Sedari awal, sepakbola memang dikenal dan dilekatkan sebagai olahraga maskulin alias khusus bagi laki-laki. Hingga saat ini, lekatnya gambaran tentang sepakbola dan laki-laki masih sulit dipisahkan, terutama di Indonesia. Namun jika melihat bagaimana negara-negara barat mengadopsi sepakbola yang ramah untuk perempuan, akan terlihat bahwa telah terjadi pergeseran pandangan bahwa sepakbola bukanlah permainan yang hanya bisa dimainkan oleh laki-laki.
Sepakbola berhasil membawa setiap orang kepada antusiasme yang bersifat masif. Tidak jarang, antusiasme dalam sepakbola dijadikan sebagai alat untuk menggerakkan massa maupun kelompok yang ada di dalamnya.
Antusiasme dari berbagai kelompok yang ada di dalam sepakbola, baik dari suporter hingga pemain, sebenarnya telah membangkitkannya sebagai ranah yang tidak lagi eksklusif. Sepakbola kini telah bertransformasi menjadi olahraga yang dapat dijadikan sebagai alat pergerakan.
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa banyak sekali pergerakan yang memiliki tujuan khusus, di mana para penggerak selalu menjadikan sepakbola sebagai alat bagi pergerakan mereka. Tidak jarang pula, sepakbola ditunggangi oleh berbagai politisi untuk melancarkan intrik politik mereka.
Kita tidak bisa menyangkal, bahwa sepakbola adalah magnet bagi siapa saja. Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa magnet tersebut yang pada akhirnya membawa massa berani menyuarakan isu-isu yang sedang ramai diperbincangkan.
Salah satu isu yang selalu digaungkan secara tidak langsung adalah perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekerasan bagi perempuan yang dilakukan baik oleh negara, maupun lingkup terdekat dalam sepakbola yaitu kelompok suporter.
Berbagai perlawanan yang membuat sepakbola dapat disebut sebagai alat pergerakan, sebenarnya telah sering ditemui. Perlawanan ini biasanya menggunakan sepakbola sebagai alat berbicara, dan dasar untuk menyampaikan tuntutan khusus bagi para perempuan.
Kita dapat melihat bagaimana pergerakan para perempuan yang telah lahir, bahkan sebelum gagasan tentang penyempurnaan organisasi sepakbola wanita marak dilakukan.
Sebelum munculnya antusiasme terhadap terbentuknya organisasi sepakbola wanita di berbagai negara barat, salah satu negara Timur Tengah, Iran, telah menunjukan pergolakan yang luar biasa.
Di negara-negara semenanjung Arab, sepakbola selalu jadi alasan bagi para perempuan untuk bergerak melawan superioritas negara. Mereka seringkali menyatakan bahwa hak yang mereka miliki harusnya sama dengan para lelaki yakni dapat menyaksikan pertandingan sepakbola secara langsung di stadion.
Pada tahun 1981, para perempuan Iran yang mengalami pengekangan usai dikeluarkannya fatwa haram bagi mereka untuk terlibat dalam ruang-ruang publik, memilih nekat untuk menyambut tim nasional Iran.
Para perempuan yang mengalami pelarangan, mengganggap negara telah melalukan kekerasan struktural kepada mereka. Maka momentum penyambutan timnas sebagai ladang menyarakan keresahan.
Mereka datang dengan tujuan yang sangat jelas yaitu hadir sebagai warga negara yang memiliki kesamaan hak dengan para laki-laki. Mereka menyebut bahwa para perempuan juga bagian dari bangsa Iran sehingga mereka juga berhak menyambut timnas yang mewakili negaranya.
Mereka menyuarakan dan menuntut hak sebagai perempuan dapat dipenuhi, dengan cara dan momen yang menarik yaitu momen bahagia dari sepakbola.
Pergerakan ini membuahkan hasil sebab meningkatkan kesadaran perempuan lain dan menjadikan calon pemimpin berikutnya di Iran, mempertimbangkan penghapusan batasan ruang gerak bagi perempuan.
Tidak hanya dilakukan oleh para perempuan di negara semenanjung Arab, gerakan untuk melawan dan memperjuangkan hak perempuan juga terjadi di Inggris. Sebagai negara yang terbilang maju, maka peran sepakbola memang sangat besar bagi warga negaranya.
Pada tahun 1994, para wanita di Inggris berjuang untuk bisa lepas dari stigma yang kental, bahwa sepakbola hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Mereka melakukan kampanye dan membuktikan bahwa bermain sepakbola adalah proses yang juga dapat membuat mereka merasa aman.
Kampanye bahwa sepakbola adalah ruang aman bagi perempuan Inggris terus digaungkan sebagai bentuk perlawanan terhadap abainya para petinggi sepakbola Inggris kepada antusiasme perempuan. Mereka dengan berani menjadikan sepakbola sebagai ruang yang aman bagi semua orang.
Pergerakan untuk melawan berbagai ketimpangan juga dilakukan di masa modern ini. Sepakbola tidak lepas dari basis gerakan untuk mengumpulkan massa, terutama bertepatan dengan kampanye 16 days of activism atau yang lebih dikenal dengan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia.
Kampanye untuk menolak kekerasan terhadap perempuan juga dilakukan oleh para pemain sepakbola laki-laki yang tergabung dalam organisasi Sport In Action. Kampanye ini berlangsung di Zambia, negara yang memiliki angka tinggi mengenai kekerasan terhadap perempuan.
Para pemain sepakbola memakai jersi dengan tulisan ‘End GBV/Gender Based Violence’ untuk menyampaikan pentingnya mengakhiri kekerasan berbasis gender yang ditujukan untuk semua orang yang menyaksikan pertandingan tersebut.
Tingginya ketertarikan untuk menyaksikan sepakbola bikin ia, baik pertandingan serta serba-serbi yang ada di dalamnya, selalu menarik untuk ditelaah. Melalui tingginya antusiasme dan peran massa, sepakbola berhasil membawa berbagai kampanye yang bertujuan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.
Para pembuat gerakan tentu berharap penuh bahwa sepakbola senantiasa dapat dijadikan ladang yang sempurna untuk menyalurkan aksi-aksi humanisme. Walaupun tidak seluruh kampanye berhubungan dengan sepakbola, tetapi sepakbola dinilai mampu menjadi alat penggerak dan pengumpulan massa.
Melalui berbagai topik, sepakbola sukses menyedot perhatian khalayak dan pada akhirnya pesan serta harapan yang disampaikan dalam kampanye dapat dilihat banyak orang. Proses inilah yang diharapkan mampu meningkatkan kesadaran khalayak, dan sepakbola adalah medium terbaik buat menyampaikannya.