Dalam setiap ketidakmungkinan, selalu terselip kemungkinan-kemungkinan yang ronanya begitu ajaib. Di kompetisi Liga Primer Inggris, Leicester City adalah satu dari sedikit rona keajaiban tersebut, khususnya dalam beberapa musim pamungkas.
The Foxes merupakan anomali di antara hitungan mesin statistik dan prediksi para pandit. Claudio Ranieri membuka kotak ajaib di hamparan rumput hijau Stadion King Power yang memberi kebahagian tak terperi bagi publik kota Leicester. Jamie Vardy dan kolega terbang ke langit ketujuh buat mengecup trofi Liga Primer Inggris. Padahal dahulu, peristiwa macam itu hanyalah angan-angan semu belaka.
Kisah magis Leicester di musim 2015/2016 lalu bersanding dengan kejutan Blackburn Rovers pada musim 1994/1995. Namun layaknya anomali, cerita indah semusim urung berlanjut di periode berikutnya.
Tiga musim selanjutnya, apa yang dialami The Foxes hampir mirip dengan apa yang terjadi pada The Rovers. Kedua klub tertatih untuk sekadar bertahan di kompetisi Liga Primer Inggris. Ya, keajaiban memang sesuatu yang mustahil terjadi berulang kali.
Tepat di musim keempat pasca-juara, Blackburn bernasib sial dan harus pasrah terjun ke divisi Championship. Lantas, bagaimana dengan nasib Leicester empat periode usai berkalung juara?
Anak asuh Brendan Rodgers tampak meragukan di awal musim. Bermain di kandang sendiri, mereka ditahan imbang Wolverhampton Wanderers. Kala bertandang ke Stadion Stamford Bridge guna bersua Chelsea, mereka pulang dengan oleh-oleh sebiji poin. Namun ada satu hal yang menggembirakan di laga tersebut. The Foxes mampu mengimbangi The Blues dari segi permainan dan bahkan tampil lebih baik di babak kedua. Mereka pun mulai menemukan bentuk dan karakter permainan seperti yang diinginkan sang pelatih.
Delapan laga lanjutan Liga Primer Inggris, enam di antaranya berbuah kemenangan. Hasil minor yang kudu dikantongi Vardy dan kawan-kawan ‘hanya’ kekalahan di partai tandang melawan Manchester United dan Liverpool.
Akhir pekan kemarin (26/10), Leicester sanggup memetik kemenangan telak dengan skor 9-0 dari Southampton. Catatan itu sendiri membuat The Foxes sah memegang rekor kemenangan tandang terbesar sekaligus menyamai pencapaian United soal menciptakan margin gol terbanyak dalam sebuah laga di era Liga Primer Inggris.
Berkat performa impresif yang mereka suguhkan, Leicester kini duduk nyaman di posisi tiga klasemen dengan koleksi 20 poin. Mereka hanya tertinggal dua angka dari Manchester City yang bertengger di peringkat kedua.
Di luar itu, Leicester juga menampilkan aksi cukup gemilang di ajang Piala Liga. Tengah pekan ini (30/10), Vardy dan kawan-kawan berhasil melaju ke babak delapan besar usai menggilas Burton Albion via kedudukan akhir 3-1. Artinya, kans untuk mendekatkan diri pada trofi memang betul adanya.
Menengok rapor tersebut, pendukung The Foxes pasti semringah. Dukungan yang mereka berikan kepada Rodgers beserta anak asuhnya pun semakin melangit kendati mimpi tentang trofi juara, belum mampir ke dalam kepala.
Dilansir oleh whoscored, Leicester adalah tim dengan pertahanan terbaik di Liga Primer Inggris sejauh ini bersama Liverpool dan Sheffield United. Gawang Kasper Schmeichel cuma bergetar sebanyak delapan kali.
Urusan menyobek jala lawan, Leicester adalah klub paling jago setelah City. Secara keseluruhan, mereka sudah mengepak 25 gol yang sembilan di antaranya adalah sumbangan Vardy. Hal ini menjadi bukti kalau Rodgers telah memiliki formula yang tepat bagi tim asuhannya.
Sejak didatangkan ke Stadion King Power pada Februari 2019 silam, ada banyak hal yang coba dibenahi Rodgers supaya Leicester bangkit dari keterpurukan. Walau perjalanannya tak mulus dan penuh liku, tapi pelan-pelan Rodgers membuktikan kepada publik jika dirinya memang punya kemampuan untuk membangkitkan The Foxes.
Makin apiknya performa Vardy dan kolega melambungkan harapan baru bahwa klub yang berdiri tahun 1884 ini takkan mengulangi periode tak enak seperti musim-musim sebelumnya. Harapan ini pula yang akan membuat sang pemilik kotak ajaib, Vichai Srivaddhanaprabha, tersenyum di balik tirai surga kala menyaksikan penggawa Leicester bermain penuh determinasi di atas lapangan.
Selain performa mereka yang sedang ciamik, faktor lain yang dapat mendorong pencapaian Leicester di musim ini adalah inkonsistensi para raksasa.
Saat ini, Tottenham Hotspur besutan Mauricio Pochettino memiliki problem di ruang ganti. Sementara skuad Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United dihantam badai cedera dan krisis hasil. Pun begitu dengan Unai Emery di Arsenal yang belum juga keluar dari penyakit tahunan mereka plus sejumlah intrik di dalam internal tim.
Praktis hanya Liverpool dan Manchester City yang betul-betul mapan dan bentuk yang jelas. Sementara Chelsea yang aksi-aksinya cukup meyakinkan belakangan ini, masih butuh waktu untuk sampai di level tertinggi.
Memantau perkembangan Leicester dari waktu ke waktu adalah hal yang patut dilakukan penikmat sepakbola, khususnya Liga Primer Inggris. Jika konsistensi mereka tak tergoyahkan dan sejumlah klub raksasa masih terjebak berbagai masalah yang menggerogoti performa mereka, tiket berkompetisi di ajang antarklub Eropa pasti ada di genggaman The Foxes.
Trofi juara dari Piala FA atau Piala Liga? Tetap sulit karena tim-tim yang lebih mapan juga mengincar gelar tersebut, tapi kans Vardy dan kawan-kawan untuk meraihnya tidak mutlak tertutup.
Yakinlah, konsistensi Leicester berpotensi memunculkan hal-hal ajaib di musim ini. Dan sekali lagi, mereka akan menjadi sebuah anomali seraya membungkam hitungan statistik serta mulut ceriwis para pandit.