Memoar Sinyo Aliandoe

Sinyo Aliandoe
Sinyo Aliandoe

Pukul 07:30, Rabu, 18 November 2015, Sinyo Aliandoe menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Mayapada, Cinere, Depok. Sebagai mantan pelatih timnas Indonesia, kepergiannya jelas menyisakan duka mendalam bagi pencinta sepak bola Indonesia.

Pria bernama lengkap Sebastian Sinyo Aliandoe ini dikenang oleh publik sebagai pelatih tim nasional (timnas) Garuda yang hampir lolos ke Piala Dunia 1986. Ketika itu Indonesia tergabung di grup 3B Asia Zona B bersama India, Thailand, dan Banglades.

Ketiga negara tersebut tak punya daya untuk menaklukkan Indonesia. Herry Kiswanto dan kawan-kawan pun melaju sebagai juara grup.

Sayang kemudian mereka gagal mengalahkan Korea Selatan di babak kedua Zona B Asia. Laga pertama di Seoul pada 21 Juli 1985 timnas menyerah 0-2, lalu kalah 1-4 di Senayan, Jakarta, pada 30 Juli 1985.

Memiliki prestasi gemilang sebagai pemain

Lahir di Larantuka, Flores, 1 Juli 1938, Sinyo kecil sudah mulai menyepak bola. Tapi, keluarganya tak mampu membelikannya sepatu bola.

Sinyo yang menghabiskan masa kecilnya di Sumba ini baru bisa membeli sepatu bola pertamanya ketika belajar di Sekolah Guru Bawah. Mengikuti program ikatan dinas, Sinyo menerima uang saku 155 rupiah per bulan dan sepatu yang dibelikan ayahnya itu seharga 5 rupiah.

Punya kemauan keras untuk terus belajar dan bercita-cita mengembangkan bakat olah bolanya, Sinyo melanjutkan belajar di Sekolah Guru Pendidikan Djasmani di Singaraja, Bali. Di sinilah nasib hidupnya kemudian ditentukan.

Di sekolah ini, selain memperdalam ilmu keguruan, Sinyo mulai merintis karier sepak bolanya dengan lebih serius. Saat bermain di Persibal, Bali, pada 1962 Sinyo dipanggil Tony Pogacnic untuk bergabung ke timnas junior. Inilah titik balik kariernya. Dia kemudian bergabung dengan Persija Jakarta.

BACA JUGA:  Kebangkitan Marco Giampaolo Bersama Empoli

Endang Witarsa yang ketika itu menangani Persija memberi kepercayaan padanya untuk menjadi gelandang. Sinyo membalasnya dengan permainan yang disiplin, ulet, dan dinilai punya kemauan keras untuk sukses. Gelar juara Perserikatan 1964 pun diraih.

Gelar juara yang diraih bersama legenda Persija lainnya, Soetjipto Soentoro, Fam Tek Fong, Surya Lesmana, Yudo Hadianto, hingga Kwee Tik Liong, itu punya catatan mengagumkan. Dari delapan pertandingan yang dijalani, tujuh laga dimenangkan dan hanya sekali berakhir imbang. Total 39 gol dicetak dan hanyak tiga gol yang bersarang.

Salah satu kemenangan yang terus diingat adalah laga melawan Persebaya. Sebagai juara bertahan, tentu Bajul Ijo merupakan tim kuat. Tapi, mereka berhasil dikalahkan dengan skor mencolok, 4-1.

Sayangnya, karier Sinyo tidak panjang. Pada 1970 dia sudah harus gantung sepatu karena cedera patah tulang pergelangan kaki. Dia lalu belajar untuk menjadi pelatih.

Karier sebagai pelatih

Jika sebelumnya dia bersafari dari satu lapangan ke lapangan lainnya, bapak dua anak ini menimba ilmu dari satu kursus ke kursus lainnya hingga pernah ikut FIFA Coaching School. Dia juga sempat belajar ke Manchester United pada 1975 ketika diutus oleh F.H. Hutasoit, manajer Persija ketika itu.

Kunjungannya ke Manchester United ini memengaruhi pemahaman Sinyo mengenai peraturan offside yang kemudian ditularkannya di sepak bola Indonesia. di tangan Sinyo, offside diperkenalkan sebagai taktik untuk melakukan pressing terhadap lawan.

Sebagai pelatih, torehan Sinyo juga mengesankan. Debut melatihnya pada 1973 langsung menghasilkan gelar juara untuk Persija. Ketika itu putaran final masih menggunakan sistem grup dan Persebaya hanya butuh hasil imbang. Tapi, gol semata wayang Risdianto memastikan gelar juara bagi Macan Kemayoran di Senayan.

BACA JUGA:  Mengagumi Keserbabisaan David Alaba

Dua tahun berselang ketika format putaran final berubah menjadi turnamen, Persija bertemu PSMS Medan di final. Laga tersebut berakhir ricuh dan kedua tim ditetapkan sebagai juara bersama karena skor akhirnya masih sama kuat, 1-1.

Selepas juara bersama, Sinyo menepi dan digantikan pelatih asing, Marek Janota. Sinyo kemudian menjadi asisten Wiel Coerver menukangi timnas Indonesia pada periode 1975-1976 hingga akhirnya ditunjuk sebagai pelatih kepala pada dekade 1980-an.

Era 1980-an sepak bola Indonesia sedang bergairah setelah bergulirnya Galatama sebagai liga semi-profesional melengkapi kompetisi amatir, Perserikatan. Agenda timnas ketika itu juga sedang banyak, seperti SEA Games, kualifikasi Piala Dunia, Piala Sukan, Merdeka Games, dan lainnya.

Sinyo sendiri selain melatih timnas juga sempat melatih Arema di Galatama. Dia disebut-sebut sebagai pelatih yang meletakkan dasar sistem permainan dan karakter Singo Edan.

Tapi, bagi Sinyo era kepelatihannya merupakan periode gelap. “Sayang sekali, waktu itu banyak yang bagus dan berbakat, tapi moralnya lemah,” tutur Sinyo.

Hal itu berkaitan dengan fakta bahwa klub dan bandar judi berkeliaran menyuap pemain. Era 1980-an juga jadi saat di mana pengaturan skor merajalela di sepak bola Indonesia.

Selamat jalan om Sinyo. Jasamu bagi sepak bola Indonesia akan terus harum hingga masa mendatang.

 

Komentar
Akrab dengan dunia penulisan, penelitian, serta kajian populer. Pribadi yang tertarik untuk belajar berbagai hal baru ini juga menikmati segala seluk beluk sepak bola baik di tingkat lokal maupun internasional.