Menunggu Kemunculan Laurent Blanc Baru di Ligue 1

Piala Dunia 1998 mungkin menjadi Piala Dunia yang paling menggembirakan bagi publik Prancis hingga saat ini. Tentu bukan hanya karena negara asal aktris Marion Cotillard tersebut menjadi tuan rumah pada saat itu, melainkan keberhasilan tim nasional mereka merengkuh tofi Piala Dunia untuk pertama kalinya setelah mampu  menaklukkan juara bertahan Brasil di partai puncak dengan skor tiga gol tanpa balas.

Penulis sendiri juga ikut bergembira karena Piala Dunia 1998 merupakan Piala Dunia pertama yang penulis ikuti dan saksikan, tentunya dari layar kaca. Pastinya ada beberapa kenangan yang membekas di ingatan penulis dari ajang empat tahunan tersebut.

Mulai dari gol kemenangan Sunday Oliseh saat bersua Spanyol di fase grup, kartu merah yang didapatkan David Beckham ketika bertarung melawan Argentina di babak 16 besar hingga kecupan yang dilayangkan Laurent Blanc ke kepala botak Fabian Barthez sebelum memulai laga.

Ritual yang dilakoni oleh Blanc dan Barthez menjadi salah satu bagian yang tak terlupakan dari perjalanan Les Bleus menuju tangga juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa dua tahun sesudahnya.

Sosok Blanc barangkali akan semakin mudah untuk diingat lewat ritual lucunya bersama Barthez. Namun bagi publik sepakbola Prancis, Blanc tidak hanya akan diingat sebagai pesepakbola yang memiliki ritual unik nan aneh di lapangan.

Blanc dan Ligue 1

Ligue 1 boleh saja kalah populer dari liga top eropa lain semisal Serie A, Premier League, La Liga maupun Bundesliga. Tidak banyak juga pesepakbola kelas dunia yang hadir di liga ini, namun sebaliknya liga inilah yang kemudian melahirkan banyak pesepakbola top yang nantinya akan bermain bagi kesebelasan besar di dunia.

Selain mampu mencetak pemain-pemain hebat dari masa ke masa, kompetisi teratas sepakbola Prancis ini kerap pula menampilkan juara yang berbeda tiap tahunnya. Meskipun ada kalanya  kesebelasan yang sanggup mempertahankan tahtanya selama dua, tiga, empat atau bahkan sampai tujuh musim lamanya.

Olympique Marseille adalah salah satu  kesebelasan (bersama Saint-Etienne) yang mampu mempertahankan gelar liga dalam dua periode yang berbeda. Periode pertama terjadi pada tahun 1971-1972. Sedangkan periode kedua berlangsung lebih lama, yakni dari tahun 1989-1992.

Sebenarnya Marseille bisa saja memperpanjang dominasi mereka sedikit lebih panjang lagi andai saja gelar juara liga mereka tidak dicopot pada musim 1992/1993 setelah terbongkarnya aksi suap yang dilakukan oleh presiden mereka saat itu, Bernard Tapie, kepada beberapa pemain Valenciennes.

Bukan hanya kehilangan gelar, mereka juga diturunkan ke divisi dua dan kehilangan jatah tampil di Liga Champions pada musim berikutnya meskipun sejatinya mereka sukses menjuarai Liga Champions 1993 setelah mengalahkan AC Milan di final.

Berakhirnya dominasi Marseille di liga membuat Ligue 1 kembali menampilkan juara yang berbeda tiap tahunnya. Seperti halnya Liga Champions yang pada edisi perdananya (1992/1993 dijuarai oleh Marseille) hingga sekarang selalu sukses menampilkan juara yang berbeda pada tiap musimnya, Ligue 1 ikut serta menampilkan pola serupa setidaknya sampai musim 2001/2002.

BACA JUGA:  Usia yang Sebatas Angka bagi Buffon

Pada musim 2002/2003, Olympique Lyon berhasil mempertahankan gelar juara Ligue 1 yang telah mereka menangi musim sebelumnya. Klub berjuluk Les Gones ini sanggup meneruskan dominasinya di liga hingga musim 2007/2008.

Meskipun dalam rentang waktu tujuh tahun tersebut mereka sempat ditangani oleh empat pelatih yang berbeda yaitu Jacques Santini, Paul Le Guen, Gerard Houllier hingga Alain Perrin, tetap tidak mampu untuk menggerus hegemoni mereka di liga.

Barulah pada musim berikutnya, 2008/2009, kedigdayaan mereka akhirnya mampu diruntuhkan. Oleh siapa? Ya, betul. Oleh pria yang dulu penulis ingat lewat ritualnya bersama Barthez di Piala Dunia 1998. Orang itu adalah Laurent Blanc.

Blanc datang menggantikan pelatih asal Brasil, Ricardo Gomes, pada tahun 2007 untuk menangani Girondins Bordeaux. Di musim perdananya, Blanc belum mampu menggeser Lyon dari puncak kekuasaan di liga.

Namun ia sudah sanggup mengantarkan Bordeaux nangkring di posisi dua liga dan meraih penghargaan Manager of the Year 2008 pada tahun pertamanya bersama Les Girondins.

Setelah tujuh tahun lamanya akhirnya Ligue 1 menemukan sosok yang mampu mematahkan dominasi Lyon. Di musim keduanya bersama Bordeaux, Blanc sukses meraih gelar liga pertamanya sebagai pelatih dan mengantarkan Bordeaux meraih gelar liga mereka yang pertama sejak terakhir kali diraih pada tahun 1999. Blanc juga sukses menggondol gelar Coupe de la Ligue di musim keduanya itu.

Sukses Blanc bersama Bordeaux tidak hanya mengangkat nama dan kariernya sebagai pelatih, tetapi lebih dari itu membuka kembali persaingan di Ligue 1 menjadi lebih menarik dan tidak membosankan seperti pada era 1990-an pasca-tersungkurnya Marseille hingga sebelum kedatangan Lyon di awal tahun 2000-an.

Setelah keberhasilan Bordeaux tadi, daftar juara Ligue 1 kembali menghadirkan tim-tim yang berbeda-beda pada tiap musimnya. Marseille, Lille, Montpellier dan Paris-Saint Germain (PSG) mendapat giliran secara bergantian untuk mencicipi nikmatnya menjadi juara liga.

Blanc sendiri kemudian menangani tim nasional Prancis setelah tiga tahun mengabdi bersama Bordeaux. Sayangnya Blanc gagal membawa Tim Ayam Jantan meraih juara Piala Eropa 2012, seperti yang mampu ia torehkan saat masih aktif bermain dulu.

Selepas menangani timnas, ia menerima pinangan sebagai pelatih PSG pada tahun 2013.

Tugas Blanc di PSG tidaklah mudah. Apalagi dengan status PSG sebagai juara bertahan liga, ia tentu diharapkan mampu mengulangi pencapaian  yang telah diraih pelatih sebelumnya, Carlo Ancelotti.

Situasi ini sangat berbeda saat ia masih menukangi Bordeaux. Bila di Bordeaux dulu ia mampu mematahkan dominasi Lyon di liga, kini sebaliknya ia harus bisa menjaga kekuasaan PSG di Ligue 1.

Namun Blanc sanggup membuktikan kepercayaan yang telah diberikan pihak klub kepada dirinya. Dengan dibantu sokongan dana dan pemain-pemain berkualitas yang melimpah yang diberikan oleh pemilik klub, Blanc bukan lagi hanya mampu meneruskan dominasi PSG di liga hingga tiga tahun ke depan, tapi dalam dua musim beruntun (2014/2015 dan 2015/2016) ia mampu menyabet semua kompetisi lokal yang tersedia, mulai dari Ligue 1, Coupe de France, Coupe de la League hingga Trophee des Champions.

BACA JUGA:  Tentang Rodri: Bakat, Pendidikan, dan Kesederhanaan

Blanc dan PSG menorehkan sejarah sebagai pelatih dan kesebelasan pertama yang mampu menyapu bersih semua gelar domestik, bukan hanya semusim namun dua musim beruntun dalam sejarah persepakbolaan Prancis.

Pencapaian ini belum dapat diikuti oleh Saint-Etienne sebagai pemegang gelar terbanyak liga (sepuluh gelar), Marseille sebagai kesebelasan Prancis pertama yang meraih gelar Liga Champions atau Lyon sebagai tim pertama dalam sejarah Ligue 1 yang berhasil menjadi juara liga selama tujuh kali berturut-turut.

Meski bergelimang gelar di kancah domestik, nyatanya Blanc belum sanggup membawa PSG berbicara banyak di kompetisi Eropa. Blanc dan PSG akhirnya sepakat untuk menyudahi kerjasama yang telah mereka lalui tiga tahun lamanya.

PSG segera menunjuk pengganti Le President. Mereka memboyong entrenador asal Spanyol, Unai Emery, dari klub La Liga, Sevilla. Emery memiliki catatan bagus bersama Sevilla dengan menjuarai kompetisi Liga Europa tiga musim berturut-turut, mulai musim 2013/2014, 2014/2015 dan 2015/2016.

Pengalamannya di level eropa inilah yang diharapkan PSG mampu ditularkan ke skuat Les Parisiens dan melebihi pencapaian Blanc yang selalu mentok di perempatfinal Liga Champions.

Kepergian Blanc serta ikon klub, Zlatan Ibrahimovic, ditambah masa adaptasi yang harus dijalani Emery ternyata cukup mempengaruhi performa PSG di awal musim 2016/2017. PSG tidak lagi sedominan musim-musim sebelumnya.

Mereka sempat tersandung menghadapi klub-klub seperti Toulouse, Montpellier ataupun Guingamp. Berkurangnya dominasi PSG mampu dimanfaatkan dengan baik oleh tim-tim lain, terutama oleh OGC Nice dan AS Monaco.

Kedua kesebelasan ini silih berganti menjadi pemuncak klasemen liga. Hingga tulisan ini dibuat, Monaco, PSG dan Nice masih bertarung sengit di posisi tiga besar liga dengan perbedaan poin yang minor di antara mereka.

Pencinta sepakbola Prancis tentu berharap pemandangan ini akan terus terjaga hingga akhir musim nanti sembari menantikan ada kejutan manis yang tercipta berupa keluarnya kesebelasan lain yang mampu memenangi liga.

Mereka yang sudah jengah melihat dominasi PSG empat tahun belakangan dan mendambakan Ligue 1 kembali menjadi liga yang menarik seperti dulu jelas tidak menginginkan PSG kembali menjadi juara dan menyamai atau bahkan melebihi pencapaian Lyon yang menguasai liga dalam tujuh musim beruntun.

Melihat liga yang kembali hidup di musim ini, bolehlah mereka berharap akan kemunculan Laurent Blanc baru di Ligue 1. Laurent Blanc yang delapan tahun lalu sempat menghidupkan gairah dan mengembalikan Ligue1 menjadi salah satu liga yang menarik di Eropa.

 

Komentar
Tidak percaya diri dengan tulisan sendiri, penganut aliran britpop yang (belum) taat, pemalas, bungkuk dan suka sekali makan pisang.