations (AFCON) 1963 & 1965. Ghana pun serta merta menjadi kekuatan utama sepak bola Afrika pada saat itu. Inspirasi ini datang begitu saja. Sebuah tamparan keras dibutuhkan untuk menyadarkan Sese Seko bahwa negaranya tidak bisa bermain sepak bola sebaik Ghana. Dalam sebuah pertandingan persahabatan di Kinshasa tahun 1965, Zaire dikalahkan oleh Ghana dengan skor telak 0-3.
Kekalahan dari Ghana tersebut dianggap Sese Seko sebagai penghinaan pribadi terhadap dirinya. Mulai dari situ, ia memutuskan untuk memanggil para Belgicains untuk memperkuat Zaire. Belgicains adalah sebutan bagi para pemain kelahiran Zaire yang beremigrasi ke Belgia dan bermain sepak bola profesional di sana. Para Belgicains ini sudah meninggalkan Zaire sejak dekade 1950-an. Selain memanggil para Belgicains, rezim Sese Seko juga menunjuk Ferenc Csanadi, seorang Hungaria, sebagai pelatih. Akhirnya, dengan bantuan para legiun ‘impor’ ini, Zaire berhasil meraih trofi AFCON 1968 setelah mengalahkan Ghana 1-0 di partai final. Selain berjaya di level timnas, Zaire juga berjaya di level klub. Wakil mereka, TP Mazembe (lawan Internazionale di final Piala Dunia Antarklub 2010) berhasil menjuarai Liga Champions Afrika dua musim berturut-turut pada tahun 1967 dan 1968.
Kesuksesan ini terus berlanjut, meskipun ketika memasuki dekade 1970-an, rezim Sese Seko mengubah kebijakannya mengenai komposisi tim. Ketika Afrikanisasi Zaire dimulai pada tahun 1971, unsur asing dihilangkan dari sepak bola Zaire. Para Belgicains dan pemain-pemain yang bermain di luar negeri lainnya dilarang memperkuat tim. Kemudian, para investor asing juga dilarang berkecimpung di sepak bola. Namun, hal ini tidak berlaku untuk posisi pelatih, karena pada masa ini, rezim Sese Seko menunjuk rival abadi Lev Yashin asal Yugoslavia, Blagoje Vidinic untuk menggantikan Csanadi.
Komposisi lokal ini ternyata masih sanggup bersaing. Walaupun gagal mempertahankan gelar juara AFCON dan lolos ke Piala Dunia 1970 serta terhenti di semifinal AFCON 1972, tim ini tetap menjadi tim teras Afrika yang disegani. Pada masa ini, klub asal Kinshasa, AS Vita yang merupakan rival berat TP Mazembe, mampu mengembalikan trofi Piala Champions Afrika ke Zaire pada tahun 1973. Sebuah era emas persepakbolaan bagi negara yang terhitung masih muda kala itu.
Akhirnya, tahun 1974 yang bersejarah pun tiba. Tahun ini adalah tahun di mana Zaire meraih puncak prestasi persepakbolaan mereka. Mereka berjaya di AFCON setelah mengalahkan Zambia 2-0. Akan tetapi, cerita terhebat mereka pada tahun ini adalah ketika mereka berhasil berkiprah di Piala Dunia. Zaire menjadi negara sub-Sahara pertama (dan terakhir, setidaknya sampai Piala Dunia 2014 silam) yang lolos ke Piala Dunia. Tak hanya itu, mereka juga menjadi pionir negara Afrika berpenduduk kulit hitam yang berlaga di Piala Dunia.
Lolosnya Zaire tidak didapat dengan mudah. Mereka berulangkali tampil buruk dan tidak meyakinkan. Kekurangan terbesar mereka adalah buruknya koordinasi di lini tengah dan belakang. Saat menyingkirkan Maroko di play-off pun, Zaire tidak tampil sebagaimana tim yang layak lolos. Tetapi, meski begitu, Zaire lah yang akhirnya melenggang walaupun mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di Piala Dunia.
Prestasi ini jelas membanggakan bagi Mobutu Sese Seko. Layaknya seorang ayah yang gembira karena anaknya meraih ranking satu di sekolah, Sese Seko menjanjikan berbagai hadiah untuk anggota skuat yang meloloskan Zaire ke Jerman Barat 1974. Mobil dan rumah mewah menjadi hadiah utama kala itu. Bonus uang dalam jumlah besar juga dijanjikan apabila mereka sanggup tampil bagus di Piala Dunia.
Sayangnya, inilah momen di mana (meminjam istilah Chuck Palaniuk di novel Fight Club) Kehancuran Total yang tak diharapkan itu akan segera dimulai.
Dalam undian, Zaire ditempatkan satu grup di Grup 2 bersama tiga kekuatan mapan sepak bola dunia, yakni Brasil, Yugoslavia, dan Skotlandia. Brasil adalah juara bertahan. Tidak ada yang meragukan kualitas mereka kala itu. Diperkuat bintang-bintang seperti Roberto Rivelino dan Jairzinho, Brasil datang sebagai salah satu unggulan utama. Kemudian, Yugoslavia. Tim ini sering disebut sebagai Brasil-nya Eropa. Bakat-bakat alami anggota tim Yugoslavia tidak perlu diragukan lagi. Dipimpin Dragan Dzajic, Yugoslavia siap menjadi tim kuda hitam. Terakhir, Skotlandia. Barisan bintang-bintang Britania seperti Kenny Dalglish, Billy Bremner, dan Denis Law di kubu Skotlandia membuat tim ini juga tidak layak dipandang sebelah mata.
Zaire sebetulnya tidak jelek-jelek amat. Mereka punya pemain terbaik Afrika 1973 di skuat mereka. Pemain yang dimaksud adalah kapten tim, Tshimen Bwanga. Selain itu, status sebagai jawara Afrika seharusnya mampu menjadi modal berharga bagi Zaire untuk bersaing dengan jagoan-jagoan Eropa dan Amerika Selatan itu. Tetapi, ternyata itu semua tidak dianggap oleh para calon lawannya. Manajer Skotlandia, Willie Ormond, bahkan mengatakan bahwa jika mereka gagal mengalahkan Zaire, mereka akan langsung pulang.
Benar saja. Pada pertemuan pertama kontra Skotlandia, Zaire takluk 0-2. Sebenarnya, pada awal-awal pertandingan, barisan penyerangan Zaire yang dipimpin Ndaye dan Adelard Mayanga mampu merepotkan Skotlandia. Namun, semuanya tidak bertahan lama karena Skotlandia segera menunjukkan ‘senioritasnya’ atas Zaire dengan mengambilalih permainan. Zaire perlu berterimakasih kepada penjaga gawang mereka, Robert Kazidi yang tampil heroik dan mampu mencegah timnya kebobolan lebih dari dua gol. Zaire kalah, tetapi penampilan mereka jauh dari kata memalukan.
Petaka benar-benar terjadi pada pertandingan kedua melawan Yugoslavia. Pada laga ini, Zaire benar-benar luluh lantak setelah digelontor sembilan gol oleh pasukan Yugoslavia tanpa mampu membalas sekalipun. Skor 9-0 jelas bukan merupakan hal normal di turnamen sekelas Piala Dunia. Apalagi, lini belakang Zaire dikomando oleh Bwanga yang disebut Pele sebagai salah satu pesepakbola paling berbakat di eranya. Pertandingan ini membuka secara terang-terangan borok sepak bola dan pemerintah Zaire di bawah Sese Seko.
Usut punya usut, para pemain Zaire bermain setengah hati lantaran mereka mendengar bahwa uang bonus mereka telah dikorupsi oleh para kerabat dan kroni Mobutu Sese Seko. Bahwa mereka akan kembali ke Zaire tanpa penghargaan yang layak, adalah hal yang membuat mereka tampil luar biasa buruk. Kontroversi lain adalah ketika pelatih Vidinic mengganti Kazidi dengan penjaga gawang cadangan Dimbi Tubilandu setelah Kazidi kebobolan tiga gol di babak pertama. Beberapa sumber mengatakan bahwa Tubilandu dimainkan Vidinic atas pesanan seorang pejabat teras Zaire yang merupakan kawan dekat Tubilandu.
Kekalahan memalukan ini membuat pemerintah Zaire murka. Para pengawal Mobutu Sese Seko yang mendampingi tim ke Jerman Barat kemudian mengultimatum anggota tim bahwa apabila di pertandingan terakhir kontra Brasil mereka kalah dengan marjin empat gol, mereka tidak akan bisa kembali ke Zaire. Konon, para pengawal ini juga turut mengorupsi uang jatah bonus para pemain.
Mendengar ancaman demikian, siapa yang tidak gentar? Tim dipenuhi kecemasan kala itu. Situasinya mirip dengan Italia era Mussolini dan Kolombia tahun 1994. Kondisi dalam negeri mereka sama sekali tidak kondusif dan cenderung membahayakan. Pikiran para pemain dan ofisial tidak tenang karena mengkhawatirkan keselamatan keluarga mereka di kampung halaman. Hingga akhirnya, hari penghakiman itu tiba.
Menghadapi juara bertahan di tengah situasi penuh ancaman seperti itu jelas merupakan sebuah mimpi buruk yang tak ingin dihadapi oleh siapapun. Zaire tidak boleh kalah lebih dari tiga gol, sementara Brasil butuh poin dan gol untuk memastikan lolos dari fase grup yang ketat ini. Hasil akhir menunjukkan kemenangan Brasil dengan skor 3-0. Akan tetapi, hasil akhir tersebut akan terdengar irelevan jika dibandingkan dengan momen hebat yang tercipta pada pertandingan tersebut.
Memasuki menit ke-85, Brasil yang sudah unggul 3-0 mendapat hadiah tendangan bebas di dekat kotak penalti Zaire. Rivelino, spesialis bola-bola mati Brasil, sedang mengambil ancang-ancang dan menunggu peluit wasit dibunyikan. Tiba-tiba saja, dari arah pagar betis Zaire, seorang pemain bernama Mwepu Ilunga berlari mendekati bola dan menendang bola sejauh 60 yard (kurang lebih 54 m).
Semua terdiam.
Di tengah aksinya tersebut, Ilunga melontarkan sumpah serapah kepada pemain Brasil yang tidak mengerti apa-apa. Kartu kuning pun diberikan wasit kepada Ilunga karena ia dianggap membuang-buang waktu. Inilah puncak Kehancuran Total yang dialami Zaire di Piala Dunia 1974. Sebuah momen satir yang mungkin tak ada bandingannya. Semua orang yang menyaksikan rekaman aksi tersebut lewat YouTube dapat dipastikan akan merayakan ‘kebodohan’ tersebut dengan tawa yang meriah. Akan tetapi, gelak tawa tersebut akan sontak berubah menjadi senyum getir ketika mengetahui cerita di baliknya.
Oleh sebagian besar orang, aksi Ilunga tersebut dianggap sebagai sebuah kegagalan Afrika (secara general) dalam memahami aturan sepak bola. Namun, dalam wawancara dengan BBC tahun 2002, Ilunga dengan tegas mengatakan bahwa ia mengerti betul aturan sepak bola. Ia bahkan mengatakan bahwa tidak mungkin tim yang menjuarai dua turnamen level benua tidak mengerti aturan sepak bola. Ia melakukannya karena ia memang ingin mengulur waktu dan mencegah Brasil mencetak gol tambahan. Dalam wawancara ini juga, Ilunga membongkar semua kebusukan rezim Mobutu Sese Seko dalam kaitannya dengan sepak bola, termasuk soal korupsi uang bonus.
Seorang sejarawan dari Universitas Duke di Amerika Serikat, Laurent Dubois menuliskan dalam esai yang dimuat di situs web pribadinya bahwa sepak bola Zaire di era Mobutu Sese Seko merupakan contoh paling banal dari sepak bola di negara post-kolonial Afrika. Ciri utamanya adalah intervensi negara yang kelewat batas. Penyebabnya adalah kontradiksi antara hasrat untuk berprestasi dengan kekurangan di bidang infrastruktur dan finansial. Hal ini, lanjut Dubois, adalah celah utama bagi intervensi yang tak terhindarkan.
Akhirnya, selepas Piala Dunia 1974, prestasi sepak bola Zaire turun drastis. Mereka gagal lolos ke Olimpiade Montreal 1976, tersingkir di babak pertama AFCON 1976 dan menarik diri dari kualifikasi Piala Dunia 1978 lantaran rezim Sese Seko tak lagi percaya terhadap kualitas persepakbolaan negaranya. Lama sekali nama Zaire tak terdengar berprestasi sampai akhirnya TP Mazembe mengejutkan dunia pada 2010.
Piala Dunia 1974 memang menyimpan banyak cerita menarik. Mulai dari totaal voetbal Belanda, kelolosan pertama empat negara ke Piala Dunia (Zaire, Haiti, Jerman Timur, dan Australia), sampai pertandingan reuni Jerman Barat dan Jerman Timur. Akan tetapi, momen terhebat sekaligus paling menyayat hati akan tetap menjadi milik Mwepu Ilunga sebagai simbol jeritan hati mereka yang hidup di bawah pemerintahan kleptokrasi otoriarian. Biarlah ini menjadi pelajaran dan semoga kita tak lagi menemukan bahan tertawaan seburuk ini lagi sampai kapanpun.
*tulisan ini sebelumnya sudah pernah dimuat di Fandomagz edisi III