Di kampus terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), terdapatlah sebuah gedung yang diberi nama Gedung Ki Bagus Hadikusuma. Ki Bagus Hadikusuma tercatat dalam buku–buku sejarah sebagai tokoh yang tidak hanya berkontribusi pada perkembangan Muhammadiyah, namun juga dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di Gedung Ki Bagus Hadikusuma, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) serta Fakultas Hukum berkuliah. Rutinitas saya adalah mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi yang berpayung di Fisipol.
Saat saya mengajar, sering saya melihat beberapa mahasiswa mengenakan jersey klub sepak bola, baik klub asing, klub local, maupun pakaian yang merujuk pada komunitas suporter sepak bola tertentu. Jersey dan atribut yang paling banyak saya temui tentu saja jersey Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM) Yogyakarta, klub kebanggaan masyarakat kota Yogyakarta. Kebetulan juga, beberapa staf karyawan di UMY pernah memperkuat dan aktif di PSIM. Umumnya, mereka aktif dan berasal dari perkumpulan sepak bola amatir, Hizbul Wathan.
Ki Bagus Hadikusuma adalah sosok penting dalam perkembangan sepak bola di Muhammadiyah dengan mendirikan Kauman Voetbal Club (KVC) yang kemudian bermetamorfosis menjadi Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW). Di kompetisi internal PSIM, PSHW menjadi salah satu klub yang disegani. Selain di Yogyakarta, PSHW juga tumbuh dan berkembang di berbagai kota.
Sebuah laporan di harian Suara Banyumas (yang menjadi bagian dari Suara Merdeka–koran terbesar di Jawa Tengah) terbitan 12 Februari 2015 menyebutkan, “Sebanyak 48 kesebelasan bakal mengikuti turnamen sepak bola HW Cup 2015, di Stadion Merden Purwonegoro, Banjarnegara, mulai sore ini sampai 15 Maret. Turnamen itu digelar Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Banjarnegara. Pada hari pertama sampai 16, tiap sore dimainkan dua pertandingan. Tim-tim yang tampil pada laga pembuka, sore ini, untuk partai I HW Merden vs Purbalinga dan II HW Banjarnegara vs HW Pejawaran”.
Berita berjudul 48 Kesebelasan Ikuti HW Cup tersebut juga menuliskan sebuah kutipan dari ketua panitia bernama Rokhman Supriyadi yang menyatakan bahwa sepak bola dipilih karena merupakan olahraga yang paling digemari masyarakat, terutama generasi muda. Selain itu, turnamen ini tentunya juga digunakan untuk menanamkan nilai–nilai sportivitas. PSHW di Banjarnegara sendiri sukses melahirkan beberapa pemain sepak bola profesional, seperti Farikin dan Faisol Arif yang pernah menjadi tulang punggung Persibangga Purbalingga.
Di sudut utara kampus terpadu UMY, terdapatlah sebuah lapangan sepak bola yang lumayan representatif. Selain digunakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sepak Bola, di lapangan tersebut kini PSHW bermarkas. Sekolah Sepak Bola (SSB) yang dibina PSHW melatih anak–anak dari berbagai kelompok umur mengolah bola di lapangan tersebut. PSHW Yogyakarta yang disokong UMY kini populer dengan nama PSHW UMY.
Selain lapangan UMY, PSHW juga pernah lama menggunakan Lapangan Asri yang terletak di bilangan Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Lapangan ini kini terletak di belakang Asri Medical Center (AMC). Miftahul Fahamsyah yang akrab dipanggil Fim Mifta, jurnalis olahraga Jawa Pos yang menulis buku Mencintai Sepak bola Indonesia Meski Kusut (2015), menyebutkan kenangannya kepada saya saat ikut bergabung melatih SSB PSHW di Lapangan Asri. “Di tengah lapangan yang berdebu, anak–anak selalu ceria mengikuti latihan sepak bola. Justru di lapangan itu saya banyak belajar tentang kultur yang berbeda. Karena itu, saya tidak pernah melupakan kenangan di lapangan berdebu itu,“ kenangnya.
Menjadikan PSHW Klub Profesional
Pada bulan Agustus tahun 2015, Muhammadiyah akan bermuktamar di Makassar. Ini merupakan muktamar ke-47 sekaligus muktamar pertama pasca-Muktamar 1 Abad yang berlangsung di Yogyakarta. Kontribusi Muhammadiyah dalam memajukan umat dan bangsa Indonesia tidak terbantahkan. Amal usahanya, terutama di ranah pendidikan, sosial dan kesehatan menyebar ke berbagai pelosok nusantara. Di ranah pendidikan, lembaga pendidikan Muhammadiyah berada di semua tingkat, dari tingkat taman kanak–kanak sampai perguruan tinggi. Rumah sakit dan panti asuhan yang dikelola Muhammadiyah pun berkontribusi besar dalam ranah kesehatan dan sosial.
PSHW sendiri tidak bisa dilepaskan sebagai kiprah Muhammadiyah, terutama dalam sepak bola Indonesia. Meminjam istilah Fim Mifta, meskipun kusut, sepak bola Indonesia tetap harus dicintai. Saya membayangkan jika PSHW berkembang bukan hanya menjadi klub sepak bola amatir namun juga lebih dari itu: menjadi klub sepak bola profesional. Tajdid (gerakan perubahan) Muhammadiyah di bidang olah raga bisa dilakukan dengan menjadikan PSHW hijrah dari kompetisi amatir menuju ke profesional. Sebagai klub yang berpayung di Muhammadiyah, PSHW tentu tidak memberikan toleransi pada judi, sponsor minuman keras, pengaturan pertandingan dan sejenisnya. Untuk mendapatkan sponsor, PSHW bisa memanfaatkan jejaring pengusaha di lingkungan Muhammadiyah maupun amal usaha Muhammadiyah lainnya yang telah maju.
Model yang dilakukan PSHW Yogyakarta dengan UMY dengan HW UMY bisa menjadi sebuah model yang menarik. Di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), lapangannya bahkan telah memiliki tribun kecil di sisi barat. Bayangkan jika kemudian di kota Malang ada klub PSHW UMM. Dengan demikian, infrastruktur lapangan yang ada di kampus–kampus Muhammadiyah bisa dimanfaatkan sebagai tempat latihan, sekaligus jika memungkinkan, kampus pun bisa menjadi sponsor.
Fakultas kesehatan dan kedokteran bisa mendukung sisi medis klub dengan melibatkan dosen dan mahasiswanya yang mencintai sepak bola. Program studi yang berkaitan dengan statistik dan matematika bisa mendukung sisi teknis pertandingan melalui pengembangan statistik klub. Mahasiswa yang berbakat mengolah Si Kulit Bulat bisa direkrut menjadi pemain. Suporter juga bisa berasal dari sivitas akademia, mulai dari dosen, karyawan dan tentu saja mahasiswa dan para alumni. Ditambah lagi jejaring Muhammadiyah yang ada di berbagai kota.
Untuk urusan jersey, PSHW bisa menggunakan warna hijau lumut ala pakaian kepanduan Hizbul Wathan (yang juga berpayung di Muhammadiyah) atau biru dongker yang menjadi warna celana kepanduan Muhammadiyah ini. Warna lain juga bisa dipertimbangkan, seperti dengan menyesuaikan almameter kampus yang menjadi sponsor atau putih yang melambangkan kesucian.
Jika demikian, mungkin di masa mendatang akan ada beberapa klub PSHW profesional di beberapa kota. Di masa pramusim atau ketika sepak bola beku, PSHW masih bisa melakukan kompetisi antar-PSHW. Kompetisi ini juga bisa dilakukan menjelang Muktamar Muhammadiyah, di mana final dilakukan sebagai rangkaian kegiatan pra–Muktamar.
Jikapun tidak berkompetisi di kasta tertinggi, PSHW bisa memulai dari kasta paling bawah, karena alih–alih melakukan merger dengan klub di kasta paling atas atau membeli klub, lebih baik tajdid di ranah sepak bola dimulai dari bawah. Pembinaan usia dini yang selama ini telah dilakukan PSHW secara konsisten bisa menjadi modal berharga menuju kemajuan PSHW.