Loyalitas Suporter dan Pentingnya Mempertahankan Identitas Klub

Pada mulanya, saya kerap merasa geram apabila menemukan suporter klub sepak bola yang tidak loyal. Jenis suporter semacam ini pantas dilabeli suporter karbitan. Suporter yang kerap mendukung klub yang berbeda-beda setiap musim. Musim kemarin mendukung Chelsea, musim ini mendukung Manchester City, dan mungkin musim depan mendukung Paris St. Germain. Suporter semacam ini biasanya perlu mengecek halaman Wikipedia agar tahu sejarah klub yang didukungnya. Apabila ada teman Anda yang mengaku supoter Paris St. Germain, tanyakan apakah ia tahu pemain bernama Bruno N’Gotty. Jika ia terlihat linglung, kemungkinan ia adalah suporter KW.

Suporter semacam ini mau tidak mau mendapat label negatif dari suporter yang loyal kepada klub. Mereka dianggap tidak loyal, glory hunters, dan label-label lain yang terkesan negatif. Tindakan mereka yang tidak loyal kepada klub dianggap sebuah dosa besar dalam konteks dukung mendukung klub sepak bola. Tapi, benarkah tindakan mereka seratus persen salah?

Penggemar sepak bola tidak bisa tiba-tiba loyal mendukung klub tertentu tanpa alasan. Salah satu alasan penggemar mendukung klub adalah menemukan kesamaan dirinya dengan klub tersebut. Kesamaan ini bisa berupa kesamaan ideologi, geografis, gagasan, ras, kelas, kultur, atau nilai-nilai yang dianut klub tersebut. Kesamaan ini menjadi pengikat identitas klub dan penggemarnya.

Arsenal dan Tottenham Hotspur adalah klub yang bermarkas di London Utara. Kedua klub tersebut merupakan representasi identitas London Utara. Maka tidak heran mereka yang tinggal di London Utara memilih salah satu dari dua klub tersebut untuk didukung dibanding klub London lain seperti Chelsea, West Ham United, atau Queen Park Rangers. Kesamaan geografis inilah yang mengikat para penduduk London Utara dengan Arsenal atau Tottenham.

BACA JUGA:  Cerita Tentang Loyalitas Bobotoh

Kesamaan kelas sosial juga dapat menjadi pengikat identitas suporter dan klub. Hal semacam ini dapat terlihat pada klub Marseille. Klub asal Prancis ini identik dengan kelas pekerja karena Marseille adalah kota pelabuhan. Kota yang identik dengan pekerja kasar dari kelas sosial bawah. Duel dengan Paris St. Germain kerap dimaknai sebagai duel kelas pekerja dan elit. Klub asal Paris tersebut dianggap representasi kelas elit di masyarakat Prancis. Kemenangan atas Paris St. Germain bukan sekadar kemenangan sebuah klub, melainkan simbol kemenangan kelas pekerja atas kelas elit.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana jika identitas klub berubah secara tiba-tiba. Apakah suporter masih menemukan diri mereka dalam klub tersebut? Apakah suporter masih terwakili oleh klub tersebut? Apakah suporter masih perlu loyal kepada klub?

Hal ini menjadi masalah beberapa suporter klub Liga Inggris. Chelsea, Manchester United (MU), dan Cardiff City adalah contoh nyata bagaimana identitas klub berubah. MU dan Chelsea pada mulanya adalah klub yang identik dengan kelas pekerja. Tapi semua berubah saat Malcom Glazer tiba di MU pada 2005. Glazer dianggap representasi kelas elit oleh suporter MU garis keras. Para penggemar khawatir identitas MU sebagai klub kelas pekerja menghilang. Pada akhirnya MU memang menjadi salah satu mesin pengeruk keuntungan untuk Glazer. Pada titik ini, beberapa penggemar garis keras kehilangan identitas MU sebagai klub kelas pekerja. Mereka kemudian membentuk FC United of Manchester. Sebuah klub yang dimiliki oleh penggemar dan bukan pemodal. Sebuah klub yang benar-benar merepresentasikan penggemar.

Chelsea juga demikian. Klub yang berasal dari London ini awal mulanya memiliki kedekatan identitas dengan kelas pekerja. Sebagian besar pendukung klub ini pun berasal dari kelas sosial tersebut. Identitas klub pun berubah saat Chelsea mulai membeli pemain-pemain bintang pada periode awal 2000-an. Klub ini tiba-tiba dikenal sebagai klub kaya raya. Citra ini makin melekat saat Roman Abramovich tiba di Stamford Bridge. Basis penggemar Chelsea pun bertambah. Bukan lagi kelas pekerja saja. Stadion Chelsea yang biasa sesak dengan bau keringat tiba-tiba dipenuhi wangi parfum.

BACA JUGA:  Tentang Senjakala dan Sepak Bola

Perubahan identitas lebih ekstrem dialami klub Cardiff City. Sejak dimiliki pengusaha asal Malaysia, Vincent Tan, logo klub berubah. Logo klub yang awal mulanya adalah burung diubah menjadi singa. Tidak hanya itu, Cardiff yang identik dengan warna biru tiba-tiba diubah menjadi klub yang identik dengan warna merah. Protes pun dilakukan suporter karena merasa kehilangan identitas klub. Mulai tahun ini, Cardiff pun kembali menggunakan logo dan warna kebanggaan mereka.

Perubahan identitas yang terjadi pada MU, Chelsea, dan Cardiff City sebenarnya juga banyak dialami klub-klub lain di Eropa. Industri sepak bola global yang menuntut keadaan menjadi demikian. Investor dari berbagai belahan dunia datang dengan gelimang uang yang menggiurkan. Suporter pun menjadi gamang. Apakah mereka harus tetap loyal mendukung klub yang tidak memiliki kesamaan identitas dengan dirinya lagi? Apakah harus setia kepada klub yang tidak merepresentasikan dirinya lagi? Kepada siapa suporter harus loyal jika klub yang didukungnya tidak loyal kepada identitas asal dan nilai-nilai awal klub tersebut dibentuk?

 

Komentar