Pada 25 Maret 2015, Abdul Hakim Munabari, warga kelurahan Kasin, Malang, disergap Densus 88. Dia diduga terlibat jaringan ISIS.
Di masa kanak-kanak hingga remaja, Hakim aktif bermain sepakbola di klub Al-Badar, perkumpulan sepakbola yang didirikan warga keturunan Arab di Kota Malang, meskipun sebagaimana klub Asy-Syabab di Surabaya, anggota tim tidak melulu etnis Arab.
Terlepas dari status Hakim sebagai tersangka dalam jaringan terorisme, menarik apabila melihat keterlibatan etnis Arab –seperti Hakim– dalam sepakbola, sebagaimana rasa penasaran menelisik kaum Tionghoa, dalam persepakbolaan tanah air.
Di zaman kolonial, kaum Arab, Tionghoa, dan India menempati kasta kedua setelah kaum Eropa. Mereka ditempatkan dalam perkampungan khusus sesuai etnis, yaitu Kampung Arab, Pecinan, dan Pekojan (berasal dari kata Khauja atau Maulana alias tuan).
Kampung mereka dipisahkan dan diberi jarak agar tidak ada pembauran antara pendatang dengan kaum pribumi. Untuk pengawasan dan fungsi kontrol sosial, di setiap kampung ada pemimpinnya. Mereka diberi pangkat militer tituler oleh pemerintah kolonial, baik Kapiten maupun Liutnenan.
Di Surabaya, jejaknya masih ada dalam tatakota klasik, yaitu Kampung Arab di Kawasan Ampel dan Pecinan Kembang Jepun (Kya-Kya). Keduanya berjejeran. Sedangkan Kalimas dengan Jembatan Merahnya yang legendaris itu memisahkan kampung etnis ini dengan hunian kaum Belanda dan struktur administratif kota penyangganya.
Primordialisme dan etnisitas di lapangan hijau
Dinamika Kota Surabaya era kolonial dan mulai populernya olahraga sepakbola membuat unsur primordialisme tumpah di lapangan hijau. Kaum bule Belanda membentuk klub SVB alias Sorabaiasche Voetbal Bond (SVB), bonden (klub) ini berdiri pada tahun 1910 dan pemainnya adalah orang-orang Belanda yang ada di Surabaya.
Tak mau kalah, etnis Tionghoa yang sudah mendirikan klub olahraga Gymnastiek en Sportvereeniging Tionghoa Surabaya pada 1908, akhirnya mengembangkan cabang sepakbola tahun 1919, lalu ganti nama menjadi Naga Kuning pada 1959, lantas menjadi Suryanaga pada 1966 hingga kini.
Kisah tentang Tionghoa dan sepakbola ini ada dalam buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola karya R.N Bayu Aji, terbitan Ombak Yogyakarta, 2010. Buku ini sangat bagus mengupas sejarah eksistensi kaum Tionghoa ini dalam persepakbolaan Surabaya dan nasional.
“Zaman Bergerak” demikian Takashi Siraishi menyebut era 1920-an hingga menjelang 1940-an ini, di mana kaum pribumi mulai sadar diri dan menghimpun diri dalam perkumpulan, apa pun jenisnya. Termasuk di Surabaya saat itu.
Melihat kaum bule Belanda dan para Tionghoa memiliki wadah bal-balan, kaum pribumi tak mau kalah. Duet M. Pamoedji dan Paijo akhirnya menggerakkan pencinta sepakbola untuk mendirikan Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) pada 18 Juni 1927.
Embrio Persebaya ini kemudian berperan dalam menjalankan misi nasionalisme di atas lapangan hijau yang mulai digagas oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo bersama beberapa klub lokal di Solo, Magelang, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Lantas, jika bule Londho, Tionghoa, dan Pribumi sudah punya klub sepakbola, bagaimana dengan kalangan Arab? Meski terhitung telat, namun mereka mulai membentuk klub kecil-kecilan bernama An-Nashr yang berarti kemenangan. Klub ini dirintis di kawasan Kampung Arab Ampel di awal era 1930-an.
Bersama Naga Kuning yang berbasis kaum Tionghoa, pada tahun 1935, An-Nashr telah menyumbangkan talenta-talentanya untuk Persebaya yang kala itu masih bernama SVB. Sebut saja Umar Bawedon, Abubakar Basofi, dan Ali Basofi.
Klub yang didirikan oleh Yislam Martak, Mohammad Balahmar, Salim Barmen, dan Muhammad bin Said Martak ini kemudian bermetamorfosa menjadi klub Asy-Syabaab (Para Pemuda) tahun 1940-an, di saat olahraga bal-balan ini sama populernya dengan tari zafin. Perubahan nama ini dipelopori oleh kwartet Ali Bahalwan, Zein bin Agil, Mochtar, dan Ali Salim.
Jika klub Suryanaga sempat vakum usai peristiwa 1965, Asy-Syabaab melaju terus bagai onta balap. Yang keren, 13 Maret 1989, Assyabaab membuat klub profesional bernama Assyabaab Galatama.
Meski mempunyai klub pro, Assyabaab amatir tetap berjalan dan mengikuti kompetisi internal Persebaya (sampai sekarang dan lima kali menjadi juara). Yang fenomenal, Assyabaab mengikuti Divisi I Galatama tahun 1990 dan mengukir prestasi dengan menjadi juara.
Tak hanya itu, era awal Liga Indonesia 1991-an, klub ini secara profesional dikelola oleh Salim Grup dan berubah nama menjadi Asy-Syabaab Salim Grup Surabaya (ASGS). Jadi, siapa bilang etnis Arab bermusuhan sama Tionghoa. Merger ini adalah bukti kerukunan keduanya meski Salim Grup akhirnya lepas tangan karena krisis ekonomi 1997.
Dari Rusdi Bahalwan hingga Irfan Bachdim
Membicarakan jejak kaum Arab Hadrami (Arab yang berasal dari Yaman) dalam sepakbola Indonesia, tak lengkap tanpa membincang sosok Rusdi Bahalwan. Tampan, kharismatik dan berbakat sebagai pemimpin lapangan hijau, baik sebagai pemain maupun pelatih Persebaya.
Rusdi mengenyangkan pengalaman sebagai pemain Persebaya, 1970-1979. Di klub ini dia juga dikenang karena menangani The Dream Team Persebaya merebut juara Liga Indonesia III untuk kali pertama, 1997.
Sezaman dengan Rusdi, ada pula Arab Jakarta yang mengabdi untuk Persija. Punya spesialisasi sebagai bek kanan, Sutan Harhara, pemain keturunan Arab ini malah lebih terampil jika digeser di berbagai posisi. Kadang bek kanan, libero ala Beckenbauer, kadang juga bek kiri.
Punya kecepatan yang mumpuni, Sutan juga biasa membantu serangan, lantas turun ke bawah lagi mengamankan area yang telah diamanahkan pelatih kepadanya. Dia adalah legenda Persija karena awet di The Jak selama hampir satu dasawarsa.
Kariernya berlanjut sebagai pelatih. Beberapa klub menggunakan jasanya, termasuk Persela Lamongan beberapa tahun lalu.
Jika Rusdi Bahalwan mengabdikan diri di Persebaya, dan Sutan Harhara menggerakkan Persija, lain pula dengan Mohammad Zein Al-Haddad.
Meski lahir dari rahim Asy-Syabaab sebagaimana Rusdi Bahalwan, tapi nama terakhir ini memilih Niac Mitra sebagai turbin penggerak kariernya di era Galatama. Bahkan bersama klub yang sekarang bernama Mitra Kukar ini, Mamak, sapaan akrab Zein Al-Haddad, menjadi pencetak gol terbanyak di musim kompetisi 1987-1988.
Pensiun sebagai pemain, Mamak menjadi pelatih. Klub yang dia tangani di awal kariernya adalah Asy-Syabaab, cinta pertamanya. Lalu dia berkeliling menangani berbagai klub.
Prestasi apiknya, dia berhasil mengerek Deltras Sidoarjo sebagai juara III Copa Dji Sam Soe, 2009, meskipun materi pemain The Lobster pas pasan dan pengelolaan dananya compang camping. Mamak juga diganjar gelar sebagai pelatih terbaik.
Kemudian kariernya berlajut di timnas dengan mendampingi Aji Santoso sebagai ajudannya dalam SEA Games 2015. Terakhir kali pelatih berambut kriwil ini menangani Persija dalam Torabika Soccer Championship 2016.
Dua nama di atas adalah bagian dari beberapa nama beken keturunan Arab di pentas sepakbola Indonesia sebelum era Salim Alaydrus (eks Persib Bandung), Muhammad Rifky Alhabsy (Persiba dan Sriwijaya FC), Mahdi Fahri Albaar (eks U-19), hingga Irfan Bachdim.
Nama terakhir bahkan teraliri darah pesepakbola karena Noval Bachdim, ayahnya, merupakan mantan pesepakbola dari klub PS Fajar Lawang (anggota kompetisi internal Persekam Malang) pada era 1980-an. Kakek Irfan, Ali Bachdim, juga veteran pemain Persema Malang dan PSAD Jakarta.
Memperkaya potensi Indonesia
Jumlah kaum keturunan Arab di Indonesia sangat banyak. Sejak gelombang migrasi dari Yaman yang memuncak di abad 17 hingga 18, mereka turut andil dalam memperkaya “citarasa Indonesia” sebagaimana peranan kaum keturunan Tionghoa dalam ber-Indonesia. Mereka sudah bertanah air, berbahasa, dan berbangsa Indonesia.
Hingga kini GOLKAR alias Golongan Keturunan Arab (hehehe) banyak berperan di berbagai bidang: agamawan, presenter, penyanyi pop-rock-dangdut, pengusaha, pesinetron, atlet dan sebagainya.
Sayang, setelah era keemasan Rusdi Bahalwan, Sutan Harhara, dan Mohammad Zein Alhaddad, nyaris tak kita jumpai kalangan Arab Hadrami, baik kaum Saadat Alawiyyin, Masyayikh maupun Qabail, yang tertarik menjadi legenda sepakbola seperti para pendahulunya.
WAllahuA’lambisshawab