Kami Ada Karena Persela

Seperti di daerah lainnya, sepakbola juga digemari di Lamongan. Sangat digemari malah. Sepakbola pun bukan sekadar ditonton. Tapi, juga dimainkan. Oleh anak-anak, remaja, dan para pemuda. Baik di lapangan, di gang-gang, atau di halaman yang dinilai lapang.

Tapi sayang, meski menggilai sepakbola, masyarakat Lamongan jauh dari riuh rendah stadion. Surajaya, stadion yang ada di Lamongan, lebih sering sendiri. Sepi. Kalau pun ada hiruk pikuk, pasti tak lama. Tak sampai sebulan. Hanya ketika ada pertandingan antarkecamatan saja. Itupun tak benar-benar ramai.

Si empunya stadion, Persela yang merupakan representasi sepakbola Lamongan, tak pernah memainkan bola di sana. Sebab, tak lama setelah kelahirannya pada 1967, Persela stagnasi. Mati suri.

Kalau mau ke stadion, orang-orang Lamongan pun harus ke Tambaksari. Ke Gelora 10 Nopember yang ada di Surabaya. Dan perjalanannya memakan waktu dua sampai tiga jam. Mungkin juga sampai empat jam.

Di Tambaksari-lah orang-orang Lamongan merasakan riuh rendah stadion. Di Gelora 10 Nopember-lah mereka bisa menikmati pertandingan. Bukan hanya pertandingan sepakbola berskala nasional. Tapi, juga pertandingan internasional.

Tidak seperti Lamongan yang kecil, Surabaya merupakan kota besar yang mempunyai “DNA” sepakbola. Menjadi salah satu kiblat sepakbola nasional. Sepakbola tumbuh lebih dari sekadar permainan di kampung-kampung.

Surabaya juga memiliki kesebelasan yang disegani, Persebaya dan Niac Mitra. Nama terakhir kemudian bertransformasi menjadi Mitra Surabaya.

Bahkan, pada awal Liga Indonesaia digulirkan pada 1994, Surabaya memiliki tiga kesebelasan di kasta tertinggi sepakbola nasional. Selain Persebaya dan Mitra, juga ada Assyabab. Ketiganya memainkan pertandingan kandang di tempat yang sama: Gelora 10 Nopember.

Pada Persebaya kecintaaan orang-orang Lamongan pada sepakbola ditabalkan Atau kalau tidak, kepada Niac atau Mitra Surabaya cinta itu ditambatkan. Bukan kepada yang lain.

Saat kedua kesebelasan itu memainkan pertandingan kandang, orang Lamongan pun berduyun-duyun ke Tambaksari. Ke Gelora 10 Nopember. Berbaur dengan suporter Persebaya dari kota asalnya, Surabaya dan daerah lainnya. Seperti Gresik, Mojokerto, Pasuruan, atau Jombang. Orang-orang Lamongan pun tidak sekadar menonton, tapi juga mendukung.

BACA JUGA:  Persela Lamongan dan Senyum Menawan Choirul Huda

Tidak cukup sampai di situ. Kala Persebaya menjalani laga tandang, tidak sedikit Arek Lamongan yang turut mendampingi perjuangan tim asal Kota Pahlawan itu bertanding di stadion lawan.

Dan kalau di Surabaya tak ada hari pertandingan, orang-orang Lamongan biasa datang ke Gresik. Ke Stadion Tri Dharma yang ada di komplek Petrokimia. Daerah tetangga itu memiliki dua kesebelasan yang berkompetisi di level nasional: Persegres Gresik dan Petrokimia Putra.

Beruntung datang reformasi pada medio Mei 1998. Perubahan turut mengiringi kedatangan reformasi. Semua tak lagi berpusat atau berporos pada Jakarta. Daerah bisa menentukan hidupnya sendiri.

Desentralisasi politik diberlakukan. Dan desentralisasi itu menjadikan kota-kota kecil ingin menjadi bagian perbincangan nasional. Tak terkecuali Lamongan.

Sepakbola lantas dipilih sebagai jalan ke arah sana. Sebab, sepakbola merupakan salah satu sarana paling efektif menggalang massa. Toh, masyarakat Lamongan juga menggemari, bahkan menggilai sepakbola.

Maka, semenjak tahun 2000, Lamongan mencoba membangkitkan sepakbolanya. Persela yang sebelumnya tenggelam oleh hinggar bingar kesebelasan tetangga dibangunkan dari tidur panjangnya.

Mula-mula terjun di Divisi II regional Jawa Timur. Lalu bergerak ke Divisi II nasional. “Kelahiran” Persela tersebut menumbuhkan minat orang-orang Lamongan untuk datang ke Surajaya. Datang ke tempat-tempat Persela memainkan pertandingan.

Arek Lamongan secara perlahan mulai melupakan Surabaya dengan Persebaya dan Mitra-nya. Tak langsung semuanya memang. Namun, sebagian demi sebagian. Mereka kemudian berhimpun dalam beberapa kelompok suporter yang memberikan dukungan kepada Persela.

Kelompok-kelompok itu di antaranya LFC yang merupakan kependekan dari Lamongan Fans Klub, juga Alex Fans Club (AFC), dan Blue Force. Adapula Dayat Keset serta Baladewa.

LFC dan Blue Force merupakan kumpulan pencinta sepakbola dari wilayah Lamongan kota. LFC dipimpin Imron Rosidi, sedang Blue Force diketuai Endik Jaya.

AFC merupakan kelompok suporter dari Pucuk dan ketuanya adalah Alex. Sedangkan Dayat Keset dan Baladewa adalah kelompok pendukung Persela yang berasal dari wilayah Deket.

Masing-masing kelompok tersebut berusaha bersetia hadir ke Surajaya. Bersetia memberi dukungan kepada Persela. “Karena merasa memiliki tujuan yang sama, yakni mendukung Persela, kelompok-kelompok tersebut memilih melebur,” kata Nugroho, salah satu orang yang turut menginisiasi peleburan kelompok-kelompok suporter tersebut.

BACA JUGA:  Jalan Berliku Si Kurus

Nugroho menyebut nama Imron Rosidi sebagai motor utama penggerak peleburan tersebut. Ide Imron disepakati pimpinan kelompok suporter lainnya. Mereka lantas bersepakat melebur dalam satu nama, dalam satu wadah LA Mania pada 27 Januari 2001. LA merupakan akronim dari Lamongan Asli.

Melebur menjadi LA Mania membuat suara mereka lebih terdengar di stadion. Apalagi, mereka datang bukan sekadar menonton. Tapi, datang memberikan dukungan dengan cara bernyanyi, menari, dan membentangkan spanduk-spanduk penuh suntikan motivasi. Para pemain pun tersengat. Terdongkrak semangatnya.

Di penghujung musim 2001, Persela pun berhak tiket promosi ke Divisi I. Dua tahun kemudian naik ke kasta Divisi Utama. Prestasi itu turut mengerek LA Mania. Mereka semakin membesar. LA Mania tak lagi menjadi domain orang-orang Lamongan kota, Deket, dan Pucuk semata.

Tapi, juga menjadi domain seluruh warga Lamongan. Orang-orang Lamongan mengidentifikasi dirinya LA Mania. Itu berlaku juga kepada orang-orang Lamongan yang ada di perantauan. Mereka yang di perantauan lantas membuat kelompok LA Mania dengan embel-embel daerah perantauannya.

“Ini semua terjadi karena kami merasa bangga dengan adanya Persela yang membawa nama Lamongan. Lamongan yang dulunya tidak dikenal, Lamongan yang katanya ndeso, kini menjadi dikenal orang,” ungkap Affan Chipeng, kordinator LA Mania wilayah Mantup -daerah di bagian selatan Lamongan. “Kami ada karena Persela dan selamanya akan seperti itu,” tambah Imron Rosidi.

Orang-orang Lamongan pun akhirnya tak lagi ke Tambaksari. Bahkan, generasi saat ini tak tahu jalan menuju Gelora 10 Nopember. Sebab, mereka telah menemukan identitas dirinya dalam tubuh Persela. Telah menemukan sepakbola di rumahnya sendiri.

Dan, Surajaya pun tak lagi sendiri.

Hari ini, 28 Januari, merupakan hari ulang tahun LA Mania, selamat ulang tahun LA Mania, semoga terus semangat mendukung Persela Lamongan di kancah nasional.

NB: Artikel ini merupakan salah satu artikel yang ada dalam buku tentang Persela yang direncakan terbit pada April 2017 mendatang.

Komentar
Penonton bola biasa.