Kalau boleh lancang, saya hanya ingin berkata bahwa pesepakbola yang pantas dijadikan suri teladan dalam manga Captain Tsubasa adalah Ryo Ishizaki.
Bukan hanya suri teladan malah, dalam bidang sepakbola, level Ishizaki sudah tidak bisa disejajarkan dengan Nicklas Bendtner dan Martin Braithwaite yang bergelar Lord itu. Ia lebih adiluhung ketimbang dua nama tersebut atau Lord-Lord lainnya.
Mungkin Anda kira saya hanya satir atau guyon semata. Namun percayalah, saya sedang serius kali ini.
Bek yang dalam kisah manganya sekarang membela salah satu klub ternama Jepang Jubilo Iwata, tersebut memang tidak layak dijadikan guyonan walau hanya lewat tulisan.
Coba perhatikan tatapan Ishizaki dalam seluruh chapter Captain Tsubasa. Pasti penuh dengan determinasi dan kegigihan.
Sebelum Anda bertanya lebih jauh, saya akan menjabarkan lebih rinci, jelas, dan tentu saja akurat.
Ishizaki lahir dalam keluarga yang cenderung biasa saja. Keluarganya punya bisnis pemandian air panas yang bahkan nggak kuat menyewa pegawai.
Dirinya harus kucing-kucingan dengan sang ibu untuk bermain sepakbola karena sore hari adalah momen padat merayap di pemandian air panas milik keluarganya. Ia rela tidak membantu ibunya hanya untuk sekadar bermain sepakbola.
Masalah privilese, tentu ia tidak sekaya keluarga Genzo Wakabayashi. Ia juga tak punya privilese seperti Tsubasa Ozora yang kenal dengan bekas pemain Tim Nasional Brasil, Roberto Hongo.
Pengalamannya juga tak sekaya Taro Misaki yang bisa berpetualang, bertemu orang-orang sepenjuru Jepang, bahkan Prancis.
Ishizaki tumbuh dalam kultur Nankatsu. Tumbuh dalam kultur penuh dengan perjuangan.
Kenyataan pahit, dalam membentengi gawang Nankatsu, sebagai bek penampilannya nggak bagus-bagus amat.
Saya mencoba berpikiran positif dan membuka laman Wikia Tsubasa, jawabannya justru bikin saya makin sedih. Laman itu berkata begini, “At first, he is not as good at football as the other players, prone to errors.”
Jika ia sering melakukan kesalahan, kenapa masih tetap dipakai? Nah, ini turning point seorang Ishizaki.
Jawabannya jelas, pilihan bek di tim Nankatsu sangat terbatas. Bahkan setelah bergabung dengan Shutetsu, opsinya pun cuma itu-itu saja.
Jika kita menyisihkan bek kokoh dalam wujud Shingo Takasugi, memilih satu di antara Hanji Urabe dengan Ishizaki itu seperti memilih yang terburuk di antara yang paling buruk.
Cederanya Wakabayashi dan membuat Yuzo Morisaki naik sebagai kiper utama juga berperan atas presensi paten Ishizaki di lini belakang.
Kalau Ishizaki kerap melakukan blunder dan yang berdiri sebagai kiper adalah Wakabayashi, maka blunder-blunder Ishizaki dapat ‘disulap’ Wakabayashi menjadi aksi pertunjukannya dalam melakukan saves.
Akan tetapi, saat Morisaki yang menjadi kiper, Ishizaki sebisa mungkin tidak membuat kesalahan-kesalahan elementer karena Morisaki adalah kiper semenjana.
Sementara Urabe yang juga bermain di Jubilo Iwata saat menjalani karier profesional merupakan terbaik Ishizaki.
Selalu dipandang sebelah mata, Ishizaki membuktikan bahwa determinasi dan kegigihannya bisa menjadi bekal untuk sukses di masa depan.
Ya, seorang bek yang secara tidak sengaja menghalangi sepakan lawan dengan wajahnya, ternyata mampu menjadi bagian Timnas Jepang.
Kegigihan seorang Ishizaki memang tiada duanya. Ketika Tsubasa galau memikirkan kondisi jantung seorang Jun Misugi, Ishizaki melejit dengan berperan sebagai kapten tim.
Ketika Tsubasa kembali dan mengemban ban kapten saat Nankatsu berjumpa Musashi, peran Ishizaki tetap lebih dari seorang kapten.
Ia punya mentalitas kuat karena sering disepelekan dan dipandang sebelah mata. Harusnya, seorang Arthur Irawan juga perlu mencontoh sosok yang satu ini.
Walau nggak lihai bermain sepakbola, setidaknya tunjukkan kegigihan sampai titik darah penghabisan kala dipercaya turun ke lapangan.
Urip memang wis ono sing ngArthur, tetapi tugas Ishizaki adalah menyempurnakan kekurangan dengan kegigihan tanpa batas. Definisi riil dari kerja keras.
Buktinya, di level Timnas, ia kerap dijadikan pilihan utama. Saat membela tim kelompok umur, ia dan Hiroshi Jito menjadi tandem tak tergantikan.
Kala Jito mengatasi bola-bola udara, maka tugas Ishizaki adalah berdoa. Eh, maksud saya, memenangkan duel bola-bola daerah atau menyusur tanah.
Dalam kualifikasi AFC Youth Championship, kembalinya Misugi ke skuad memaksa Minato Gamo, sang pelatih, untuk memutar otak.
Coach yang beneran coach ini membuat lini pertahanan Jepang begitu solid dengan Ishizaki menjadi bagian integralnya.
Masih yakin bahwa kerja keras seorang Ishizaki tidak mempunyai makna apapun?
Strategi Gamo itu efektif ketika bersua dengan Thailand yang menggunakan taktik determinasi tinggi dan juga kekuatan fisik.
Jepang bisa menjadi ayam sayur kalau tak memiliki bek setangguh dan terkadang bak masokis yang gemar menyakiti diri sendiri seperti Ishizaki.
Di tangan pelatih yang jeli, pemain yang acap dipandang remeh pun bisa disepuh menjadi berlian mahal.
Kegigihan Ishizaki membuatnya menjadi pesepakbola luar biasa sampai akhirnya bergabung dengan Jubilo bareng Taro Misaki dan Urabe.
Dirinya tidak sehebat Galvan, bek andalan Timnas Argentina. Ia tak secekatan Mark Owairan, bek milik Arab Saudi. Pun ia tidak secerdas Salvatore Gentile, bek tengah sekaligus otak skema Catenaccio Timnas Italia.
Akan tetapi, ia memiliki etos kerja adiluhung yang bahkan melebihi ketiganya. Sosok berambut cepak ini tak memiliki skill spesial seperti rekan-rekannya. Ia cuma pemain biasa tetapi dengan kegigihan luar biasa setiap kali merumput.
Ia menentang bakat alam yang mengatakan bahwa ia tidak cocok menjadi pesepakbola. Ia juga mengejawantahkan pandangan rendah orang lain dengan tekad dan semangat. Ishizaki benar-benar suri teladan bagi kita semua.