Dulu sekali, Kahlil Gibran begitu digdaya bagi hidup saya secara personal. Belum ada buku-buku Pramoedya Ananta Toer atau Milan Kundera yang mampu saya lahap saat itu.
Saya belum terseret arus Minke dan pergolakan hidupnya. Kahlil Gibran menggerus masa kecil saya karena hanya kumpulan buku Gibran yang dikoleksi bapak saya saat itu.
Dari Sang Nabi yang halaman depan bukunya hanya bergambar potret hitam putih seorang berpeci yang saya takut benar menatapnya. Hingga kumpulan surat-surat Gibran untuk May Ziadah yang menggambarkan wujud cinta platonik nan syahdu.
Kalau kemudian saya tumbuh dengan menggemari hal-hal romantis, itu pasti karena sinetron Ganteng-Ganteng Serigala pengaruh buku-buku Gibran yang banyak saya lahap dari rentang SMP dan SMA. Apalagi buku Sayap-Sayap Patah, yang saya yakin ditulis Gibran sembari berteduh di bawah pohon rindang dan merintih sendu sambil sesenggukan menyeka air mata yang berderai.
Narasi romantisme dalam sebuah karya selalu membuai. Baik itu dalam novel, puisi, cerpen atau pun film.
Saya kerapkali susah lepas dari tontonan layar kaca apabila menonton sebuah film yang romantis dan mendayu-dayu. Beranjak pun enggan. Titanic jelas patut dimasukkan ke hal-hal seperti ini. Atau film remaja yang fenomenal awal 2000-an saat itu, Ada Apa Dengan Cinta.
AADC dan narasi cerita Cinta-Rangga jelas menjadi arketipe mutlak yang susah digantikan. Dian Sastro beranjak dari peran Cinta menjadi sosok wanita idaman pria-pria tuna asmara di Indonesia. Nicholas Saputra lekat dengan stigma tokoh Rangga dan melanggengkan citra kharismatik pria pujangga yang melankolis nan misterius tapi brengsek.
***
Juan Roman Riquelme adalah agama dan Tuhan tersendiri. Ia wujud apotheosis yang hadir di zaman selepas Pele, Johan Cruyff hingga Maradona. Narasi karier Riquelme begitu romantis. Karena memang seharusnya seperti itu cara kita (saya) mengenang Riquelme.
Januari tahun lalu, ketika memutuskan berhenti dari sepak bola, banyak orang melepasnya dengan esai ataupun artikel yang melankolis. Anda tidak bisa menulis Riquelme dengan cara sporadis dan sarkastik. Bahkan tulisan bernuansa kritik pun tak mampu mengurangi keindahan Riquelme.
Ia adalah wujud sastra romantis yang susah tergantikan. Karena ia generasi terakhir. Ia gerbong terakhir dari sepak bola klasik yang pudar dimakan zaman. Ia ibarat Pramoedya yang membuat banyak orang percaya bahwa sastra setelah era Pram tidak akan pernah sebagus zaman Pram. Riquelme penanda zaman bahwa sepak bola berubah ketika ia pulang ke Argentina selepas kegagalan di Piala Dunia 2006 dan akhir bulan madu di Villareal.
***
Sepuluh adalah angka spesial di sepak bola. Sepak bola begitu menggemari angka ini. Diego Maradona menjadi Tuhan dan mencetak gol culas sepanjang masa dengan nomor ini. Totti dipuja dan diagungkan di Roma dengan nomor ini. Dan William Gallas memimpin Arsenal di zamannya dengan nomor ini pula. Surealis betul, ya? Saya sendiri heran kenapa Gallas bisa menjadi kapten Arsenal dan memakai nomor sepuluh saat itu.
Sepuluh menjadi syahdu pula di hidup Riquelme. Sepuluh adalah usia saat Riquelme kecil menghabiskan karier akademinya di Argentinos Juniors dan menyadari bahwa ayahnya ternyata adalah seorang anggota mafia.
Sepuluh adalah mimpi. Tidak hanya satu mimpi, tapi puluhan mimpi, bahkan ratusan hingga ribuan. Fantasista, begitu para pesolek-pesolek Eropa menyebut pemakai nomor sepuluh di Italia. Sebuah angan, imajinasi, kreativitas hingga keajaiban.
Sepuluh adalah Riquelme. Ia menjadi lekat dengan nomor itu karena memang ia dilahirkan untuk memakai nomor itu di sepanjang kariernya.
***
Roman, panggilan sang Ibu untuk Riquelme kecil, adalah justifikasi bahwa menjadi romantis adalah takdir Riquelme. Ia tahu ia spesial. Ia tahu bahwa ia berhak dan layak memainkan sepak bola dengan cara yang ia mau. Ia malas, jarang berlari, apalagi menutup pergerakan lawan.
Riquelme sadar dia tidak pantas melakukan sebuah kerja kotor di lapangan. Itu hanya milik Esteban Cambiasso di timnas, dan Sebastian Battaglia di Boca Juniors. Riquelme adalah bagaimana saya memandang para model-model Victoria Secret yang parade fashion show-nya sudah saya ikuti sejak awal kuliah.
Coba Anda ketik nama Candice Swanepoel atau Behati Prinsloo di mesin pencari, dan dengan gambar yang akan Anda temukan itulah wujud bagaimana saya memandang Riquelme. Riquelme selalu indah dan seksi. Ia gemulai. Tipikal needle player yang begitu membuat sakit kepala pola pertahanan sebuah tim.
Ia malas, tapi bukankah pemain hebat tak perlu banyak berlari? Ia jelas bukan James Milner atau Dirk Kuyt. Atau Gennaro Gattuso, mungkin. Berlari dan menjelajah lapangan terlalu murahan bagi Riquelme yang romantis dan megah. Ia anggun, tak layak sepatunya kotor dengan berlarian di lapangan dan mengejar bola.
Jelas ini esai tendensius. Saya tidak berpura-pura dalam memuja Riquelme. Saya suka Dennis Bergkamp atau Thierry Henry. Henry suka berlari, mencetak gol indah, mencatat rekor gol. Bergkamp adalah sosok pemikir. Salah satu filsuf sepak bola. Golnya ke gawang Newcastle memang indah betul. Tapi sosok Bergkamp terlalu kaku. Terlalu dingin. Terlalu profesional dan patuh kepada Arsene Wenger.
Riquelme tidak ada di titik itu. Ia pesepak bola profesional yang memainkan sepak bola dengan apa yang ada di kepalanya. Ia adalah yang digambarkan Zen RS sebagai “orang yang sudi pergi ke Jakarta dengan keluar di tol Purwakarta lalu masuk tol lagi di Cikampek dan keluar lagi di Cibubur, lalu bergerak menuju Ciawi guna menghisap sebatang kretek dan menyesap segelas kopi di Puncak Pas, untuk kemudian kembali masuk tol dan bergerak masuk kota Jakarta.”
Frasa “menikmati waktu” dinarasikan Zen untuk menceritakan bahwa Riquelme punya cara tersendiri dalam menikmati sepak bolanya. Zaman yang bergegas, sepak bola yang makin kompleks dengan taktik dan strategi yang makin variatif, sama sekali tidak mempunyai efek bagi sepak bola Riquelme.
Anda belajar pemahaman taktik, mendedahkan luar dalam pemikiran Pep Guardiola, mempelajari filosofi Wengerball Arsenal, sementara di belahan dunia lain, Riquelme menertawakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Berapa Ballon d’Or yang dimenangkan Riquelme? Tidak ada sama sekali. Karena pemain hebat, terkadang, tak butuh pengakuan.
Ia melegenda dengan caranya sendiri. Ia menjadi dongeng dan diceritakan turun temurun sebagai legenda dengan cara yag mereka ingin. Steven Gerrard tak pernah sedetik pun dalam hidupnya mengangkat trofi Liga Inggris. Bahkan kisah Gerrard di penghujung kariernya di Liverpool adalah sebuah kartu merah bodoh. Apakah kemudian Stevie G berhenti dikenang?
***
Bagi saya, Riquelme adalah karya sastra yang abadi. Ia adalah buku yang terlampau bagus bahkan saat buku itu selesai dibaca dan saya tutup halaman akhirnya, saya merasa kehilangan gairah untuk melanjutkan aktivitas sehari-hari.
“The football has given me everything. Just like little girls love dolls, the best toy I’ve ever had, or could ever have, is a football. The person who invented it is a true hero, nobody can top that.”
Kata-kata Roman Riquelme selepas pensiun tahun lalu, yang merefleksi pula kenapa saya begitu menggemari dan mencintai Riquelme jauh di atas apa pun dalam sepak bola. Jauh di atas Persib Bandung, Arsenal dan pemain-pemain lainnya.
Ganti kata-kata “football” dengan “Riquelme” dan seharusnya Anda sadar apa yang layak dirindukan dari pemain Argentina yang brengsek namun romantis. Nobody can top that.