Sepak Bola yang Ramah pada Pengungsi

Sepak bola selalu bisa menempatkan dirinya dalam pemberitaan banyak hal. Dimulai dari berita soal sepak bola itu sendiri, lalu informasi hangat seputar selebritas lapangan hijau, aspek hukum dan ekonomi dalam permainan dan industri sepak bola, hingga politik dalam sepak bola atau sepak bola sebagai alat politik. Rasa-rasanya tak ada yang tidak bisa dikaitkan dengan sepak bola dan coba anda bayangkan apa rasanya media massa tanpa pemberitaan sepak bola.

Akhir-akhir ini Eropa diramaikan oleh pemberitaan mengenai 160.000 pencari suaka yang berasal dari berbagai negara masuk ke benua Eropa. Definisi pengungsi menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah seseorang yang meninggalkan rumah atau negaranya akibat “perasaan takut karena termasuk ras, kelompok agama, nasionalitas, kelompok sosial tertentu, atau punya opini tertentu”, juga termasuk orang-orang yang lari dari negara asalnya akibat bencana alam atau konflik berkepanjangan.

Ratusan ribu manusia meninggalkan negaranya yang sudah tidak aman menuju ke beberapa negara di Eropa yang dianggap akan aman bagi mereka dan keturunan mereka ke depan. Soal hal ini mari kita tidak perdebatkan soal nasionalisme mereka, karena bagaimanapun juga negara wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya akan hidup aman, dan juga banyak kisah bahwa mereka yang “terpaksa” berganti kewarganegaraan justru punya rasa nasionalisme yang mendalam terhadap negara asal.

Di Jerman, beberapa kelompok suporter menyatakan dukungannya kepada keterbukaan negara agar menerima pengungsi yang masuk ke negaranya. Fans dari Borussia Dortmund misalnya dalam beberapa kesempatan membentangkan banner bertuliskan “Refugees Welcome” yang bermakna bahwa mereka siap menerima para pengungsi. Tak hanya itu, mereka juga kerap aktif melindungi imigran muslim yang kadang menjadi sasaran dari kelompok neo-nazi yang ada di kota tersebut.

Sementara itu di Hamburg, klub sepak bola St. Pauli yang terkenal akan idealismenya dan concern dalam permasalahan sosial mengadakan pertandingan persahabatan melawan Borussia Dortmund. Yang menjadikan pertandingan ini spesial adalah mereka menyiapkan 1000 tiket gratis kepada para pengungsi yang datang ke kotanya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sikap pemerintah di Eropa yang masih mbulet soal menerima pengungsi. Menarik kemudian jika ada banyak kelompok suporter yang mendukung para pengungsi agar masuk ke negaranya.

BACA JUGA:  Emosi dan Drama Sebuah Pertandingan dari Suara John Helm dan Fabio Caressa (Bagian 1)

Di dataran Britania, kelompok suporter Celtic yang berhaluan anti-fasis atau yang populer disebut Antifa juga sudah sejak lama memberikan dukungan terhadap para pengungsi. Sebuah banner besar dengan latar belakang putih bercorak lambang celtic bertuliskan “Refugees Welcome, Created by Immigrant” yang pernah dipasang saat laga home Celtic sekiranya menjadi simbol bahwa kelompok suporter Celtic pun mendukung.

Hebatnya, bukan hanya kelompok suporter Celtic saja yang pro pengungsi, Klub mereka juga turut mendonasikan dana kepada para pengungsi. Menurut Chief Executive Celtic yaitu Peter Lawell berkata bahwa “Setelah melihat dampak krisis kemanusian akhir-akhir ini, kami sebagai sebuah klub sepak bola harus menolong dengan cara yang kami bisa. Celtic telah dibangun sebagai sebuah klub sepak bola yang membantu orang-orang yang membutuhkan etos kerja, ini membuat Celtic bertahan selama 130 tahun. Tak ada dari kami yang bisa mengerti kengerian (situasi kemanusiaan) ini, sebagai klub, kami ingin memberikan dukungan.”

Memang menerima para pengungsi tidak semulus yang dikira. Ada permasalahan sosial yang sering muncul pasca-kehadiran mereka. Beberapa pemberitaan muncul mengenai tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa Locals (sebutan untuk warga asli) terhadap para imigran. Belum lagi tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok neo-nazi yang sangat anti terhadap para imigran yang bagi mereka hanyalah segerombolan tikus yang mengotori tanah suci mereka.

Kelompok neo-nazi yang secara politik memang anti terhadap imigran dan pengungsi sedang tumbuh dan menjamur di daratan Eropa. Di Jerman ada Pegida yang rutin melakukan aksi turun ke jalan. Sedangkan baru-baru ini di Liverpool, kelompok suporter Liverpool berhasil menggagalkan jalannya aksi menolak pengungsi dan imigran yang dilakukan oleh Barisan Aksi Nasional atau yang disebut National Action. Kelompok ini juga merupakan kelompok politik sayap kanan kuat di Inggris.

BACA JUGA:  Perihal Gol di Penghujung Laga

Sepak bola juga nyatanya banyak menelan korban di dalamnya. Misalnya, upah murah buruh di industri yang terkait langsung dengan sepak bola, konflik antarsuporter dan lain sebagainya. Tapi menutup mata terhadap perjuangan kemanusiaan yang terjadi di sepak bola adalah hal yang tidak benar. Sepak bola sudah berkembang sedemikian rupa menjadi urusan hidup banyak manusia, dia berkembang layaknya sebuah kepompong yang menjadi kupu-kupu, sepak bola kini bukan hanya urusan 2×45 menit semata.

Javier Zanetti misalnya, dia mendonorkan beberapa kekayaanya untuk membantu perjuangan kelompok petani di Mexico atau yang populer disebut Zapatista dalam rangka perjuangan melawan perdagangan bebas global yang banyak merugikan petani lokal. Jelas, sepak bola sudah masuk kedalam urat nadi kemanusiaan. Maka jangan heran jikalau beberapa waktu mendatang sepak bola merupakan sub dari ilmu sosiologi dan antropologi.

Dinamika sepak bola yang sudah berkembang di belahan bumi bagian barat sana semoga berhembus ke Indonesia. Semangat kemanusiaan yang positif semoga menginspirasi kelompok suporter Indonesia agar turut melek terhadap isu sosial yang terjadi di lingkup nasional dan regional. Memang konflik elit sepak bola yang terjadi saat ini agak pelik apalagi berpengaruh kepada grassroot yaitu suporter sehingga boro-boro ngomongin isu kemanusian, urusan sepak bola saja belum beres.

Toh suatu saat saya bermimpi bahwa ada kelompok suporter di Indonesia yang membentangkan spanduk “selamat datang Ahmadiyah” atau “Syi’ah juga saudara kita”. Mungkin beberapa klub bola Indonesia membuat laga amal di mana dananya akan disumbangkan ke perlindungan kaum minoritas. Sungguh kebhinekaan Indonesia akan indah jikalau dimulai dari sepak bola.

Sembari saya bermimpi, saya curiga jangan-jangan kelompok suporter di Indonesia malah lebih dahulu sudah menyiapkan satu spanduk “Selamat Datang Pekerja Cina (Tiongkok) di Indonesia”.

 

Komentar