Usai ban depan motor Yamaha YZR-M1 milik Valentino Rossi menjamah garis finis sirkuit Ricardo Tormo, Minggu malam waktu Indonesia (14/11), pada saat itu pula perjalanan panjang The Doctor di kancah MotoGP berakhir.
Hingga lomba terakhirnya, Rossi sukses merengkuh tujuh kali juara dunia di kelas utama alias hanya kalah dari pembalap legendaris Italia, Giacomo Agostini (delapan gelar dunia).
Abang dari Luca Marini tersebut juga menorehkan catatan 89 kemenangan dari 372 kesempatan melakoni start. Sebuah performa yang belum mampu diduplikasi pembalap mana pun.
Dikenal luas sebagai legenda hidup MotoGP, prestasi Rossi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejatinya jauh dari kata menggembirakan.
Musim ini saja, paling mentok pria kelahiran Urbino itu sekadar mengisi posisi kedelapan di GP Austria yang berjalan chaos akibat hujan yang turun jelang putaran akhir.
Selebihnya, ia karib dengan posisi finis di luar 10 besar. Tak heran kalau perolehan poinnya di akhir musim cuma 44 angka dan membuatnya nangkring di peringkat 18 klasemen akhir pembalap.
Pembalap yang identik dengan helm bercorak matahari dan bulan ini bahkan terakhir kali merasakan kemenangan pada tahun 2017 silam di sirkuit Assen.
Padahal di era 2000-an, semua rival Rossi dipaksa bertekuk lutut menghadapi kelihaiannya mengendarai kuda besi MotoGP.
Meski begitu, daya tarik Rossi masih sangat besar di mata penggemar MotoGP atau bahkan penikmat olahraga secara umum.
Pada setiap trek yang dilombakan, minimal terdapat satu sektor tribun yang dipenuhi penggemarnya dengan atribut bendera 46 berwarna kuning nan tersohor itu.
Pengaruh Rossi bagi dunia balap motor secara umum memang amat masif. Sebagai contoh, seorang Diego Maradona saja tak cukup untuk mendefinisikan sepakbola.
Begitu pula dengan Formula 1. Jika kita menyematkan nama Michael Schumacher sebagai definisi tunggal F1, penggemar Ayrton Senna bakal cepat mendebatnya.
Seperti Michael Jordan di lapangan basket dan Tiger Woods di padang golf, nama Rossi bagai melebur dengan MotoGP.
“Mau nonton Rossi” atau “Nggak ada Rossi, matiin TV aja, nggak seru”, menjadi kalimat yang umum terdengar setiap kali berlangsung seri MotoGP.
The Doctor adalah ujung tombak modernisasi MotoGP yang melakukan rebranding kompetisi pada tahun 2002 lalu dan berbarengan dengan pesatnya kemajuan teknologi penyiaran.
Sebelumnya, MotoGP lebih dikenal dengan GP Motor atau GP 500 (mengacu pada kapasitas motor di kelas tertinggi).
Dalam konteks tersebut, publikasi menjadi hal yang amat esensial bagi MotoGP untuk menyukseskan langkah modernisasi yang ditempuh.
Bagai disatukan oleh takdir, kemunculan Rossi yang memenangkan gelar dunia kelas primer pertamanya di tahun terakhir penggunaan nama GP 500 adalah fenomena luar biasa pada masanya.
MotoGP menyongsong era baru dengan memanfaatkan gendongan popularitas seorang Rossi.
Dikutip dari Cycle World, eks bos Honda dan Ducati, Livio Suppo, mengutarakan jika kontribusi Rossi bagi kepopuleran MotoGP di tengah-tengah pesatnya publikasi sangatlah krusial.
“Di Italia saja, ada enam juta orang menonton MotoGP lewat televisi, padahal belum tentu semuanya mengerti luar dalam soal MotoGP. Ia bahkan dikenal oleh ibu saya, dan saya yakin hal ini juga terjadi di seluruh penjuru dunia. Ini menjadi poin plus untuk mempromosikan MotoGP,” ujar Suppo.
Bos promotor MotoGP, Dorna, Carmelo Ezpeleta juga mengungkapkan pernyataan bernada serupa.
“Dia (Rossi) bukan sebatas ikon Italia, tapi juga ikon dunia. Ia benar-benar meningkatkan popularitas MotoGP,” aku Ezpeleta.
Sejak menjalani balap di kelas 125cc, Rossi memang sudah terampil menggaet hati publik.
Sikapnya yang humble, selebrasi kemenangan yang ikonik, gaya rambut eksentrik, serta yang paling penting, aksi yang ia suguhkan di aspal adalah sebab-sebab yang bikin ia begitu diidolakan.
Ia mungkin tidak punya keterampilan teknis sehebat Eddie Lawson, Kevin Schwantz, Casey Stoner atau bahkan Marquez. Namun hingga saat ini belum ada pembalap yang sosoknya mampu menyatu secara integral dengan image MotoGP.
Sosok Agostini yang sukses memenangi delapan gelar juara dunia kelas primer era 500cc pun tidak punya supremasi yang selevel dengan penggemar kesebelasan Internazionale Milano itu.
Rossi di puncak keemasannya tak hanya berhasil mendominasi MotoGP, tapi juga menggandeng jutaan audiens di seluruh penjuru dunia untuk menjadi pemirsa MotoGP.
Dari orang-orang tersebut, sangat mungkin saya dan para pembaca sekalian adalah salah satunya.
Bagi para penonton kasual MotoGP yang hanya menonton sesi balapan inti di pengujung Minggu, mustahil mereka tidak mengenal namanya.
Ikon-ikon yang berafiliasi dengan Rossi juga bisa disaksikan bertebaran di bengkel-bengkel motor custom.
Dari tiga motor yang terparkir, setidaknya terdapat satu di antaranya ditempeli stiker nomor 46 (nomor motor Rossi), tanpa menghitung berapa banyak lembar kaos berlogo 46 dan replika helm AGV yang bertebaran di luar sana.
Sebelum benar-benar ditinggal Rossi musim depan, MotoGP sebenarnya pernah nyaris ditinggal ikon andalannya pada 2009 lalu.
The Doctor nyaris terbujuk rayuan Scuderia Ferrari untuk berlaga di ajang F1. Hanya saja, Rossi menolak dan pilih melanjutkan karier di ajang balap roda dua.
Saat itu, MotoGP sedang dilanda krisis hebat akibat krisis ekonomi global pada 2008. Keberadaan Rossi sebagai ikon tunggal menjadi aspek penting keberlanjutan ajang balap motor nomor satu di dunia tersebut.
Padahal jika mau memenuhi ambisi pribadi, Rossi bisa saja hijrah ke F1 yang dikenal punya perputaran uang lebih banyak sekaligus menarik penggemar baru di kompetisi balap mobil.
Tak hanya itu, Rossi juga punya andil banyak dalam meningkatkan taraf keselamatan MotoGP hingga sebagus saat ini.
Diceritakan oleh Ezpeleta, dari pembalap yang tergabung di komite keselamatan pasca-tragedi yang merenggut nyawa Daijiro Kato di GP Jepang tahun 2003 yang diselenggarakan di sirkuit Suzuka, Rossi menjadi sosok paling vokal dalam memberikan masukan terkait kondisi trek pada Dorna.
Rossi menjadi panutan bagi pembalap-pembalap yang populer dewasa ini seperti Marquez, Fabio Quartararo, dan Joan Mir.
Mereka, terutama Marquez dan Quartararo, mempunyai kesadaran jika bakat saja tak cukup untuk jadi figur nomor satu di MotoGP.
Kuatnya personal branding yang dilakukan Rossi di dalam maupun di luar trek adalah sesuatu yang berhasil mereka tiru.
Alhasil, mereka kini tahu benar cara membuat MotoGP tetap populer walaupun sorotan kamera sudah tak menghampiri Rossi sesering dahulu karena jarangnya The Doctor bersaing di barisan depan.
Dengan kata lain, Rossi memastikan MotoGP tetap hidup walau presensinya di trek tak sekrusial dahulu.
Saat MotoGP memasuki era baru tanpa Rossi pada musim 2022 kelak, ditengarai penggemarnya masih akan memenuhi tribun sikuit dengan atribut warna kuning khas dari sang idola.
Hanya saja, mereka berpotensi terpecah menjadi beberapa kubu yang masing-masing mendukung Francesco Bagnaia, Franco Morbidelli, Marini, atau Marco Bezzecchi.
Ya, nama-nama di atas adalah hasil didikan Rossi sendiri lewat akademi balapnya, VR46 Academy.
Sosok-sosok muda tersebut adalah warisan terbesar Rossi untuk MotoGP. Kekasih Francesca Sofia Novello tersebut memastikan masa depan ajang balap yang satu ini ada di tangan-tangan terampil.
Dalam mendidik Bagnaia dan kolega, bisa dibilang Rossi benar-benar melakukannya secara independen dengan kedua tangannya sendiri.
Dampaknya bukan main sebab hegemoni Italia di MotoGP siap dilanjutkan oleh para muridnya.
Padahal beberapa tahun lalu, talenta muda Italia sempat meredup digempur oleh bakat-bakat dari Spanyol yang mendapat banyak privilese dari melimpahnya sponsor dan akses.
Rossi benar-benar melampaui zamannya. Ia telah mengadopsi kebiasaan ala politisi dan selebriti ke dalam dunia olahraga jauh sebelum banyak atlet menerapkannya. Ia sangat berjasa membawa MotoGP ke panggung global.
Tak sedikit atlet yang mempunyai bakat eksepsional, bahkan di ajang MotoGP sendiri. Namun tidak semua dari mereka punya pengaruh seperti The Doctor.
Biar bagaimanapun juga, utang MotoGP dan Dorna kepada Rossi tak akan pernah lunas terbayar.
#GrazieVale