Di Indonesia, sepakbola merupakan cabang olahraga yang amat populer. Tak hanya untuk disaksikan, tapi juga dimainkan. Baik oleh mereka yang profesional maupun amatir, kompetisi liga maupun gelaran tarkam (antar kampung), dari stadion-stadion megah hingga lapangan kampung di pinggir sawah.
Bicara mengenai ajang yang disebut belakangan, rasanya sulit untuk mencari sumber sejarah yang valid tentang kapan maraknya turnamen tarkam di Indonesia. Namun yang pasti, tarkam laksana tradisi yang terus menggelinding dalam ranah sepakbola di tanah air.
Jika dahulu tarkam didominasi oleh mayoritas kita yang memang pesepakbola amatir, tapi sekitar satu setengah dekade pamungkas tarkam juga diikuti oleh banyak pemain profesional. Sudah tak terhitung berapa banyak dokumentasi yang muncul di koran-koran atau media sosial tentang pesepakbola profesional yang tunggang langgang di atas lapangan botak dan tak rata di sudut-sudut kampung.
Rekomendasi Jersey Fantasy dan Jaket Bertema Garuda yang Keren
Sebuah alasan klasik menyeruak dan semakin populer jadi tameng pesepakbola profesional tersebut berlaga di ajang tarkam. Ya, demi asap dapur yang harus terus mengepul. Utamanya saat kompetisi profesional terhenti, kontrak mereka sudah habis dengan pihak klub atau apes karena gagal mentas di ajang profesional gara-gara tak dilirik kesebelasan manapun.
Di ajang tarkam, mereka yang profesional memang diperlakukan sedikit berbeda walau tetap saja, tak ada jaminan kesehatan andai mereka ditimpa cedera parah. Misalnya pendapatan per pertandingan yang nominalnya cukup lumayan, mulai dari ratusan ribu (biasanya di atas 200 ribu Rupiah) sampai jutaan Rupiah.
Tarkam di Gunungkidul
Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibanding Bantul, Sleman maupun kota Yogyakarta sendiri, perkembangan sepakbola profesional di Gunungkidul amat tertinggal. Nama Persig Gunungkidul tentu kalah beken dibanding Persiba, PSIM atau PSS.
Alhasil, ketertinggalan itu membuat masyarakat Gunungkidul ‘menghibur diri’ dengan kompetisi tarkam. Menurut hemat saya, periode awal 2010-an hingga 2015 menjadi masa tumbuh suburnya atmosfer kejuaraan tarkam di Gunungkidul.
Atmosfer sepakbola di Gunungkidul pada masa itu cukup mendukung bagi anak-anak muda yang memiliki gairah lebih pada olahraga ini. Hampir semua anak Sekolah Dasar (SD) seangkatan saya di kota Wonosari yang suka sepakbola pasti pernah mencicipi rasanya dilatih oleh Pak Warto, Mas Kastoyo, dan Pak Buchari. Trio tersebut adalah pelatih Sekolah Sepak Bola (SSB) Handayani yang hype di kalangan bocah-bocah cilik kala itu.
Fenomena pada level junior berbanding lurus dengan banyaknya tarkam di level senior. Tarkam digulirkan lewat Liga PSSI Cabang Gunungkidul dari divisi satu hingga tiga dan berjalan rutin setiap tahunnya. Ada juga turnamen tarkam paling bergengsi seantero Gunungkidul bernama Piala Prasojo.
Keunikan atmosfer sepakbola di Gunungkidul terletak pada sinergi apik yang dibangun dari seluruh komponen. Panitia kompetisi tarkam, polisi, pengusaha, pelatih, pemain, suporter, hingga ofisial saling bekerjasama satu sama lain untuk membentuk iklim tarkam yang sehat dan solid.
Buah dari sinergi yang baik dari seluruh komponen sepakbola membuat hampir setiap kecamatan bahkan desa di wilayah Gunungkidul memiliki tim masing-masing. Tim-tim ini menjelma menjadi rival berat. Nahasnya itu tak hanya terjadi di dalam lapangan tetapi hingga luar lapangan.
Maklum saja, setiap tim dari masing-masing desa pasti didukung penuh oleh warga desa setempat. Fanatisme sempit tersebut memunculkan solidaritas kelompok di antara mereka. Sementara tim dari desa lain dianggap sebagai kelompok asing.
Perasaan in-group (bagian dari kami) dan out-group (bukan bagian dari kami) menimbukan percikan-percikan permusuhan antartim yang merembet pada timbulnya sentimen negatif. Rivalitas inilah yang membuat para pengusaha dan sebagian masyarakat merogoh kocek cukup besar untuk mendanai sebuah tim dari desanya.
Gengsi antardesa jadi pertaruhan utama dalam ajang tarkam. Sebagian dari pencinta sepakbola Gunungkidul pasti akrab dengan rivalitas kental antara Puma Baleharjo dan Jonggrang Mulusan yang selalu menjadi pertandingan paling ganas dalam perhelatan tarkam di Gunungkidul.
Pertandingan yang mempertemukan kedua tim ibarat laga El Clasico di ajang tarkam Gunungkidul. Aparat keamanan wajib diterjunkan, mulai dari puluhan hingga ratusan orang. Bentrokan antarsuporter hampir pasti terjadi kala pertandingan ini berlangsung.
Rivalitas kedua desa sering terbawa hingga kehidupan sosial masyarakat yang saling menyebar sentimen negatif satu sama lain. Rasan-rasan menjadi alat untuk menyebarkan sentimen negatif warga Baleharjo kepada warga Mulusan, begitupun sebaliknya. Konon, pada masa itu pernikahan antara orang Baleharjo dengan orang Mulusan sangat jarang terjadi. Kalaupun ada hampir pasti menjadi rasan-rasan di kalangan masyarakat.
Puma Baleharjo memang menjadi salah satu klub raksasa tarkam Gunungkidul yang memiliki basis suporter loyal dan besar. Begitu besarnya Puma Baleharjo bikin potensi kerusuhan merebak setiap kali mereka kalah bertanding.
Pada tarkam edisi terakhir yang coba dihidupkan kembali awal 2018, Puma Baleharjo bentrok dengan Manunggal Selang dan memaksa turnamen tidak dilanjutkan. Beberapa hari setelahnya, saya coba meminjam lapangan Selang via telepon. Dari situ, terdengar pesan menyeramkan dari bapak pengelola lapangan Selang yang berbunyi, “Mas, oleh nyilih lapangan Selang anggere sampeyan udu wong Baleharjo dan sing main raono wong Baleharjo. Ngasi ono yo ati-ati wae digeruduk warga”.
(Mas, silakan meminjam lapangan Selang selama Anda bukan orang Baleharjo dan yang bermain tidak satu pun yang berasal dari Baleharjo. Jika ada, ya, hati-hati saja digeruduk warga).
Pelajaran dari kasus saya meminjam lapangan Selang mencerminkan bahwa tarkam Gunungkidul tidak hanya menyajikan sebuah pertandingan sepakbola. Ada rivalitas panas, gengsi, loyalitas, dan kebanggaan seperti tim profesional di kancah nasional maupun internasional.
Suporter berduyun-duyun datang ke lapangan kampung setiap sore demi mendukung tim dari desanya masing-masing. Mereka pun hadir dengan atribut lengkap sampai drum yang siap ditabuh sepanjang laga demi memberi semangat.
Saya sendiri percaya, tarkam adalah perwujudan dari kecintaan kita, mayoritas orang Indonesia, terhadap sepakbola. Maka tak perlu kaget bila tarkam akan terus ada di tanah air kendati akhir-akhir ini, lapangan sepakbola yang digunakan untuk menghelat tarkam mulai berganti rupa menjadi beraneka gedung.