Tahun baru kali ini tak begitu menyenangkan bagi Rodrica, seorang tunawisma di jalanan sebuah kota nan megah di Eropa, Paris.
Ia kedinginan dan menggigil di emperan toko kue. Tubuhnya hanya dibungkus jaket tipis robek yang menjadi penghalang antara kulit dan angin dingin kota.
Setengah sadar, Rodrica optimis bahwa ia tak akan mendapat kebahagiaan dan kehangatan di dalam rumah seperti yang televisi selalu siarkan.
Setelah itu, seseorang menutup kepalanya dengan kain hitam dan semua gelap dari pandangan Rodrica.
Sejak larangan adanya tunawisma diberlakukan di sekitar kota Paris, setiap tunawisma yang masih membuat jelek pemandangan kota akan diangkut paksa oleh petugas.
Mereka disalahkan atas sebuah takdir yang sebenarnya tak mereka inginkan. Mereka adalah bagian dari Paris dan dengan alasan keindahan mereka dipindah ke tempat terluar dari Paris, entah di rumah panti atau dinas sosial setempat.
Selama di rumah panti, Rodrica tak menunjukkan gelagat bahwa ia mendapatkan kebahagiaan atau kehangatan yang diinginkan.
Ia bahkan seperti tak punya jiwa untuk beradaptasi dengan rumah baru selain emperan toko kue dan jalanan Paris.
Pastinya kita merasa iba terhadap apa yang Rodrica alami, tetapi bersikap menyalahkan orang lain dan takdir tentu bukan jalan keluar yang baik atas permasalahan ini.
Apalagi hal itu berimbas terbalik dengan keindahan kota Paris yang berhasil membawa banyak turis tiap libur panjang tahun baru datang.
Tentunya kejadian ini menjadi buah pikiran bagi Rodrica, rasa dilema dan kecewa yang merundungnya setiap hari selalu bertolak belakang dengan realitas yang ada. Hal itulah yang melanda sebagian masyarakat Prancis tahun 2016 silam.
Entah ada berapa kata yang keluar dan menyuarakan kekecewaan atau barangkali keangkeran Stade de France di Saint-Denis tak cukup kuat untuk membawa kenangan yang menyakitkan bagi mereka pada final Piala Eropa pada tahun tersebut.
Portugal, lawan mereka pada laga pamungkas dan tak diunggulkan, malah memboyong euforia itu pulang ke kampung halamannya.
Dengan kata lain, masyarakat Prancis seperti terusir paksa dari rumah mereka sendiri.
Serupa musisi yang memilih menjadi solois, keputusan sejarah memang tak bisa diprediksi dan sepakbola menggiring kejutan semacam itu dari tahun ke tahun.
Terhitung sejak 1960, tahun pertama perhelatan Piala Eropa, ajang ini selalu menemui evaluasi di setiap perhelatannya.
Dimanika yang disajikan penuh riuh tiap edisinya, tak jarang bahwa narasi sepakbola di Benua Biru menghadirkan kejutan luar biasa. Ya, jawaranya tak melulu mereka yang jadi unggulan.
Kekuatan antartim yang merata dan tak ada kesenjangan seperti yang terjadi pada perhelatan di benua lain membuat kualitas sepakbola Eropa selalu punya kredibilitas yang kuat.
Segala bentuk kebesaran dan kemegahan Eropa, ternyata ada campur tangan sepakbola di dalamnya.
Hal ini pula yang kemudian membuat Eropa selalu jadi anak emas. Tak percaya? Coba hitung berapa negara asal Eropa yang bisa lolos ke ajang Piala Dunia.
Apakah jumlah mereka selalu lebih banyak dibanding wakil dari benua lainnya? Dengan kemajuan sepakbolanya, pantas bila kemudian negara-negara Eropa mendominasi laga puncak dan keluar sebagai kampiun.
Kita sepakat, bahwa pandemi merupakan sebuah kejutan bagi seluruh elemen masyarakat di dunia, kedatangannya tak terduga dan tanpa aba-aba. Segala sektor terkena imbas, termasuk sepakbola.
Beberapa kompetisi vakum, selebihnya tetap berjalan, tetapi dengan menjalankan beberapa protokol kesehatan yang sudah disepakati seperti tanpa penonton dan pemain kudu melakukan tes kesehatan sebelum dan sesudah laga.
Kejadian ini cukup membuat kacau dan mencederai keindahan sepakbola. Bahkan sepakbola hampir dirundung oligarki akibat imbas pandemi tersebut.
Namun beruntung, beberapa orang masih memandang sepakbola sebagai ladang tanpa ranjau yang seharusnya bisa dipanen bersama tanpa saling merugikan.
Sampai saat ini, sepakbola masih diyakini sebagai media pemersatu bagi semua kalangan. Keberadaanya selalu punya daya tarik yang kuat sebagai sebuah cabang olahraga.
Terlepas dari federasi, sistem dan mekanisme di dalamnya yang mungkin merugikan beberapa pihak. Namun tak pernah bisa dipungkiri bahwa setiap laju, tari, gerak, dan gemuruh si kulit bundar di lapangan hijau selalu membuat mata siapa pun yang melihatnya akan berpikir untuk mengganti kanal televisi.
Sepakbola selalu punya cara tersendiri untuk adaptif. Sepakbola selalu penuh warna dengan menyajikan emosi yang dapat dirasakan orang lain yang menonton dan hal tersebut yang bikin sepakbola tampak lebih megah dari cabang olahraga lainnya.
Dari tahun ke tahun, dari era ke era, ruang lingkup sepakbola selalu mengeluarkan bintang-bintangnya sebagai daya tarik atau branding, sah-sah saja.
Toh, mereka—bintang-bintang lapangan itu—punya kemampuan atau seringkali punya tampilan yang menawan dan semakin ke sini, sepakbola adalah olahraga yang digandrungi pula oleh perempuan.
Ini yang paling penting, tak ada batasan gender dan bersifat merangkul.
Bukan hanya pemain, suporter pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sepakbola. Pemain keduabelas ini kadang menjadi penambah energi pemain di lapangan.
Mereka menyajikan koreografi, kontroversi, dan kadang juga menjadi pemantik perlawanan kepada federasi, sistem, isu-isu sosial dan permasalahan lainnya.
Mereka akan merespon hal itu dengan indah serta semua pihak dapat merasakan itu.
Rivalitas bukan hanya berlaku untuk tim, tetapi untuk suporternya juga, menarik bukan?
Bukan tanpa sebab, rivalitas sering terjadi karena pergesekan yang ditimbulkan dari masalah sepele atau permasalahan individu yang merambah ke masalah bersama.
Tentunya, sikap fanatisme tidak perlu yang membuat hal tersebut terjadi. Padahal kita sepakat, sikap yang berlebihan akan merugikan diri sendiri maupun pihak lain.
Kita punya banyak contoh rivalitas suporter di sekeliling kita, tak jarang mengalami bentrok dan memakan korban jiwa.
Sebagai pembelaan diri, mereka bilang itu oknum, tetapi dilihat dari kaca mata orang awam, hal itu mencederai tim mereka, keluarga kecil mereka dan rumah mereka.
Lalu mereka akan asing di rumah sendiri dan secara tak langsung akan terusir dari rumah sendiri.
Tak dipungkiri bahwa sepakbola selalu punya gemuruh di zamannya. Gemuruh yang akan mudah diingat dan didiskusikan.
Gemuruh yang akan ada banyak kejutan, baik dengan riuhnya atau dengan tangisnya. Sepakbola mempunyai peran sentral yang cukup kuat sampai detik ini, dari segala lini atau dari berbagai kompetisi, baik di kancah Eropa atau benua lainnya, akan selalu banyak kejutan.
Dalam waktu dekat, beberapa negara Eropa bersiap menunjukkan taji mereka di atas lapangan hijau dalam sebuah turnamen bertajuk Piala Eropa.
Para kontestan sudah dibagi ke dalam enam grup berlainan. Mereka akan berjibaku dan saling sikut untuk menahbiskan diri sebagai yang terbaik.
Banyak dari kita sudah punya jagoan masing-masing. Namun jangan kecilkan juga peluang munculnya kejutan di kejuaraan kali ini. Seperti Denmark tahun 1992 atau bahkan Yunani tahun 2004 silam.
Bicara sepakbola adalah berbicara kulit bundar tanpa sisi. Ia bisa bergulir ke mana saja dan menyuguhkan berbagai cerita.
Satu yang pasti, perhelatan akbar empat tahunan bernama Piala Eropa ini akan memberikan energi positif dan bersifat meditatif atas segala kekecewaan dan kekacauan dunia selama beberapa tahun terakhir.
Dan sekali lagi, eksotisme dan kemegahan sepakbola bakal meletup-letup lagi ke angkasa dari sebuah benua yang selama ini jadi kiblat perkembangan sepakbola bernama Eropa.