Berita duka kembali datang dari dunia sepak bola tanah air. Seorang bobotoh —julukan suporter setia Persib Bandung— yang baru memasuki usia 17 tahun, Muhammad Rovi harus meregang nyawa sia-sia akibat menjadi korban pengeroyokan.
Kejadian memilukan tersebut terjadi dalam perjalanan ketika hendak menyaksikan tim kesayangannya berlaga, Persib yang menjamu tim Persegres Gresik United dalam lanjutan ajang Indonesia Soccer Championship (ISC) A 2016 di Stadion Wibawa Mukti, Bekasi, Sabtu (22/10) lalu.
Omen —panggilan akrab Muhammad Rovi, menurut catatan dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Save Our Soccer (#SOS) adalah tumbal ke-51 suporter sepak bola yang meninggal sejak Liga Indonesia secara profesional pertama kali digelar pada 1994/1995.
Dan yang membuat kita tercengang adalah, faktanya Omen merupakan korban nyawa ketiga sepanjang tahun 2016!
Sebelumnya, ada nama Muhammad Fahreza dari The Jakmania —kelompok suporter Persija Jakarta— dan Stanislaus Gandhang Deswara, anggota kelompok suporter PSS Sleman, Brigata Curva Sud. Kedua remaja tersebut harus mengakhiri cita-citanya di usia yang masih muda, yakni baru memasuki 16 tahun.
Dalam upaya penanganan tersangka pembunuhan Omen, pihak kepolisian terhitung cepat, 1×24 jam selepas kejadian, mereka berhasil meringkus delapan orang yang diduga sebagai tersangka.
Nahasnya, kedelapan pelaku pengeroyokan tersebut ternyata berusia yang relatif sama dengan korban, yakni rata-rata usia baru 17 tahun. Fanatisme sempit berbau kedaerahan dan dendam rivalitas menjadi motif tersangka yang notabene adalah anggota The Jakmania.
Namun, terjadi perbedaan ketika penanganan kematian Fahreza atau Stanislaus. Sampai tulisan ini dibuat Rabu (26/10). Kedua kasus tersebut masih simpang siur. Hingga memasuki bulan kelima setelah kejadian, belum jelas terkait siapa pelaku dan motif pembunuhannya. Atau setidaknya hingga kini tak ada informasi lebih lanjut mengenai kasus keduanya.
Khusus dalam kasus kematian Fahreza sendiri masih belum menemukan titik terang. Kasusnya seakan dihentikan dan ditutup-tutupi. Mungkin ada yang sengaja tak diungkap ke publik.
Sementara itu, PSSI, selaku pihak yang paling bertanggung jawab sebagai asosiasi fasilitator dan regulator sepak bola di Indonesia terkesan angkat tangan. Mereka justru sibuk dengan bayang-bayang masalah internal sendiri. Mulai dari Kongres Luar Biasa (KLB) yang (sengaja) tertunda, hingga pengurus yang mempunyai pekerjaan ganda.
Tidak usah jauh-jauh, bapak Ketua PLT PSSI, Hinca Pandjaitan lebih sibuk mengurusi pemilihan gubernur ketimbang mengurusi pembinaan pemain muda di Indonesia —yang menurut pelatih tim nasional Indonesia Alfred Riedl— masih kacau balau.
Bahkan, upaya penanganan perdamaian suporter di Indonesia, menurut salah satu anggota Exco PSSI, Djamal Aziz, tidak masuk ranah PSSI. Dengan congkak beliau berkata bahwa suporter tidak boleh damai.
“Misalnya Viking sama The Jakmania damai, terus kausnya separuh biru saparuh oranye. Nggak keren jadinya, garing itu, itu ide bahlul. Suporter itu biar fanatik agar ada fanatismenya bahwa saya berjuang untuk daerah saya, dan nanti berprestasi untuk kepentingan nasional,” ungkap Djamal di acara Mata Najwa dengan tema Tumbal Nyawa Sepakbola Rabu (29/6) lalu atau sebulan setelah kematian Gandhang.
Penghilangan nyawa seseorang secara paksa merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Siapa pun pelakunya.
Maka, secara tidak langsung, negara mempraktikkan hal tersebut bahkan ikut memfasilitasi secara masif, terstruktur, dan sistematis dalam mengebiri hak hidup seseorang.
Selain itu, tindakan pembiaran juga termasuk dalam pelanggaran HAM. PSSI selaku induk asosiasi sepak bola di Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi, sekaligus mencegah terjadinya kerusuhan atau kekerasan kepada suporter.
Namun PSSI, sebagaimana yang kita tahu, selalu lepas tangan dan cenderung menutup mata dari kondisi yang terjadi.
Selain kematian suporter, kita juga jangan sampai lupa dengan tragedi kematian pemain asing yang bermain di Indonesia seperti Diego Mendieta (Persis Solo) dan Salomon Begoundou (Persipro Probolinggo) yang meninggal karena tidak memiliki biaya untuk berobat lantaran gajinya tidak bayar.
Yang jadi pertanyaan, apa fungsi PSSI bila dikatakan sebagai sebuah asosiasi atau lembaga? Kok, tenang-tenang saja tanpa merasa berdosa.
“Komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia adalah (salah satu) pendiri Dewan HAM PBB,” kalimat indah tersebut belum lama disampaikan oleh diplomat Indonesia, Nara Masista Rakhmatia dalam Sesi ke-71 KTT PBB bulan September 2016 lalu.
Hal ini sangat kontras dengan upaya pemerintah dalam penanganan HAM. Yang terbaru misalnya, dokumen penting hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir justru hilang.
Hai ini mengindikasikan pemerintah Indonesia, bahwa selain pengelolaan administrasi yang buruk karena dokumen penting bisa hilang, juga tidak memiliki iktikad baik untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir.
Padahal, Munir sendiri merupakan salah satu tokoh penting dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Mengapa penanganan kasusnya seperti main-main?
Lantas, bagaimana kasus pelanggaran HAM yang lain? termasuk penanganan kasus kematian suporter yang semakin hari, kian temaram perkembangannya.
Pada akhirnya, masing-masing kita akan bertanya, di bilik hati yang manakah mesti kita simpan kesedihan?
NB: Setelah sempat dikatakan hilang, dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir dirilis.