Sepak Bola, Semen, dan Kaki-Kaki yang Dipasung

Sejak Selasa (12/4) hingga sepekan ke depan, kita sedang dan akan menyaksikan perjuangan sekelompok manusia berani yang tertindas atas nama pembangunan dan terancam tergusur dari tanah mereka atas nama kesejahteraan yang dijanjikan negara.

Sembilan perempuan berani, yang berbalut dengan semangat wanita revolusioner membeton kakinya di depan Istana Negara sebagai bentuk resistansi untuk menunjukkan pekik teriakan yang lantang di hadapan penguasa.

Di hadapan penguasa dan di hadapan negara yang dengan segala janji-janji akan kesejahteraannya kerapkali merugikan sebagian besar rakyat kecil di daerah. Dan di hadapan undang-undang yang kerapkali diatasnamakan sebagai sebuah pembenaran mutlak yang paling hakiki di atas kemanusiaan sekalipun.

Pada tahun 2006, PT SEMEN GRESIK akan melakukan perencanaan pembangunan pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Sebuah rencana ekspansi bisnis yang tentu saja mengundang reaksi dan resistensi keras dari sebagian besar Pati karena dianggap mengancam keberlangsungan mata pencaharian mereka sebagai petani.

Salah satunya, karena ancaman akan berkurangnya pasokan akan mata air karena pembangunan pabrik akan memberikan efek buruk bagi keberlangsungan pertanian bagi sebagian besar warga Pati yang notabene adalah petani.

Pada 2009, warga Pati memenangi gugatan di PTUN hingga Mahkamah Agung yang memaksa PT SEMEN GRESIK mundur dari Pati dan mengalihkan tujuan ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Pada 2010 sampai saat ini, Grup Indocement sudah menjajaki rencana untuk pembangunan pabrik semen di Pati, tepatnya kawasan Kecamatan Kayen dan Tambakromo.

Pada 2014, PT SEMEN GRESIK sudah berhasil masuk ke Rembang dan mendirikan pabrik mulai 16 Juni 2014. Hingga saat itu, sampai detik ini, perlawanan warga Rembang, dibantu beberapa warga Pati, berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan pertempuran melawan PT SEMEN GRESIK dan Grup Indocement yang dibekingi beberapa pejabat teras di daerah. Dan tentu saja, dilindungi undang-undang dan menaungi diri dalam payung amdal (analisis mengenai dampak lingkungan).

Ketika tanah untuk mereka hidup pun diambil, kaki-kaki dipasung dalam beton, dan semangat ketahanan pangan yang dicanangkan pemerintah justru digantikan dengan upaya ketahanan beton, sampai di mana akal sehat kita sebagai manusia waras memilih untuk diam dan tidak bersuara?

Upaya Kartini Rembang yang menyemen kakinya di depan Istana Negara bukan hanya sebuah upaya revivalis akan penindasan yang dilakukan sebuah korporasi atau kewenangan negara. Lebih dari itu, upaya tersebut adalah sebuah tindakan untuk melawan kesenjangan yang kerapkali menindas rakyat kecil bahkan sejak jauh hari, sejak saat negara masih terkungkung dalam cengkeraman penjajah.

Zaman kolonial, tidak hanya meninggalkan cerita penjajahan ratusan tahun, namun juga mewariskan kepada masyarakat kita saat ini, sebuah mentalitas khas penjajah yang ekspansionis dan keras kepala.

Sudah sejak zaman dahulu kala, ketika penjajah datang dan menerapkan pajak bagi pribumi, rakyat kita sudah terbiasa dengan penindasan yang bebal dan banal.

Bagaimana mungkin Anda membayar pajak mahal yang ditetapkan oleh mereka yang datang belakangan untuk tanah yang Anda miliki dan warisi secara turun-temurun dari generasi ke generasi dalam keluarga besar Anda?

BACA JUGA:  PS Hizbul Wathan: Kiprah Muhammadiyah dalam Sepak Bola

Ini kan konyol dan bodoh. Orang paling gila sekalipun akan geleng-geleng kepala mendapati fakta konyol ini.

Dan wujud resistansi akan pembangunan pabrik semen di Rembang adalah upaya melawan penjajahan negara, lebih parahnya lagi, dilakukan bangsa kita sendiri, dalam bentuk lebih modern dan lebih sistematis untuk menggusur kembali rakyat kecil.

Menyudutkan dan memaksa mereka menjual tanah demi kepentingan pemerataan pembangunan dan menolak upaya tersebut disebut sebagai tindakan kapitalis.

Konyol, ya? Iya. Mirip dengan perlakuan beberapa petinggi klub-klub sepak bola di Inggris yang menaikkan harga tiket dan melabeli suporter sebagai konsumen, bukan pendukung.

Bagaimana bisa suporter dipaksa menjadi konsumen di dalam “rumah” mereka sendiri?

Kaki-kaki yang dipasung di sepak bola

Dengan pergolakan yang sama dengan warga Rembang, walau dengan level yang lebih rendah, kegelisahan akan tanah-tanah yang disulap para pengembang juga menghinggapi beberapa anak di beberapa daerah di Indonesia akan minimnya lahan tanah lapang untuk bermain bola.

Simak cerita dari pemerhati sepak bola, Didin Hapid, di Desa Sukamakmur, Kecamatan Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Tanah seluas 125 hektar, konon akan digusur dan berganti dengan rencana pengembangan proyek untuk membangun perumahan di tanah pedesaan.

Tidak hanya tanah lapang untuk rutin menggelar turnamen sepak bola di Sukamakmur, namun juga tanah pertanian yang diklaim para pengembang proyek bukan merupakan tanah milik petani lokal melainkan hanya dimiliki dengan sistem sewa.

Akhir tahun 2015, ditengarai sebagai tahun terakhir pelaksanaan Sukamakmur Cup yang rutin dilaksanakan tiap tahunnya dan diikuti 44 klub di sekitaran desa Sukamakmur yang memang getol dengan perayaan sepak bola berbalut sebuah turnamen antardesa atau antarkampung.

Tanah lapang, bukan hanya ajang bermain bola, tapi juga sebuah rumah bagi sebagian orang. Bagi para penggemar sepak bola, utamanya.

Saya adalah salah satu anak yang tumbuh besar dengan bermain sepak bola di tanah lapang, entah melalui sistem kepelatihan yang komprehensif di Sekolah Sepak Bola (SSB) atau hanya tendang bola ke sana kemari dengan kawan-kawan di kampung. Suatu hal, yang sangat jarang ditemui akan dilakukan beberapa anak-anak di daerah dewasa ini.

Awal 2011, ketika pertama kali datang ke Malang, jumlah tanah lapang dan beberapa tanah kosong yang kerapkali digunakan untuk bermain sepak bola masih cukup memadai, walau tak banyak.

Tapi atas nama pembangunan dan berkedok kepentingan beberapa pihak, tanah lapang itu berganti dan seketika diubah secara ajaib menjadi gedung-gedung atau perumahan.

Paling apes ya berubah jadi lahan parkir. Paling sial, akan dalam sekejap menjadi deretan ruko-ruko centil dengan cat warna terang yang menyilaukan mata.

Contoh terdekat, tentu saja lapangan sepak bola di dalam kampus Universitas Brawijaya (UB) yang terletak dekat Fakultas Teknik dan Fisipol UB.

Karena proyek pembangunan gedung kembar Fisipol UB, yang notabene adalah fakultas saya, lapangan sepak bola yang rumputnya sudah setinggi lutut pria dewasa itu kini sudah terkikis dan hanya tersisa seperempat saja dari luas total lapangan sebelum pembangunan gedung kedua milik Fisipol UB.

BACA JUGA:  Mimpi Sedekade Persiraja dan Masyarakat Aceh

Lebih hebatnya lagi, sisa-sisa lapangan itu telah disulap sedemikian rupa menjadi lahan parkir. Hebat betul kampus saya, ya?

Di medio awal 2011 hingga akhir 2012, kami (beberapa mahasiswa banal seangkatan saya yang menggemari sepak bola dibanding teori-teori kaku milik James Rossenau) kerapkali bolos beberapa mata kuliah hanya untuk menonton pertandingan sepak bola di lapangan samping fakultas.

Saya bahkan tiga kali mencicipi main di lapangan tersebut. Jadi, sedikit banyak ada kenangan yang tertinggal di lapangan yang rumputnya bisa untuk kebutuhan sehari-hari peternak sapi dan kerbau.

Ketika rencana pembangunan gedung berjalan, ada segelintir mahasiswa yang sempat protes ke dekanat bahkan ke rektorat, tapi hasil akhir bisa ditebak.

Lagipula, kami hanya mahasiswa yang didoktrin untuk ke kampus guna belajar dan diam di kelas, bukan bermain sepak bola. Dan kekalahan karena melakukan penolakan pembangunan gedung itu, sedikit banyak membuat saya malu ketika melihat perjuangan warga Rembang melawan aparatur negara hingga korporasi besar perihal polemik pabrik semen.

Penggusuran lapangan sepak bola dan minimnya tanah lapang itu juga patut disoroti karena bagi beberapa orang, entah dewasa atau anak-anak, mau pria atau wanita, terkadang, tanah lapang untuk bermain sepak bola jauh lebih berharga dari mainan-mainan modern sekalipun.

Utamanya, bagi anak-anak di daerah yang acapkali menemukan kebahagiaannya di tanah lapang di pedesaan. Budi Sudarsono, penyerang gesit eks timnas, berasal dari kampung kecil di Pare, Kediri. Samsul Arif, penyerang anyar milik Persib Bandung, adalah bocah penggemar bola dari kampung kecil di Bojonegoro.

Bagi sebagian besar orang, mungkin, tanah lapang itu potensial untuk dikembangkan menjadi perumahan dan mendatangkan untung yang tinggi.

Tapi bagi segelintir anak-anak dan beberapa orang yang hidup dan menyukai sepak bola, tanah lapang adalah segalanya. Mau di mana kami bermain sepak bola kalau tidak di tanah lapang yang luas dengan derai tawa mengiringi si kulit bulat digiring dan ditendang ke sana kemari dengan kebahagiaan yang membuncah?

Lapangan sepak bola, atau tanah lapang luas yang terkadang berlapis rumput setinggi ilalang atau tanah coklat yang tandus, adalah eskapisme terbaik dari segala kejenuhan warga kota dan kebisingannya yang memuakkan.

Menjamurnya lapangan futsal memang membantu menyalurkan hasrat menendang bola. Akan tetapi, untuk melampiaskan hasrat bermain sepak bola, tanpa harus pusing memikirkan biaya sewa lapangan, tanpa pusing memikirkan perlengkapan sepatu dan sebagainya, hanya bisa disalurkan senyaman-nyamannya di tanah lapang yang luas di desa, di pinggiran kota atau di tengah-tengah kota Jakarta yang macet dan selalu sibuk sekalipun.

 

Teruntuk warga Pati, Rembang dan beberapa wilayah di Jawa Tengah yang terimbas proyek pembangunan negara lewat PLTU dan pabrik semen, sejatinya, kalian sudah berjuang, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.