Jam di telepon genggam menunjukkan pukul 18:54 ketika saya tiba di sebuah rumah yang berada di daerah Warung Boto, Yogyakarta. Pintunya masih tertutup. Tanda sang empunya belum ada di tempat.
Tak berselang lama, dengan mengendarai sepeda motor berwarna merah, Dimaz Maulana tiba. Pemuda berambut keriting itu merupakan pengelola tempat yang dikenal dengan nama OBA alias Omah Bersama. Setelah pintu terbuka dan lampu dinyalakan, wujud OBA memukau saya.
Di sebelah kiri ruangan ada deretan foto dalam pigura kecil yang terpampang rapi. Setiap fotonya memiliki nilai sejarah tersendiri. Ada tentang PSIM Mataram, Piala Sultan HB IX, maupun potret pertandingan sepak bola yang pernah diselenggarakan di Yogyakarta.
Di sudut ruangan, ada meja kecil yang di dalamnya terdapat sepatu dan jersey lama PSIM. Benda itu merupakan hasil karya Dimaz ketika ia menyelenggarakan pameran tunggal awal tahun ini. Lengkap pula dengan kotak yang di dalamnya berisi rumput yang sudah kering dan tulisan “HOPE” yang elok jika lampunya dinyalakan.
Lalu ada pula empat jersey lama PSIM yang berbaris rapi. Jersey-jersey tersebut merupakan seragam tim ketika PSIM berlaga di Divisi Utama pada dekade 1990-an. Kostum yang dipajang rapi itu bukan sekadar jersey replika, melainkan matchworn alias seragam yang dikenakan oleh pemain ketika bertanding. Tentu butuh waktu yang tak sebentar untuk bisa mengoleksi benda bernilai sejarah tinggi itu. Pastinya juga disertai dengan dukungan dana serta faktor keberuntungan.
Dimaz tak sendirian mengelola ruang alternatif ini. Kepada saya dan Fajar Junaedi — yang turut datang pada hari Minggu, 12 April 2015 — dia bercerita bahwa ada teman-teman dari Parangbiru dan Mataram on Kaskus yang bergiat di ruang ini. Mereka bahu membahu sejak awal untuk mendesain interior ruangan ini agar tak sekadar menjadi tempat menjual merchandise Laskar Mataram melainkan juga museum kecil untuk edukasi serta merawat ingatan tentang sejarah PSIM.
Mereka sepakat bahwa kecintaan terhadap PSIM tidak hanya sekadar diwujudkan dengan lengkingan suara di atas tribun atau bercuap-cuap di media sosial, melainkan juga dengan berkarya. Dorongan kecintaan itulah yang membuat energi mereka besar untuk mewujudkan mimpi memiliki ruang alternatif sepak bola yang bisa menjadi sarana bertukar informasi, belajar, berkumpul, diskusi dan segala hal positif yang berkaitan dengan sepak bola, khususnya PSIM.
Tentunya tidak sedikit dana yang telah mereka gelontorkan untuk membiayai ruang alternatif ini. Yang kasat mata jelas untuk membayar uang kontrakan setiap bulan, renovasi ruangan, membeli peralatan penunjang museum mini, serta tentunya modal awal untuk mulai menghidupkan toko pernak-pernik yang diharapkan keuntungannya bisa menutup semua biaya operasional OBA.
Pada tahap awal ini tentu semua masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Dimaz dan kawan-kawan masih tertatih menata OBA. Masih banyak rencana yang belum terealisasi.
Namun, yang terpenting tekad sudah bulat dan kaki telah mulai melangkah. Sembari berjalan, perbaikan demi perbaikan akan terus dilakukan. Begitu tegas Dimaz mengenai keinginannya untuk terus berkarya di OBA.
Semoga semangat itu tak pernah padam, kawan.