Dari Leo Untuk Leo

Rabu (2/3), Panditfootball merilis satu fitur asyik perihal kesuksesan Leonardo Di Caprio meraih Piala Oscar perdananya setelah berkecimpung di dunia perfilman selama kurang lebih 25 tahun. Pandit menjelaskan dengan runtut sebuah komparasi antara kesuksesan dan kerja keras Di Caprio selama puluhan tahun yang mengantarkannya sampai di titik ini, dengan perjalanan karier dua mega bintang sepak bola saat ini, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Tentang pidato kemenangan Di Caprio di atas podium. Tentang bagaimana semua karier yang dicapai Di Caprio selama ini adalah buah kerja keras dan banyak hal bernuansa perjuangan lainnya. Semua itu dibalut dengan rapi dalam cerita tentang gambaran dan kilas balik karier Ronaldo dan Messi yang memang dinarasikan penuh dengan perjuangan dan kesulitan pada awalnya.

Tapi, mari coba menarasikan kemenangan aktor Amerika Serikat berdarah Italia ini dengan satu hal yang sedikit berbeda dari paragraf di atas. Saya menemukan ada garis nasib yang menarik antara bagaimana capaian Di Caprio dengan Lionel Messi di sepak bola. Dan garis nasib itu (mungkin) akan diikuti oleh Messi.

Bukan kebetulan apabila kedua manusia tersebut memiliki nama panggilan yang sama, yakni, Leo. Lalu, kenapa Cristiano Ronaldo tidak dilibatkan dalam komparasi ini?

Sebenarnya, ini masalah substansial saja, tidak perlu kebakaran jenggot atau bagaimana. Karena kebetulan juga, nama panggilan Di Caprio dan Messi memiliki kemiripan yang sama, maka dari itu, cerita ini akan bernuansa relasi Leo dengan Leo, bukan Leo dengan Cristiano.

***

Foto milik Bao Tailiang ini menjadi Foto Terbaik tahun 2014 versi World Press Photo untuk kategori olahraga. Ketika melihat foto ini, satu hal yang harusnya ada di benak kita, mungkin perasaan iba dan simpati untuk pria Argentina yang kehebatannya bahkan konon didengungkan sampai ke luar galaksi Bimasakti sana.

Kebetulan, Messi menatap nanar trofi Piala Dunia tersebut sesaat setelah laga usai untuk kemenangan Jerman dan kemudian ia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ketika barisan pemain timnas Jerman dan seluruh ofisialnya merayakan kemenangan akbar di final Piala Dunia 2014 lalu.

Kurang lebih, ini sejenis perasaan yang biasanya kerap saya rasakan tiap kali diminta kesediaannya untuk datang menghadiri acara wisuda beberapa teman seangkatan di kampus.

***

Kalau Oscar atau Academy Awards dianggap titik tertinggi capaian karier dalam dunia sineas, maka sah sudah kalau siapa pun yang memenangi Oscar pastilah mencapai milestone tertinggi dalam hidupnya. Tak terkecuali, bagi Leonardo Di Caprio.

Karier panjangnya di dunia Hollywood melambungkan namanya menjadi salah satu aktor terbesar, kalau bukan yang paling besar, di jagat perfilman dunia. Ingat, dunia. Ia besar tidak hanya di Amerika Serikat saja. Ia menjadi pujaan hampir di seluruh penjuru dunia.

BACA JUGA:  Jalan Sunyi Mario Balotelli

Mulai dari gebrakan kariernya di karya fenomenal James Cameron, Titanic (1997), pemeran Jack Dawson ini sudah membius jutaan pasang mata untuk jatuh hati dengan kualitas aktingnya bahkan ketampanan wajahnya yang memang kelewat brengsek tampannya itu.

Bahkan, sederhananya, peran Jack Dawson adalah arketipe mutlak bagi Di Caprio. Sama seperti peran Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta bagi Nicholas Saputra. Begini saja, bisa Anda bayangkan Jack Dawson diperankan semisal oleh George Clooney atau Brad Pitt sekalipun? Pasti, rasanya sedikit hambar. Peran itu sudah melekat kuat.

Berturut-turut pada tiap tahunnya, ia juga membintangi beberapa film—yang menurut selera film saya—cukup bagus alur ceritanya. Pada tahun 2010, ia memainkan film sains fiksi berjudul Inception dengan salah satu aktris favorit saya, Ellen Page dan Joseph Gordon-Levitt.

Beranjak beberapa tahun setelahnya, pada 2013, ia menggebrak—sekali lagi menurut pandangan subyektif saya—melalui film dahsyat Wolf of The Wall Street di mana ia dengan sempurna memerankan seorang broker dan pialang saham hebat nan brengsek bernama Jordan Belfort.

Dan di tahun 2015 lalu, sekali lagi, Di Caprio tampil superior dengan penampilannya sebagai Hugh Glass di film The Revenant yang surealis itu. Dan penampilan supernya di The Revenant itu pula yang mengantarnya meraih Oscar perdana dalam karier puluhan tahunnya yang gemilang. Sebenarnya, andaikata kemarin (29/2) ia tak menang pun, orang akan tetap percaya Di Caprio adalah seorang aktor cum enviromentalis yang hebat.

Ia dinominasikan enam kali dalam Oscar dan selalu gagal sebelum capaiannya kemarin sukses memecah kutukan dan menahbiskannya sebagai aktor besar yang memang benar-benar hebat.

Akui sajalah, Oscar memang penghargaan paling tinggi yang bisa dijustifikasikan sebagai apresiasi bagi para sineas dunia. Dan akhirnya, Di Caprio meraih itu semua setelah selama ini. Setelah beberapa kali masuk nominasi. Setelah puluhan judul film ia mainkan. Sebuah penantian panjang untuk penghargaan tertinggi.

***

Sederhananya adalah, Lionel Messi memiliki karier yang serupa dengan Di Caprio. Siapa sanggup mendustai kejeniusan dan kehebatan Lionel Messi selain suporter Real Madrid dan Cristiano Ronaldo? Messi bukan lagi hebat, ia jauh lebih hebat dari semua kata-kata hebat yang bisa dituliskan manusia. Tapi Messi selalu dikritik dan dicemooh perihal kegagalannya berprestasi bersama timnas Argentina.

Sebagai kapten timnas, beban untuk berprestasi tentu ada. Sialnya, timnas Argentina bukanlah mesin kemenangan yang menakutkan. Tidak ada trio yang melengkapi kegemilangan Messi. Tidak ada dirigen lapangan tengah sehebat dan sejenius Andres Iniesta atau Sergio Busquets.

Tapi Argentina tentu bukan timnas yang buruk. Ada nama Angel Di Maria di sana. Kalaupun Messi ingin menduplikasi trio cetarnya di Catalan, ia memiliki Sergio Aguero, Gonzalo Higuain hingga Carlos Tevez. Masukkan pula bintang muda baru Juventus, Paulo Dybala.

BACA JUGA:  Bojan Krkic yang Terbenam Ekspektasi

Ada semua bumbu sedap yang dibutuhkan Messi untuk berprestasi di pentas dunia bersama Argentina. Bahkan, tembok karang yang mengawalnya di Barcelona pun, Javier Mascherano, juga masih bercokol di Albiceleste.

Setelah debutnya di timnas pada tahun 2005, Messi akhirnya mencapai final Piala Dunia pertamanya di Brasil 2014 lalu. Perjalanan sembilan tahun. Sebuah partai akbar yang andaikata ia menangi, lengkap sudah statusnya sebagai pemain terbaik dunia di atas Cristiano Ronaldo. Tapi sayangnya, ras Arya memang keras kepala dan susah ditundukkan, jadi narasi akhirnya adalah pulangnya Messi dengan tatapan nanar dan suasana hati yang porak poranda.

Kalau penghargaan tertinggi bagi pesepak bola dunia adalah Ballon d’Or, agaknya kita semua bisa sangsi akan hal itu. Bukankah konon, itu hanya akal bulus FIFA saja untuk mendongkrak keuntungan komersil dari gelaran ajang pemilihan pemain terbaik dunia itu?

Bahkan, La Pulga rela menukar semua Ballon d’Or yang ia menangi demi satu buah trofi Piala Dunia. Lagipula, kalau memang status terbaik dunia didapat hanya dengan sebuah Ballon d’Or, kenapa pria Rosario itu harus memandangi trofi karya Silvio Gazzaniga dengan mata yang nanar?

Setelah puluhan tahun berkarier, dengan gelimang prestasi yang tidak bisa dibantah, sudah selayaknya Messi mendapat kesempatan untuk meraih trofi Piala Dunia pertamanya. Bayangkan, seorang Per Mertesacker pun berstatus juara dunia.

Sayangnya, Piala Dunia tidak diselenggarakan tiap tahunnya seperti Oscar. Dan ketika 2018 nanti Piala Dunia yang dingin di Rusia akan menyambut, Messi akan berada di salah satu titik senjakala dalam kariernya. Ia akan berusia 31 tahun.

Cukup tua, namun bukan berarti ia akan menurun. Tidak ada jaminan pasti. Messi adalah Messi. Ia bisa cedera selama berbulan-bulan dan ketika kembali, ia tetap memainkan sihirnya dengan lihai.

Seharusnya, Piala Dunia 2018 nanti bisa menjadi milik Lionel Messi dan Argentina. Leonardo Di Caprio harus jatuh bangun melawan seekor beruang dalam filmnya tahun lalu untuk sebuah gelar Oscar pertama di kariernya.

Apa yang harus dilakukan Messi? Bukankah dibanting dan disiksa sudah kerap dirasakan Messi tiap berlaga di La Liga atau kompetisi lain yang dia jalani bersama Barcelona maupun Argentina?

Sejatinya, Messi hanya perlu satu hal. Sebuah usaha yang jauh lebih keras lagi dari semua usaha keras yang bisa ia bayangkan akan ia lakukan di timnas. Kalaupun semua itu gagal, setidaknya Lionel Messi tak perlu kecewa berlarut. Karena tuhan tidak perlu dibela.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.