Di Balik Kembali Bersinarnya Hatem Ben Arfa

Sebagai manusia biasa, seorang pesepak bola tentu juga merasakan pasang surut kehidupan. Seperti halnya pepatah yang mengatakan bahwa hidup seperti roda, terkadang di atas, terkadang di bawah.

Hal ini juga terjadi dalam kehidupan sepak bola Hatem Ben Arfa. Terkenal karena gaya bermainnya yang skillfull, gelandang kelahiran Prancis ini mengalami pasang surut dalam karir sepak bolanya.

Sempat meroket bersama Marseille dan Newcastle United, kariernya lantas menukik tajam. Setelah episode tersebut, ia mencoba peruntungan di Hull City bersama Steve Bruce sebagai manajer. Namun, percobaannya tak terlalu berdampak signifikan.

Penampilannya semakin merosot. Bahkan ia sempat berstatus free agent alias tak memiliki klub. Beruntung OGC Nice, klub asal tempat kelahirannya, mau berjudi untuk merekrut dirinya awal musim ini.

Dan seperti mencoba menjawab keraguan, ia perlahan tapi pasti kembali menunjukan jati dirinya. Dari 16 kali bermain di Ligue 1, ia sukses melesakkan tujuh gol dan dua asis bagi rekan-rekannya.

Selain itu, klubnya Nice, dibawanya bertengger di peringkat tujuh klasemen sementara. Sebuah pencapaian yang cukup mengejutkan jika melihat penampilannya beberapa musim terakhir.

Lantas apa rahasianya sehingga Ben Arfa sukses mengembalikan penampilan terbaiknya?

Tak sedikit yang memberikan cap terhadap sikap dan sifat Ben Arfa menyerupai Eric Cantona. Seperti Cantona, Ben Arfa adalah pemain yang memiliki ego besar. Namun, di balik semua itu, ia juga diberkahi teknik olah bola mumpuni. Sifat-sifat tersebut, mengingatkan kita terhadap King Cantona semasa bermain.

Ketika bermain dulu, Cantona memang terkenal dengan pemain yang mudah tersulut emosi. Dia adalah tipe pemain yang tak mau dibatasi untuk berekspresi ketika berada di lapangan. Sampai suatu ketika, ia menendang salah seorang suporter rival dalam sebuah pertandingan karena tersulut emosi. Kejadian yang membuatnya dihukum larangan tampil selama delapan bulan.

BACA JUGA:  Johan Arga, Mantan Kapten PSIM yang Tidak Sengaja Berkarier di Timor Leste

Namun, cerita tentangnya tak hanya tentang keburukan. King Cantona juga kerapkali menunjukan aksi-aksi yang gemilang. Bahkan, ia juga memakai nomor 7 Manchester United yang terkenal keramat. Masih kurang? Ia juga menjadi kapten. Tentu Sir Alex Ferguson tidak sembarangan menunjuk seorang pemain untuk memakai nomor tersebut sekaligus kapten.

Sir Alex selalu percaya terhadap skillnya dan memberikan kebebasan King Cantona untuk melakukan sesukanya. Karena ia tahu, skill sang pemain sanggup mengubah pertandingan dan memberikan kesuksesan bagi Red Devils. Hasilnya, selama bermain bersama MU, Cantona sukses memberikan empat trofi Premier League dan dua piala Liga.

Apa yang dilakukan oleh Sir Alex terhadap Cantona inilah yang sekarang diterapkan Claude Puel, pelatih OGC Nice, terhadap Ben Arfa. Kebebasan dan kepercayaan.

Bebas dalam menunjukan kemampuannya, meskipun itu terkesan egois, menjadi sah bagi Ben Arfa. Apa yang ingin dilakukan oleh sang pemain ketika bermain, adalah hal yang sah di mata Puel. Pun begitu jika ia ingin menggiring bola sendirian tanpa mengumpan kepada pemain lain, sah sah saja.

Hal ini sempat ia tunjukan ketika mencetak gol dengan melewati beberapa pemain sebelum mencetak gol beberapa waktu lalu. Padahal dalam prosesnya, pemain-pemain lain sudah membuka ruang dan siap menerima atau mengeksekusi. Namun, Ben Arfa tak menghiraukannya dan mencetak gol sendirian.

Ben Arfa dipercaya dapat membawa prestasi bagi Nice dengan skill olah bolanya. Ia tak lagi hanya duduk di bangku cadangan atau masuk sebagai pemain pengganti. Kebebasan dalam berbagai cara bermain yang ditampilkannya juga merupakan bukti betapa Puel mempercayainya.

Meskipun kebebasan dan kepercayaan tersebut bisa saja memecah keharmonisan ruang ganti, nyatanya Nice sangat mengandalkan kehadiran Ben Arfa. Sejauh ini, Ben Arfa sudah bermain dalam 16 laga atau 1342 menit dari 17 laga di Ligue 1.

BACA JUGA:  Kultur Pop, Fesyen dan Sepakbola ala Paris Saint-Germain

Dengan kebebasan yang diberikan terhadap Ben Arfa, Nice memang mengharapkan keegoisan dan skill sang pemain dapat diakomodir. Dan secara otomatis, hal ini juga menjadikan Ben arfa sebagai pusat permainan.

Puel tinggal berharap terhadap teknik, sifat egois dan kebebasan yang ada pada Ben Arfa bisa memberikan prestasi bagi Nice. Yang artinya, antara Ben Arfa dan Nice, memiliki ikatan simbiosis mutualisme.

Memang untuk masalah trofi, Ben Arfa belum bisa disejajarkan dengan King Cantona. Namun sejauh musim ini bergulir, menempatkan Nice di peringkat tujuh klasemen sementara Ligue 1 adalah catatan tersendiri. Selain itu, ia juga menjadi top skor klub. Tentu hal tersebut menjadi kemajuan pesat jika menilik kiprah sang pemain dalam beberapa musim terakhir.

Bisa dikatakan, kebebasan yang diberikan Puel, dijawab dengan penampilan bagus dari Ben Arfa. Selain itu, peringkat tujuh di klasemen sementara Ligue 1 adalah hadiah lain dari Ben Arfa atas keberanian Puel merekrutnya.

 

Komentar
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS dan sempat magang di Harian Bola.