Gary Neville memang sudah seharusnya dipecat dan meninggalkan Valencia sejak kekalahan 7-0 dari Barcelona (4/2). Tidak ada sebuah penjelasan logis untuk mewajarkan sebuah kekalahan memalukan dan pola permainan yang amburadul.
Arsene Wenger dihajar kritik dan olokan dari segala penjuru mata angin setelah Arsenal dihajar Manchester United 8-2, walau tidak sampai dipecat, ya karena dia Arsene Wenger. Manajer kelas dewa yang tak tersentuh para manusia fana.
Tapi kasus Gary Neville beda lagi. Dia eks pemain bola profesional. Bekas pemain Manchester United. Diasuh sepanjang kariernya oleh seorang manajer kelas dewa juga dari Skotlandia. Berasal dari class of ‘92 United yang tersohor dan mahsyur sepanjang masa. Dan satu lagi, Neville, seperti laiknya orang Inggris pada umumnya, adalah seorang yang nyinyir, berisik dan bergengsi tinggi.
Gengsi tersebut yang membuatnya menanggalkan pekerjaan nyaman sebagai tukang cuap-cuap sepak bola ala Binder Singh dan memutuskan membelokkan haluannya 180 derajat menjadi pelatih sepak bola profesional.
Tidak tanggung-tanggung, klubnya pun bukan sekelas Morecambe atau Fleetwood Town, melainkan Valencia Club de Futbol. Satu dari segelintir klub papan atas di La Liga dengan reputasi mentereng yang sedang terpuruk saat itu.
Dan di Valencia, Gary Neville melakukan sebuah keputusan paling berani sekaligus paling komikal di hidupnya.
***
“If I’d have turned down this job, I could have said goodbye to credibility in football because it’s a massive club and I’m honoured and proud to be here.”
Kalimat di atas adalah petikan kata-kata Gary Neville usai ditunjuk sebagai pelatih Valencia. Kata-kata ini terdengar keren, bagi beberapa publik Inggris, tapi bagi kamu awam pada umumnya, banyak tendesi di dalam kalimat-kalimat itu. Salah satunya, gengsi terlampau tinggi Neville tentang kredibilitasnya di sepak bola.
Beberapa media di Inggris tidak begitu menyalahkan kemampuan manajerial Neville yang memang berangkat dari kekosongan. Malahan, ia dijagokan menggantikan Roy Hodgson di kursi timnas. Sebuah komedi yang segar.
Neville memang benar-benar mulai dari nol. Ia tidak punya pengalaman apa pun. Tawaran datang, dan ia menerima. Sederhana.
Sayangnya, menangani sebuah klub, apalagi tim besar yang sedang terpuruk, tidak akan semudah memainkan game Football Manager. Dan untuk pemain sekelas Neville yang merasakan betul sentuhan midas Sir Alex Ferguson, ia sudah selayaknya paham hal sederhana itu.
Lagipula, kalau berbicara kredibiltas, Neville bisa menolak tawaran dari Valencia dan fokus melakukan peran sebagai pundit lalu meneruskan love-hate relationship-nya dengan Jamie Carragher. Tidak perlu malu. Tidak ada kredibilitas mutlak yang dipertaruhkan ketika menjadi pundit. Anda tinggal bercuap-cuap dan bermulut besar.
Apa susahnya membicarakan sepak bola bagi pria 41 tahun yang semasa kariernya di United bergelimang gelar? Neville bisa membual sampai berbusa-busa perihal sepak bola kepada publik Inggris dan mereka akan menerimanya dengan senang hati.
***
Di sebuah jurnal Hubungan Internasional yang khusus mengkaji budaya, ada salah satu kajian analisis tentang perilaku rakyat Inggris yang terkenal keras kepala, berisik, dan rasis. Utamanya, bagaimana sikap mereka tentang orang-orang dari luar Inggris.
Kebetulan, studi kasus di jurnal tersebut adalah brengsek dan intolerannya perilaku beberapa rakyat Inggris terhadap diaspora dari Pakistan atau India yang menetap di Inggris. Jangankan dengan para imigran dari Asia Selatan, dengan saudara serumpun dari Wales, Irlandia atau Skotlandia pun mereka keterlaluannya minta ampun.
Itu pula yang membuat kita tidak perlu mengernyitkan dahi ketika gerombolan fan Chelsea bertindak rasis di Paris musim lalu. Atau John Terry yang melakukan pelecehan rasialis terhadap Anton Ferdinand.
Selain rasis, mereka juga keras kepala dan bergengsi tinggi. Satu sifat asli para Englishman, yang tampaknya menular ke Arsene Wenger dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Gengsi yang membawa Neville menapaki karier pelatih profesional pertamanya di Valencia. Dan gengsi pula yang mengantarkannya pulang ke Inggris dengan catatan yang kelewat memalukan daripada David Moyes selama di Real Sociedad.
Dan anehnya, publik Inggris menerima kembalinya Neville setelah periode bebal di Valencia dan menyambutnya pulang seperti Raja Richard yang pulang dari medan perang membawa kemenangan besar. Keberanian Neville dipuja setinggi langit, tapi sayangnya, mata publik Inggris tertutup rapat untuk mengetahui bahwa Neville hampir tidak melakukan apa pun selama di Valencia.
Satu yang jelas, dalam bingkai taktikal pun, Neville hampir tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki skuat warisan Nuno Espirito Santo ini.
Merombak jabatan kapten adalah satu tindakan konyol. Anak maniak Football Manager pun tahu bahwa merombak jabatan kapten di tim bagi pelatih baru adalah satu upaya tolol.
Disusul dengan memainkan kembali Alvaro Negredo ketimbang Paco Alcacer di awal kedatangannya makin melengkapi kekonyolan yang dilakukan Neville kemudian. Dan yang paling pokok, isu taktikal Neville adalah yang terburuk.
Acapkali ia memainkan 4-2-3-1 atau 4-3-3 dan mengorbitkan beberapa pemain muda potensial, salah satunya Santi Mina dan Danilo Barbosa. Tapi itu saja tidak cukup.
Pelatih, adalah tonggak utama sebuah tim. Ia memerlukan filosofi yang jelas akan ke mana sepak bola timnya ini nanti dimainkan. Louis Van Gaal membual tentang filosofinya, membuatnya tersingkir dari Liga Champions, lalu berlanjut dengan terbuang dari Europa League, tapi Van Gaal tidak atau belum dipecat, setidaknya, karena ia punya filosofi yang jelas, walau belum memberi efek maksimal.
Dan Neville sama sekali tidak menunjukkan itu di Valencia. Ia menurunkan komposisi bermain timnya dengan berbasis pada apa yang ia yakini benar, tanpa sebuah gameplan yang jelas. Tanpa sebuah arah yang pasti.
Valencia memainkan sepak bola sporadis yang begitu populer dimainkan bertahun-tahun oleh Stoke City di era Tony Pulis dan Hull City-nya Steve Bruce. Konyolnya lagi, Neville pernah memainkan sepak bola model itu di hadapan tim terbaik planet ini, FC Barcelona di Camp Nou. Luar biasa. Saya kehabisan kata-kata menjelaskan kondisi menakjubkan ini.
Satu-satunya instruksi yang mungkin diberikan Neville untuk para pemain Valencia jelang pertandingan tiap pekannya mungkin seperti, “Oi barudaks, maneh main kumaha maneh welah, lepaskeun dan liarkeun tong aya beban, (Oi teman-teman, kalian mainnya gimana kalian sajalah, lepasin, liarin, dan jangan ada beban, red.),” Sebuah instruksi yang sangat Inggris sekali.
Neville, mungkin percaya bahwa semangat dan kepercayaan khas orang Inggris tentang kerja keras dan daya juang akan memberi kemenangan. Mungkin, dongeng kehebatan Geoff Hurst dkk di Piala Dunia 1966, keajaiban di Camp Nou 1999, serta malam surealis di Istanbul 2005 lalu masih membekas di benaknya.
Hardworks never betray you. Well, itu benar, kalau Anda seorang motivator ulung yang memberi semangat kepada segerombolan anak muda bawah umur yang depresi. Tapi, ini sepak bola. Permainan menyenangkan yang dibingkai dengan taktik dan perhitungan yang presisi.
Dan satu yang jelas, Valencia bukan tim Inggris. Mungkin, Gary Neville membayangkan Valencia sebagai Aston Villa atau Norwich City, entahlah, yang jelas bayangan Neville itu buram dan tak tentu arah.
Kini Gary Neville mudik dini ketika Lebaran masih jauh dari pandangan. Dan mungkin, ia akan diproyeksikan menukangi timnas Inggris setelah Roy Hodgson keluar nantinya.
Di titik ini, harusnya kita sejenak sadar, bahwa inilah Inggris, di mana hidup sebagai penggemar sepak bola, terkadang memang perlu ditertawakan.
Andai hidup sebagai manajer semudah save dan load game di Football Manager ya, Gary?