Sama seperti saat empat bocah culun asal Sheffield yang menamai band mereka dengan aneh – Arctic Monkeys, Alfie Mawson mendapatkan pertanyaan yang sama kala ia baru berseragam Swansea.
Who is – atau agar terdengar badass – Who the f*** is Alfie Mawson? Orang-orang bertanya kala ia didatangkan di jendela transfer terakhir. Mengingat namanya adalah sesuatu yang asing bagi siapa pun di Swansea kala itu.
Orang-orang bertanya, “siapa dia?” atau “kenapa dia berani-beraninya mengambil nomor punggung Ashley Williams yang sudah bak nabi di Swansea City.”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut langsung muncul, mengingat tak ada satu pun orang yang menyangka bahwa ia akan senekat dan seberani itu. Ia mengambil nomor enam peninggalan Ashley Williams.
Sebagian besar meragukan –karena bahkan belum pernah bermain di Premier League– dan sebagian kecil berharap ia mampu menjadi talisman bagi Swansea sesegera mungkin.
Kemudian, inilah dia. Sama seperti Arctic Monkeys, yang langsung melejit pada tahun 2006 dengan album Whatever They Said I am That’s What I’m Not, Alfie dengan mudahnya menjadi sensasi.
Meski pada kenyataan hidupnya tak semulus perjalanan Arctic Monkeys dalam merajai belantika musik Inggris –ia sempat mencetak own goal kala Swansea berhadapan dengan Stoke City pada 2016 lalu– namun ia berhasil bangkit dan melejit di tangan Paul Clement.
Saat ini, orang-orang seantero Swansea mendadak keranjingan dengan nama Alfie. Nama itu seperti musik bagi orang-orang Swansea.
Saat ia mulai menunjukkan kemampuannya, penggemar Swansea City yang ada di stadion akan menjerit-jerit selayaknya gadis-gadis melihat Alex Turner memainkan gitar Fender kesayangannya.
Orang-orang akan memasangnya dalam tim fantasi mereka (atau bahkan, men-triple-captain-kan Alfie), atau berfantasi bagaimana jika tim mereka membeli Alfie di FM/FIFA/PES.
Lelaki pemalu dengan selera fesyen yang bagus ini kemudian dapat menjadi sosok pemain yang membuat Anda secara serampangan mencela Manchester City yang membeli John Stones dengan mahar 50 juta poundsterling.
Sementara Anda berpikir bahwa mereka mungkin bisa mendapatkan 10 Alfie. Mengingat hanya mahar 5 juta poundsterling saja yang membuat Barnsley sudi melepas Alfie.
Baju Swansea dengan namanya terpatri di mana-mana, selayaknya ini Sheffield dan baju dengan nameset Alfie adalah merchandise Arctic Monkeys.
Uniknya, memang keduanya kemudian memilih jalur lika-liku hidup yang sama. Alex Turner dan kawan-kawannya memula band ini dengan bermain di satu gigs ke gigs lainnya.
Dari satu bar ke bar lainnya. Menyebarkan CD mereka sebagai upaya promosi dari mulut ke mulut sebelum pada akhirnya mendapatkan label yang mau mendanai pembuatan album mereka.
Sementara Alfie, ia memula dari satu klub non-league ke klub non-league lainnya.
Alfie, yang merupakan produk akademi Reading, pada mulanya direkut pada 2010 dan diberikan kontrak ke tim senior pada 2012. Akan tetapi, pemain yang mengidolakan John Terry ini, kemudian menemukan kenyataan bahwa ia tak kunjung bermain untuk Brentford.
Alih-alih dimainkan, setelah tanda tangan kontrak seniornya, ia terus dipinjamkan ke tim non-league. Bersama Maidenhead United selama tiga musim sejak 2012. Lalu ke Luton Town dan Welling United berturut-turut semusim setelah tiga musim di Maidenhead United.
Akan tetapi, jalan inilah yang membuatnya kemudian dapat menanjaki kariernya agar lebih dikenal. Dalam tiga musim, ia berhasil naik terus menerus.
Di Wycombe Wanderers, klub League Two, ia adalah idola. Lalu ia hijrah ke Barnsley dengan modal player of the year versi internal Wycombe Wanderers.
Di Barnsley, kala usianya baru 21 tahun, ia menjadi kapten. Lalu pada usianya yang baru 22 tahun –kala sebagian Anda mungkin baru pening karena skripsi atau sisanya mencari kerja– ia sudah berada di Swansea. Setelah sebelumnya ia berhasil menyumbangkan trofi League One dan mengantarkan Barnsley promosi.
Untuk ukuran bek, ia sangat ideal. Dan yang membuatnya kian spesial, ia menampakkan diri untuk dapat selalu berkembang.
Di tangan Paul Clement ia berhasil membuat eks-manajer Bayern Munchen ini terkesan. Sesuatu yang mungkin disesalkan manajer yang menjadi predesor Paul Clement, mengingat Alfie hanya bermain 14 kali musim ini.
Dan sudah barang tentu ia akan mendapatkan menit bermain lebih banyak di era Paul di kemudian hari mengingat kontribusinya yang luar biasa.
Ia memiliki postur tubuh yang ideal, baik tinggi maupun berat badan, dan kemudian, ia mampu memanfaatkannya. Ia dapat membaca permainan sehingga dapat muncul di saat tim membutuhkannya.
Ia baik dalam melakukan pressing terhadap lawan dan memiliki kemampuan yang cukup baik, dan akan terus berkembang seiring waktu, dalam memimpin rekan-rekannya di barisan pertahanan.
Atau bahkan, ia dapat mencetak gol. Tiga gol telah ia sarangkan untuk membantu misi Paul Clement mengenyahkan Swansea dari jurang degradasi.
Dua dari kepala –yang merupakan atribut terkuatnya– dan satu melalui tendangan volley yang mampu membuat Claudio Ranieri mabuk wine karena memikirkan apa yang patutnya ia lakukan setelah Leicester kalah 2-0 dari Swansea City (makin sial juga, mengingat Leicester kalah juga dari Sevilla).
Dan sama seperti Arctic Monkeys yang disandingkan dengan banyak nama band sensasional di Inggris –semisal Oasis atawa The Stokes– ia juga sempat menerima hal yang serupa.
Mungkin belum segila itu, namun untuk ukuran youngsters, tentu saja adalah sebuah kehormatan untuk dianggap sebagai pengganti Ashley Williams. Dan keduanya, sama-sama tampak tak menginginkan untuk disamakan oleh siapa pun. Maka simak apa yang dikatakan Alfie sebagaimana yang dilansir The Guardian.
“Mereka mengatakan bahwa saya memiliki resiko, dan harus bisa menggantikan Ashley Williams. Saya ingin menjadi diri saya sendiri. Ashley adalah seorang pemain berkelas. Ia datang ke Swansea ketika umurnya lebih tua daripada saya dan dia menekuni jalan berliku dengan klub ini. Jelas kalau ini berbeda dengan saya, saya datang untuk mempertaruhkan nasib Swansea di Premier League.”
Dan hal inilah yang membuat Alfie menjadi spesial bagi orang-orang Swansea kini seperti layaknya Arctic Monkeys bagi orang-orang Sheffield.
Ia tak ingin disandingkan dengan siapa pun atau mengenakan sepatu siapa pun. Ia hanya ingin bahagia dengan jalannya dan dengan jalurnya. Dan inilah Alfie. He don’t wanna be cool, he just wanna be him. So that’s makes him cool.