Hari ini, 15 Oktober 2020, adalah tepat tiga tahun pencinta sepakbola Lamongan berduka. Pada hari inilah, putra daerah yang paling dicintai, bahkan oleh penggemar sepakbola Indonesia, Choirul Huda, menghembuskan napas terakhir usai menjalankan kewajibannya. Ia pergi untuk selamanya gara-gara hipoksia setelah bertabrakan dengan Ramon Rodrigues saat Persela bersua Semen Padang di Stadion Surajaya.
Hingga kini, belum ada lagi putra daerah yang performanya semenakjubkan mendiang. Dirinya adalah sosok abadi yang menemani perjalanan Laskar Joko Tingkir dari tim biasa-biasa saja jadi klub yang cukup diperhitungkan keberadaannya. Birrul Walidain bisa diapungkan sebagai figur yang siap meneruskan kiprah elok putra daerah Lamongan, tetapi perjalanannya di kancah sepakbola nasional baru seumur jagung sehingga kita tak perlu membebaninya dengan ekspektasi berlebih.
Banyak sekali cerita tentang mendiang yang tentu membuatnya sulit dilupakan. Pasalnya, sosok dari dua orang anak tersebut mendedikasikan hampur seluruh hidupnya bagi sepakbola Lamongan. Sedari belia hingga berusia matang, kesetiaannya untuk Persela tak terbendung. Persela adalah Huda, Huda adalah Persela.
Setiap musim, nyaris selalu datang tawaran kepadanya untuk mengganti kostum. Namun segala iming-iming itu ditolaknya. Mendiang pernah bercerita kepada saya bahwa Lamongan adalah rumah bagi dirinya sekaligus keluarganya. Bermain dekat dengan keluarga membuatnya merasa bisa tampil prima. Bagi saya, mendiang merupakan family man sejati.
Didik Ludianto selaku asisten pelatih Persela dan juga direktur akademi klub menjelaskan bahwa narasi tentang perjuangan Huda selalu dijadikan penyemangat kepada para penggawa tim junior.
“Choirul Huda adalah suri tauladan bagi teman-teman. Ia bisa mengayomi semua orang hingga menjadikan Persela seperti sekarang ini. Huda memiliki peran luar biasa dalam eksistensi Persela. Cerita tentangnya adalah semangat untuk putra-putra daerah Lamongan agar bisa menjadi pemain sepakbola yang lebih profesional,” kata Didik saat saya hubungi lewat telepon.
Mesti diakui bahwa mendiang adalah sosok yang tak tergantikan. Statusnya sebagai kapten kesebelasan kala bermain juga menahbiskan itu. Sampai saat ini, belum ada penggawa Laskar Joko Tingkir yang sikapnya hangat dan ramah seperti mendiang. Belum ada pemain yang benar-benar mampu menyalurkan semangat kepada seisi skuad layaknya sang penjaga gawang.
Ekky Taufiq yang sekarang menjadi kapten tim selalu menganggap mendiang sebagai panutan. Ekky bercerita bahwa pria setinggi 183 sentimeter tersebut merupakan pengayom para penggawa belia.
“Saat awal-awal menjadi pemain senior di Persela, mendiang selalu ngajak minum kopi, makan-makan sampai bakar ikan. Hal itu dilakukannya sebagai sarana mengakrabkan diri dengan rekan-rekannya di lapangan. Mendiang tak pernah sungkan mengajak bicara junior-juniornya sehingga tak ada kesan pemain senior dan junior di skuad. Mendiang tak hanya membuat Persela sebagai kesebelasan sepakbola, tetapi juga sebuah keluarga,” papar Ekky terharu.
Walau kini berstatus kapten, Ekky mengaku bahwa ia bukanlah kapten sebenarnya di Persela. “Saat masuk ke lapangan saya selalu melihat ke langit untuk berbicara dengan mendiang bahwa saya meminjam ban kaptennya. Saya pun meminta dukungan serta doanya agar kami tampil bagus dan bisa memetik angka penuh. Kapten tim ini, selamanya adalah Choirul Huda.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa sepeninggal mendiang, fans Persela senantiasa dibuat deg-degan oleh klub kesayangan mereka. Pasalnya, performa tim kerap tak memuaskan. Musim lalu, Laskar Joko Tingkir nyaris terdegradasi. Mereka dipaksa menunggu sampai pekan terakhir untuk mengetahui nasib klubnya.
Setali tiga uang, sebelum kompetisi Liga 1 musim 2020 dihentikan akibat pandemi Corona, anak asuh Nil Maizar sedang terperosok di posisi buncit. Hal ini terjadi lantaran Persela selalu tumbang di tiga pertandingan yang sudah mereka lakoni.
Lebih jauh, Persela tanpa mendiang juga kesulitan menjaga keangkeran Stadion Surajaya. Bila dahulu jarang kalah di kandang sendiri, sekarang keok di kandang merupakan sesuatu yang biasa saja. Terlebih Persela juga kerap membongkar pasang skuadnya akhir-akhir ini.
Sebagai fans Laskar Joko Tingkir saya selalu ingat momen-momen di mana mendiang selalu ada bagi Persela. Mendiang senantiasa menemani saat Laskar Joko Tingkir jatuh atau terbang tinggi. Pemilik nomor punggung 1 tersebut manusia terpilih bagi masyarakat Lamongan.
Nama Choirul Huda memang legendaris dan terasa besar sekali untuk dilampaui. Namun itu tak semestinya jadi hambatan bagi pemain-pemain lain yang membela Persela, terutama para putra daerah. Sebaliknya, mendiang bisa menjadi contoh bahwa Lamongan juga dapat menghasilkan pemain-pemain berkualitas di level nasional.
Saya pun percaya, di sana, mendiang tengah memperhatikan secara serius perkembangan sepakbola Lamongan dan menanti penerusnya. Mendiang pasti tersenyum bila suatu hari nanti, ada pesepakbola lokal yang namanya mencuat dan bahkan bisa menjadi andalan di tim nasional Indonesia.
Semangat dan kerja keras mendiang akan selalu terkenang di benak suporter Persela di manapun berada. Perjuangannya membawa panji Laskar Joko Tingkir berkibar tinggi akan diteruskan sebab Persela akan terus melangkah kendati tertatih. Seperti yang mendiang terapkan selama hidupnya, Persela bukan sekadar klub sepakbola tapi juga rumah yang hangat dan nyaman bagi keluarga yang mendiaminya.
Suatu hari nanti, ketika sepakbola bergulir lagi, Stadion Surajaya akan kembali bergemuruh oleh penggemar Persela. Mereka bakal mendukung Persela dengan segenap jiwa. Semoga saja pihak manajemen juga memelihara tekad guna membuat klub yang satu ini semakin kompetitif. Sebab itulah cara terbaik bagi kita untuk mengapresiasi segala pengorbanan dan perjuangan mendiang.
Doa terbaik selalu tercurah kepadamu, Kapten. Al Fatihah.