Hampir sepekan yang lalu, ketika Olimpiade Rio 2016 baru saja resmi dibuka, Dietmar Hamann, eks gelandang andalan Liverpool, Bayern Munchen, dan tim nasional Jerman mengutarakan pendapatnya soal bagaimana sepak bola, golf, dan tenis tidak seharusnya dipertandingkan di Olimpiade.
Menurut pria yang tanggal ulang tahunnya sama dengan Penulis, Olimpiade adalah ajang yang seharusnya menjadi puncak prestasi bagi seorang atlet. Namun, Olimpiade tak bisa memberikan hal tersebut bagi atlet sepak bola, golf, maupun tenis.
Argumen Hamann tersebut ia dasarkan pada satu hal: persepsi publik akan pencapaian atlet sepak bola, tenis, dan golf di Olimpiade. Bagi pria kelahiran 1973, fakta bahwa publik tidak mengingat siapa yang menjadi juara Olimpiade di tiga cabang olahraga tersebut seharusnya membuat ketiga cabang tersebut tak lagi dipertandingkan.
Adapun, alasan mengapa publik tidak mengingat siapa-siapa yang menjadi juara adalah karena bagi ketiga cabang olahraga tersebut, Olimpiade bukan pencapaian tertinggi. Sepak bola punya Piala Dunia dan kejuaraan-kejuaraan kontinental, tenis punya seri Grand Slam, sementara golf juga memiliki kejuaraan tahunan sekelas Grand Slam.
Sejarah Sepak Bola di Olimpiade
Persis tiga dasawarsa sebelum Piala Dunia pertama dihelat di Uruguay, sepak bola sudah terlebih dahulu dipentaskan pada ajang Olimpiade. Paris 1900 adalah gelaran Olimpiade pertama di mana sepak bola diikutsertakan sebagai cabang olahraga resmi.
Empat tahun sebelumnya, pada Olimpiade modern pertama di Athena, sepak bola sebenarnya sudah mulai diperkenalkan dan dipertandingkan secara tak resmi lewat laga Athena XI kontra Smyrna (bagian dari Kekaisaran Turki Usmani).
Sejarah sepak bola di Olimpiade memang sangat, sangat kompleks dan penuh muatan politis. Pada Olimpiade Los Angeles 1932 misalnya, sepak bola dihilangkan karena dua alasan: munculnya Piala Dunia pada 1930 dan keinginan pihak Amerika Serikat untuk mempromosikan american football.
Empat tahun kemudian, sebagai bagian dari propaganda fasis Nazi, sepak bola kembali dipertandingkan dan Italia yang merupakan sekutu Jerman, berhasil keluar sebagai juara.
Perkara profesionalisme di sepak bola juga kemudian menjadi isu tersendiri. Sampai dengan Olimpiade Los Angeles 1984, Komite Olimpiade Internasional (IOC) hanya memperbolehkan pemain amatir untuk berlaga di Olimpiade.
Seiring kompetisi sepak bola profesional yang semakin marak, khususnya di negara-negara tradisional sepak bola, negara-negara Blok Timur pun kemudian muncul menjadi kekuatan yang nyaris tak tertandingi.
Sejak Olimpiade Helsinki 1952 di mana Magical Magyars keluar menjadi juara hingga Olimpiade Seoul 1988, hanya sekali tim dari luar Blok Timur keluar sebagai juara, yakni ketika Prancis menjuarai Olimpiade Los Angeles 1984.
Dalam kurun waktu tersebut, Hungaria berhasil meraih tiga medali emas dan Uni Soviet meraih dua medali emas, sementara Yugoslavia, Cekoslowakia, Polandia, dan Jerman Timur masing-masing meraih satu medali emas.
Intervensi FIFA, sebagai badan tertinggi sepak bola dunia pun tak kalah kuat. Diperbolehkannya pesepak bola profesional untuk berlaga di Olimpiade sejak 1984 tentu takkan terlaksana tanpa restu FIFA. Meski begitu, FIFA yang tak ingin Piala Dunia mereka tersaingi oleh Olimpiade kemudian membuat aturan “diskriminatif”.
Ketika itu, FIFA membolehkan negara-negara Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika Utara untuk menurunkan tim terbaik, sementara negara-negara dari dua kutub kekuatan sepak bola, Eropa dan Amerika Selatan, hanya boleh menurunkan tim berisikan pemain yang belum pernah membela tim nasional.
Masalah persepak bola profesional ini kemudian berhasil dicari jalan tengahnya, yakni ketika pada Olimpiade Barcelona 1992, ditetapkan aturan bahwa tim sepak bola yang boleh turun di Olimpiade adalah tim U-23.
Akan tetapi, pada Olimpiade Atlanta 1996, aturan ini kembali mengalami perubahan di mana dari 23 pemain tim U-23 yang dikirim ke Olimpiade, tiga slot di antaranya boleh diisi oleh pemain senior. Aturan inilah yang berlaku hingga saat ini. Pada Olimpiade Atlanta 1996 ini pula sepak bola wanita mulai dipertandingkan, menyusul Piala Dunia wanita pertama tahun 1991.
Terakhir, belum bicara sepak bola rasanya kalau belum bicara soal negara yang menciptakan sepak bola modern: Inggris. Sebagai negara pencipta sepak bola modern, Inggris memang punya privilese tersendiri di kancah internasional.
Bagaimana tidak? Inggris, Wales, dan Skotlandia yang membentuk Kerajaan Bersatu Britania Raya, serta dikenal sebagai Home Nations, masing-masing memiliki asosiasi sepak bola sendiri. Di FIFA, mereka terdaftar sebagai empat asosiasi sepak bola yang terpisah, namun tidak halnya dengan Olimpiade.
Meski telah berulangkali turun berkompetisi dengan nama Great Britain, asosiasi sepak bola yang memiliki hubungan dengan Asosiasi Olimpiade Britania (BOA) hanyalah milik Inggris (FA). Sebelum FA menghapuskan perbedaan antara profesional dan amatir pada 1974, Great Britain selalu turut serta pada ajang ini.
Meski FIFA kemudian mengizinkan pesepak bola profesional untuk turun berlaga, mereka memutuskan untuk tidak lagi mengirimkan wakil ke Olimpiade (kecuali pada Olimpiade London 2012) karena mereka tak mau status terpisah negara-negara Home Nations diperkarakan di FIFA. Setelah Olimpiade London 2012, tim Great Britain hanya bersedia untuk mengirim tim wanita saja.
Argumen-Argumen tentang Pro dan Kontra Sepak Bola di Olimpiade
Sejarah sudah menujukkan bahwa sepak bola sebenarnya merupakan bagian penting dari Olimpiade. Alasannya, karena sepak bola merupakan olahraga yang paling populer, sekaligus paling mudah untuk digunakan sebagai simbol persatuan antarbangsa.
Akan tetapi, sejarah juga menunjukkan pula bagaimana sepak bola dan profesionalismenya kemudian “mengkhianati” Olimpiade. Dengan berbagai aturan dan situasi yang kemudian membatasi pemain-pemain terbaik untuk berlaga, keberadaan sepak bola di Olimpiade pun kemudian dipertanyakan.
Bagi mereka yang mendukung keberadaan sepak bola di Olimpiade, sejarah jelas jadi rujukan pertama. Sebelum Piala Dunia – yang kemudian menjadi puncak prestasi di cabang sepak bola – mulai digelar, Olimpiade sudah terlebih dahulu menggelar sepak bola.
Tentu ada romantisme tersendiri di sini, mengingat sebenarnya cukup banyak momen berharga sepak bola yang terjadi pada ajang Olimpiade. Hungaria, misalnya. Jika tidak ada medali emas Helsinki 1952, tentu keabsahan Magical Magyars sebagai salah satu tim terbaik yang pernah ada di dunia menjadi mudah dipertanyakan.
Atau Indonesia. Jika tidak ada “menahan imbang Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956”, folklor sepak bola apa lagi yang bisa mau direproduksi di sini?
Kemudian, dalam konteks kekinian, di mana tim sepak bola yang dikirimkan adalah 20 pemain U-23 plus tiga pemain senior, Olimpiade jelas mampu menjadi ajang unjuk aksi bagi pemain-pemain muda. Sebelum Olimpiade Rio 2016, misalnya, siapa di antara kalian yang pernah benar-benar menyaksikan Gabriel “Gabigol” Barbosa, Gabriel Jesus, Zeca, atau Thiago Maia berlaga?
Perlu diingat, berlaga di Football Manager jelas tidak dihitung. Jika selama ini, pemain-pemain muda di atas hanya kalian nikmati di YouTube yang jelas-jelas tidak representatif, ajang Olimpiade 2016 ini bisa jadi ajang untuk menikmati kebolehan mereka (walau hingga kini belum kunjung terlihat).
Masih soal pemain muda. Apa jadinya Lionel Messi dan Elang Super Nigeria tanpa Olimpiade? Sebagai pemain terbaik dunia, gelar internasional Messi hingga kini masih berkutat di seputaran Piala Dunia junior dan Olimpiade. Kalau tidak ada Beijing 2008, bisakah kalian bayangkan nestapa sang megabintang?
Lalu ada pula Nigeria. Dunia mengenal Nigeria sebagai salah satu kekuatan sepak bola ya karena mereka pernah menjuarai Olimpiade Atlanta 1996. Pemain-pemain legendaris seperti Nwankwo Kanu, Jay Jay Okocha, Celestine Babayaro, Taribo West, Tijani Babangida (andalan saya di Winning Eleven PlayStation 1), Victor Ikpeba, Garba Lawal, Daniel Amokachi, dan Sunday Oliseh, semuanya muncul ke pentas dunia berkat medali emas Atlanta ’96.
Lalu ada pula perkara sepak bola wanita. Nah, sebagai sesuatu yang relatif “baru”, sepak bola wanita jelas masih membutuhkan Olimpiade untuk terus mempromosikan diri.
Dengan jadwal turnamen besar yang tidak bentrok dengan Olimpiade (Piala Emas serta Piala Asia tidak berlangsung di tahun kabisat dan Piala Eropa berlangsung di tahun ganjil), maka tim-tim sepak bola wanita bisa dengan leluasa mengirimkan tim terbaik mereka ke Olimpiade.
Amerika Serikat, yang merupakan negara sepak bola wanita terkuat bahkan mengirimkan tim yang isinya nyaris sama dengan tim juara Piala Dunia 2015 ke Olimpiade Rio kali ini. Bagi Carli Lloyd dkk., Olimpiade sama kelasnya dengan Piala Dunia dan keduanya merupakan puncak karier bagi para pesepak bola wanita.
Ada pro, tentu ada kontra, dan mereka yang menolak keberadaan sepak bola pada Olimpiade juga memiliki argumen-argumen yang kuat.
Arsene Wenger, misalnya. Pelatih kawakan yang dikenal vokal melawan ajang sepak bola antarnegara ini mengecam keberadaan sepak bola di Olimpiade karena baginya, Olimpiade ini “bukan sepak bola betulan” (karena aturan U-23 tadi) dan hanya membuat para pesepak bola semakin lelah. Bentroknya tahun penyelenggaraan Olimpiade dan Piala Eropa menjadi alasan Wenger. Masuk akal.
Lalu ada pula argumen seperti yang dilontarkan Hamann. Bahwa sepak bola sudah punya ajang sendiri yang menjadi puncak prestasi bagi para atletnya.
Masuk akal memang, akan tetapi pendapat Hamann ini masih bias gender, karena saya yakin, seyakin-yakinnya bahwa ketika pria yang pernah terjerat judi ini mengatakan demikian, sepak bola yang ia maksud adalah sepak bola pria.
Untuk sepak bola pria, pendapat Hamann jelas masuk di akal. Namun, ketika sepak bola wanita, atau sepak bola pantai – demi Tuhan – dimasukkan dalam hitungan, maka pendapat Hamann akan mentah begitu saja.
Terakhir, ada argumen yang mengatakan bahwa sepak bola (beserta tenis dan golf) sudah mendapatkan panggung yang sangat besar selama ini, dan Olimpiade adalah momen untuk memberi kesempatan bagi olahraga-olahraga lain untuk tampil.
Michael Phelps, misalnya. Fakta bahwa perenang Amerika Serikat ini sudah mendapat 21 medali emas sepanjang kariernya adalah seusatu yang mudah diingat dan akan nyantol di benak publik.
Begitu pula dengan Usain Bolt, atau Katie Ledecky, atau Lisa Rumbewas! Siapa sih yang benar-benar peduli akan pencapaian atlet-atlet ini di kejuaraan dunia? Nah, Olimpiade ini adalah ajang utama bagi mereka.
Olimpiade adalah momen di mana atlet-atlet yang sebelumnya tak pernah terdengar namanya untuk unjuk aksi. Saya sendiri, misalnya. Sebelum namanya muncul menjadi juara ajang menembak kelas 10-meter air rifle, saya belum pernah sekali pun mendengar nama Virginia “Ginny” Thrasher.
Setelah itu, barulah saya tahu bahwa Virginia Thrasher, secara tidak mengejutkan, lahir di Virginia, dan seumuran dengan adik perempuan saya.
Olimpiade memang seharusnya didesain untuk mereka-mereka ini, dan bagi saya, argumen ini sangat masuk akal, akan tetapi sekali lagi, ketika kita bicara sepak bola yang mendapat porsi coverage besar, maka sepak bola yang dimaksud sudah pasti adalah sepak bola pria.
Nah, untuk urusan ini, perkara bias gender juga masih berlaku dan argumen bahwa sepak bola wanita masih membutuhkan panggung juga masih bisa digunakan untuk mematahkan argumen ini.
Bagaimana menurut kalian? Apakah seharusnya sepak bola tetap dipertandingkan di Olimpiade atau tidak?