Polemik Ajang Penghargaan di Kancah Sepakbola

Penghargaan kepada pemain sepakbola terbaik di dunia akan selalu menimbulkan polemik tersendiri setiap tahunnya.

Perdebatan soal siapa yang lebih layak atau tidak selalu muncul saat pemenangnya diumumkan. Tidak terkecuali dalam penghargaan pemain terbaik versi induk organisasi sepakbola dunia, FIFA, tahun 2021.

Striker Bayern Munchen asal Polandia, Robert Lewandowski, terpilih sebagai pesepakbola pria terbaik FIFA 2021. Sedangkan di sektor putri, peraihnya adalah gelandang Barcelona Femeni, Alexia Putellas.

Selain untuk pemain outfield, penghargaan juga diberikan kepada mereka yang berposisi sebagai penjaga gawang.

Kali ini, penghargaan kiper pria terbaik adalah Edouard Mendy (Chelsea). Sementara penjaga gawang penjaga putri terbaik diberikan kepada Christiane Endler (Lyon Feminin).

Di luar penghargaan individu, FIFA juga merilis Starting XI terbaik bagi tim pria maupun putri.

Namun penghargaan sebelas pemain terbaik ini menimbulkan perdebatan besar di kalangan fans. Apa saja penyebabnya?

Penggunaan formasi 3-3-4

Perdebatan pertama yakni penentuan formasi tim pria. FIFA secara mengejutkan memakai formasi 3-3-4 guna mengakomodir lebih banyak pemain depan.

Kalau dilihat secara statistik, memang pemain depan memiliki statistik yang lebih baik, utamanya tentang gol dan asis, serta lebih populer dibanding seorang gelandang ataupun pemain bertahan.

Padahal di lapangan, pemain belakang dan tengah juga menjadi kunci permainan. Tanpa mereka, bagaimana mungkin pekerjaan para pemain depan dapat terselesaikan?

Sayangnya, angka statistik yang dicatatkan bek atau gelandang tidak sepopuler catatan gol ataupun asis dari seorang striker atau winger.

Kita bisa dengan mudah mengetahui berapa gol atau asis yang dicetak oleh pemain, bahkan yang sudah pensiun sekalipun. Namun di sisi lain, kita kesulitan mencari berapa angka tekel sukses, intersep, ataupun akurasi umpan dari pemain tersebut.

Tak ayal fakta ini menyebabkan kenapa pemain terbaik lebih banyak dimenangkan oleh striker atau winger. 

Hal itu menjustifikasi bahwa sepakbola selalu memberi sorotan lebih kepada mereka yang menjadi penentu kemenangan lewat gol atau asis.

Donnarumma atau Mendy

Perdebatan selanjutnya muncul saat Gianluigi Donnarumma terpilih sebagai penjaga gawang di Starting XI terbaik versi FIFA.

Kiper asal Italia itu mengalahkan Mendy yang terpilih sebagai penjaga gawang terbaik menurut badan yang sama. Aneh, ya?

BACA JUGA:  Ketika Waktu Memburu Manchester United

Secara penampilan, keduanya memang tampi mengesankan sepanjang 2021 lalu. Donnarumma berhasil membawa Italia menjuarai Piala Eropa sedangkan Mendy mengantar Chelsea merebut trofi Liga Champions.

Namun kenyataannya, ada perbedaan hasil dalam penghargaan individu serta kolektif. Bagaimana bisa kiper terbaik versi FIFA tidak masuk ke dalam Starting XI terbaik versi badan yang sama?

Perbedaan ini mungkin menunjukkan bahwa posisi kiper memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dalam menentukan siapa yang lebih baik. Pasalnya, cuma ada satu penjaga gawang yang bermain di sebuah tim.

Akan tetapi, hasil tersebut juga menunjukkan inkonsistensi pemilih dalam menentukan pilihannya. Bukankah kalau kiper terbaik itu berhak mendapatkan posisi sebagai kiper di Starting XI.

Kalau sudah begini, siapa yang sebetulnya lebih baik di antara Donnarumma dan Mendy?

Perbedaan Hasil Urutan Pemain Terbaik dengan Starting XI

Sama seperti kasus Donnarumma dan Mendy. Polemik juga muncul terkait pemain yang masuk ke dalam sebelas besar hasil voting pemain terbaik FIFA justru tidak berada di Starting XI?

Memang, sebelas besar pemain terbaik jumlahnya tidak selalu sesuai dengan jumlah posisi dalam formasi di lapangan. Namun setidaknya, akan lebih terlihat konsisten kalau FIFA memilih, misalnya 3-4 pemain terbaik di tiap posisinya, sesuai urutan dari penghargaan versi mereka.

Di posisi pemain depan, Mo Salah dan Karim Benzema berada di urutan ketiga dan keempat dalam peringkat pemain terbaik FIFA.

Namun mereka berdua justru tidak masuk kedalam starting XI. Bahkan, Salah tidak masuk ke dalam shortlist pemain depan yang dicalonkan oleh FIFA sebagai nominasi untuk mengisi Starting XI.

Bagaimana seseorang yang tidak masuk striker terbaik menurut FIFA, justru keluar sebagai juara ketiga pemain terbaik yang juga dipilih oleh FIFA?

Sebagai perbandingan, Cristiano Ronaldo menempati peringkat 7 dan Erling Braut Haaland bahkan tidak masuk ke dalam 10 besar pemain terbaik FIFA.

Perdebatan yang lebih ekstrem justru muncul di sektor sepakbola putru. Dari sebelas nama Starting XI bahkan tidak ada satu pun nama dari 3 besar finalis pemain terbaik putru FIFA, yakni Alexia Putellas, Jenni Hermoso, serta Sam Kerr.

BACA JUGA:  Menerima Kekalahan dengan Lapang Dada

Praktis hanya ada nama Endler yang mengisi pos penjaga gawang dan terpilih terpilih sebagai penjaga gawang terbaik FIFA.

Kontroversi tidak berhenti di situ. Bukan hanya Putellas dan Hermoso, secara lebih spesifik lagi tidak ada satu pun nama pemain Barcelona Femeni di jajaran Starting XI terbaik versi FIFA.

Padahal Barcelona Femeni bisa dibilang sebagai tim putri tersukses pada 2021 setelah memenangkan Treble sekaligus menyapu bersih semua gelar bergengsi yang tersedia untuk mereka.

Jadi pertanyaannya, siapa yang benar-benar bisa disebut sebagai 11 pemain terbaik baik dari kategori laki-laki maupun perempuan kalau hasil saja menunjukkan perbedaan diantara keduanya?

Sebagai informasi, baik Starting XI, pemain terbaik, maupun penjaga gawang terbaik dipilih melalui sistem voting oleh kapten dan pelatih dari semua Tim Nasional di bawah naungan FIFA.

Namun mereka dianggap belum tentu mewakili suara keseluruhan penikmat sepakbola.

Tanpa meragukan kualitas dan kredibilitas para voter tersebut, timbul pertanyaan apakah kapten dan pelatih Timnas masih mengikuti sepakbola secara intens kecuali dari lingkaran terdekat mereka?

Mengingat banyak testimoni dari pemain yang menyebut kalau mereka saja jarang menonton sepakbola karena kesibukannya.

Apalagi timbul kecurigaan, bagaimana kalau pemilihan pemain terbaik ini bukan didasarkan oleh kualitas pemain, tapi bias dari para pemilih.

Seperti memilih pemain dari klub idola, sengaja tidak memilih rival terdekatnya, dan beragam macam pikiran liar lain dari publik.

Sesuai namanya, penentuan seseorang yang dianggap terbaik seharusnya memiliki standar kualitasnya sendiri.

Alih-alih menggunakan standar kualitas, FIFA memilih pendekaan kuantitas untuk menentukan pemain terbaik. Kalau seperti ini, bukankah ini lebih cocok disebut pemain terfavorit, bukan terbaik?

Namun apapun itu, keputusan telah diambil. Mari mengucapkan selamat kepada pemenang penghargaan FIFA tersebut.

Bagi yang gagal, tidak masalah. Toh, mereka sudah mencatatkan penampilan impresif serta menghasilkan gelar kolektif bersama klub atau negara yang tentu lebih penting daripada sekadar penghargaan individu.

Komentar
Seorang penggemar Real Madrid yang sedang menjalani masa kuliah di Universitas Negeri Surabaya. Dapat dihubungi di akun Twitter @RijalF19.