Gianluca Vialli menghembuskan nafas terakhirnya di usia 58 tahun karena penyakit kanker pankreas (6/1). Vialli adalah mantan juru gedor Timnas Italia pada periode 1990-an dan mencetak 16 gol dari 59 laga bersama Gli Azzurri. Meskipun sudah tiada, kisah suksesnya baik sebagai pemain maupun pelatih akan selalu dikenang oleh publik sepakbola.
Gianluca Vialli lahir di Kota Cremona, Italia pada 9 Juli 1964. Ia besar dan tumbuh di keluarga kaya raya. Saat kecil ia tinggal di sebuah kastil megah bernama Belgioioso yang memiliki total 60 kamar bersama empat orang saudaranya.
Kemewahan yang ia miliki, membuat Vialli memiliki banyak akses untuk mencoba beragam olahraga. Dan dari banyak olahraga yang ia lakukan, ternyata sepakbola lah yang membuatnya jatuh cinta.
Dengan semua kekayaan yang Vialli miliki, tentu ia bisa saja memilih berbisnis atau melakukan hal hal foya-foya seperti anak kolongmerat Italia pada waktu itu. Tapi saat usianya 16 tahun, Vialli memilih menekuni sepakbola dan bergabung dengan klub kota kelahirannya Cremonese yang waktu itu tengah berlaga di Serie B.
Empat musim berlaga di Serie B bersama Grigiorossi, Vialli mencetak 25 gol dan 2 asis dalam 113 pertandingan. Bahkan di musim 1988/1989 ia menyabet gelar top skor di Piala Italia dengan torehan 13 gol. Bagi striker usia 20 tahun, torehan tersebut tentu sudah cukup menjanjikan.
Pada tahun 1984, Sampdoria kepincut mendatangkan Vialli ke Luigis Ferraris. Keputusan Vialli berkostum Il Samp ternyata berbuah manis. Ia menjadi idola sekaligus legenda Sampdoria walaupun hanya bermain selama empat musim.
Gianluca Vialli and Roberto Mancini were friends over 40 years.
The 'goal twins' were a feared striking partnership for Sampdoria, played together for Italy and Vialli was Mancini's assistant when Italy won Euro 2020
A lifelong friendship.
RIP Gianluca ❤️ pic.twitter.com/1vQoP3rQE8
— FootballJOE (@FootballJOE) January 6, 2023
Pasalnya ia menjadi pemain penting di bali kejayaan Sampdoria pada era tersebut. Selain menjadi top skor Serie A 1990/1991, Vialli juga berhasil mengantarkan Blucerchiati, merengkuh satu gelar Scudetto dan Piala Super Cup Italia dan juga serta empat gelar Piala Italia. Tak hanya itu ia juga menemukan sahabat karibnya sekaligus duetnya di lini, Roberto Mancini, yang pada saat itu dijuluki sebagai “The Goal Twins”
Juventus di tahun 1992, memutuskan untuk mendatangkan Vialli ke Kota Turin yang menyandang gelar transfer termahal di dunia waktu itu dengan nominal 12,5 juta pound atau setara Rp 286 miliar. Ternyata modal besar yang dikeluarkan Bianconeri untuk Vialli terbayar tuntas dengan prestasi tim.
https://twitter.com/TheFootballPink/status/1611324377878102016?s=20&t=ekkIFaIxBZiruzIst2EWmw
Selain menjadi tulang punggung gol, Vialli menjadi salah satu aktor penting di balik meroketnya prestasi Juventus. Lima trofi bergengsi bisa didapat La Vecchia Signora dalam kurun empat musim yakni gelar Serie A 94/95, Piala Italia 94/95, Piala Super Cup Italia 95/96, Piala Europa League 92/93 dan Liga Champions 95/96.
Kemudian di tahun 1996, Gianluca Vialli memutuskan untuk melanjutkan petualangan ke Inggris dengan membela Chelsea. Bermain di Liga Inggris ternyata tidak membuat ketajamannya menurun. Ia bisa mencetak 40 gol dalam 87 laga bersama The Blues selama 3 musim.
Selain berperan sebagai pemain, Vialli ternyata mengemban tugas tambahan sebagai pelatih Chelsea saat itu atau istilah kerennya adalah player-manager. Bagi pemula, prestasinya bersama The Pensioners cukup bagus. Ia berhasil menggondol satu gelar Piala FA 97, Piala Liga 98 , Piala UEFA Super Cup 98 dan Piala Europa Pokal 97/98.
https://twitter.com/CFCBlues_com/status/1611297763878178816?s=20&t=ekkIFaIxBZiruzIst2EWmw
Capaian ini membuatnya mencatatkan rekor sebagai pemain dan juga striker yang bisa memenangkan tiga gelar kompetisi Eropa yakni Liga Champions, Liga Europa dan Europa Pokal atau saat ini Conference League. Torehan tersebut tentu tampak sulit dipecahkan oleh pemain-pemain saat ini.
Namun, karena secara permainan Chelsea dinilai kurang dan mengalami tren penurunan, akhirnya ia diberhentikan sebagai player-manager di tahun 1999. Dan setelahnya ia memilih untuk gantung sepatu.
Setelah pensiun, Vialli kemudian menjadi komentator untuk Sky Italia. Lalu ia kembali berpartner bersama Mancini di Timnas Italia sebagai staf pelatih dan berhasil membawa Italia memenangi UEFA Euro 2020. Dan baru-baru ini mengundurkan diri dari posisinya karena ingin fokus dalam penyembuhan penyakit yang dideritanya hingga kemudian ia meninggal dunia. Grazie, Vialli!