Sepakbola tanpa suporter bagaikan sayur tanpa garam. Sepakbola tanpa suporter laksana tubuh tanpa jantung.
Sepakbola merupakan salah satu olaharga paling populer di dunia. Menjadi lebih populer pada era modern di pertengahan abad ke-19 di Britania Raya.
Hingga kini sepakbola telah dimainkan lebih dari 250 juta orang di berbagai belahan dunia.
Tidak adanya kriteria atau tingkatan tertentu dalam permainan ini membuatnya sangat populer karena dapat dimainkan sekaligus dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Tidak berhenti hanya sebatas permainan, jika kita kilas balik lewat beberapa sejarah yang ada, utamanya di Eropa, sepakbola merupakan alat bagi sebuah pergerakan politik oleh beberapa golongan.
Tidak hanya berkaitan dengan gerakan politik saja, sepakbola juga telah menjadi jati diri dan lambang kebanggaan bagi suatu masyarakat tertentu.
Di Indonesia sendiri, sepakbola tidak hanya berkutat pada adanya kompetisi. Sejarah yang terselip di dalamnya menjadi corak yang dibawa ketika kesebelasan dari suatu daerah berlaga.
Apalagi dalam pertandingan melawan kompetitor yang sama-sama memiliki keterikatan sejarah di masa lampau.
Hal ini dapat kita lihat lewat panasnya Derbi Mataram yang mempertemukan Persis dan PSIM.
Dua klub yang menjadi pionir lahirnya federasi sepakbola Indonesia (PSSI) ini bahkan terikat takdir rivalitas sedari lahirnya Perjanjian Giyanti pada tahun 1775.
Melihat fenomena tersebut kiranya dapat penulis simpulkan bahwa dinamika dalam sepakbola bak sistem demokrasi di mana berjalannya permainan si kulit bundar ini seolah bertumpu pada masyarakat sebagai basis suporternya.
Tanpa bermaksud menyebut sepakbola sebagai alat kepentingan politik, tetapi dari banyak fenomena yang terlihat, sepakbola memang berkelindan seperti itu.
Sepakbola lahir di masyarakat lalu berproses dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Persis seperti definisi demokrasi yang diucapkan Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Relasi Klub dan Suporter
Telinga Sleman Fans memerah saat Direktur Utama PT. Putra Sleman Sembada (PSS), Marco Gracia Paulo, mengatakan bakal memindahkan markas PSS dari kota Sleman.
Ucapan tersebut bikin Sleman Fans gerah. Bagaimana mungkin kesebelasan yang lahir dari rahim Sleman, jatuh dan bangun selama puluhan tahun di sana, tiba-tiba dibawa pergi begitu saja.
Hidup dan mati PSS sudah sepantasnya terjadi di Sleman, di tengah-tengah suporter setianya.
Ada banyak sekali cerita yang telah diukir PSS dan suporternya. Mereka adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sleman Fans adalah PSS, PSS adalah Sleman Fans.
Generasi lawas tentu masih ingat bagaimana kisah PSS yang sukses menembus Divisi Utama Liga Indonesia pada tahun 2000.
Sementara generasi kekinian, tentu mengingat kegagalan PSS lolos ke Liga 1 gara-gara performa tak memuaskan pada fase penentuan Liga 2 musim 2017.
Barulah pada Liga 2 musim 2018, Super Elang Jawa berhasil menghadirkan kegembiraan di wajah suporternya usai menahbiskan diri sebagai kampiun dan berhak promosi ke Liga 1.
Ada begitu banyak pengorbanan Sleman Fans dari semua peristiwa tersebut. Sebuah bukti bahwa suporter memegang peranan penting dalam sejarah PSS.
Bagaimana PSS tetap hidup kendati minim sponsor. Bagaimana Sleman Fans rela membeli berbagai peralatan kebugaran yang berguna untuk skuad.
Bagaimana suporter fanatik klub berkostum hijau ini urunan demi memberi bonus kepada pemain usai promosi ke Liga 1.
Bagaimana Sleman Fans memprotes kebijakan manajemen sehingga memunculkan 8 Tuntutan menjadi gambaran nyata bahwa mereka selalu ada untuk memperjuangkan PSS.
Manajemen Harus Mendengarkan Sleman Fans
Penampilan semenjana anak asuh Dejan Antonic dalam seri pertama Liga 1 musim 2021/2022 lantas memantik amarah Sleman Fans.
Mereka pun memprotes kebijakan manajemen yang mempertahankan pelatih serta pemain yang dianggap menjadi beban di skuad.
Oleh suporter, pihak manajemen juga dinilai tak kompeten sebab menunjukkan komunikasi publik yang buruk.
Tak heran kalau tuntutan agar manajemen klub berikut pelatih dan pemain yang dimaksud segera angkat kaki.
Dinamika yang terjadi di PSS membuktikan bahwa iklim demokrasi yang baik lewat pola top down dan bottom up sangat diperlukan.
Manajemen harus mau mendengar suporter. Percayalah, kalau hal itu terjadi, selanjutnya suporter pasti siap mendengar apa yang manajemen minta. Relasi inilah yang mesti dibangun secara apik.
Pasalnya, hal tersebut bisa menjadi penentu arah tim karena manajemen butuh presensi Sleman Fans sebagai kontrol bagi laju Super Elang Jawa.
Banyak orang yang mengatakan bahwa suporter bisa memberikan dampak negatif, terutama lewat perilakunya. Namun mesti disadari juga bahwa presensi suporter dapat melahirkan dampak positif bagi tim.
Hubungan yang baik antara manajemen dan suporter dapat menggaransi stabilitas dari sebuah tim. Toh, keduanya memang saling membutuhkan, bukan?
Ketika pengelola tim dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan baik dan tidak memberi jarak kepada suporter, dapat dipastikan mereka siap memberi dukungan penuh.
Manajemen senang dengan kemajuan tim dalam segala lini, suporter bahagia karena timnya memperlihatkan performa menawan. Sesederhana itu.
If you give us in 90 minutes, we’ll give you a lifetime.