“Saya berpaku pada dua hal dalam desain: kesederhanaan dan kejelasan. Desain yang hebat lahir dari dua hal tersebut.”
Kutipan di atas pernah dipopulerkan oleh Lindon Leader. Ia adalah desainer grafis yang pernah meracik logo legendaris FedEx, perusahaan jasa pengiriman multinasional asal Amerika Serikat. Logo itu seringkali digunakan untuk memberi contoh di banyak forum desain saat membicarakan logo-logo terbaik yang pernah diciptakan di dunia.
Sepintas logo FedEx bukanlah logo yang rumit. Ia hanya berupa tipografi font berjenis Sans Serif yang dibalut dengan perpaduan warna ungu dan oranye. Satu hal yang unik dari logo ini adalah perpaduan huruf ‘E’ dan ‘x’ yang terletak berdekatan sehingga menghasilkan “negative space” berupa anak panah ke kanan yang dibentuk dari kedua huruf tersebut.
Secara bawah sadar, anak panah ini merepresentasikan bahwa FedEx adalah sebuah jenama (brand) jasa pengiriman yang mengutamakan kecepatan. Logo tersebut tak membutuhkan ikon khusus untuk menjelaskan bahwa FedEx adalah jasa pengiriman. Jenis logo yang mudah diingat oleh siapa saja hingga saat ini.
Logo FedEx yang dibuat pada tahun 1994 itu setidaknya telah memperoleh sekurangnya 40 jenis penghargaan. Salah satunya dari majalah Rolling Stone pada tahun 2003 yang menempatkan desain logo itu sebagai satu dari delapan logo terbaik dalam kurun 35 tahun terakhir.
Belajar dari logo FedEx, sudah saatnya logo-logo sepakbola meniru filosofinya. Sederhana dan penuh makna. Dua hal yang membuat manusia mudah untuk mengingat sesuatu.
Kini logo-logo klub sepakbola banyak yang sudah berusia puluhan tahun dan tak lagi selaras dengan perkembangan zaman. Kondisi saat ini tentu sudah berbeda, tidak seperti saat ketika logo itu diciptakan. Jika pun belakangan ada perubahan, biasanya sifatnya hanya minor dan tidak revolusioner.
Identitas yang dibentuk melalui ikon dan perpaduan warna sebuah klub yang tersemat dalam sebuah logo menjadi alasan lain mengapa logo-logo tersebut sulit untuk ditinggalkan. Ada nilai idealisme, sejarah, dan estetika yang harus dijaga, ketimbang mendesain ulang logo dengan yang baru.
Sayangnya, banyak di antara desain klasik logo klub sepakbola tersebut yang sulit diingat karena desainnya terlalu rumit dan menggunakan kombinasi beberapa macam warna sekaligus. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi klub untuk memikirkan kembali seberapa perlu sebuah klub melakukan pergantian logo.
Dalam kasus di Indonesia, misal kita lebih mudah mengingat logo klub yang tinggal sekota dengan kita karena mempunyai identitas yang sama. Namun, apakah logo klub tersebut akan mudah diingat oleh penikmat dan pelaku bisnis sepakbola lain yang belum familiar?
Fajar Junaedi pernah menuliskan ulasan tentang logo-logo klub dan identitas kota di Indonesia. Harapan untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah kota dengan menampilkan identitas kota pada logo klub nyatanya hanyalah isapan jempol. Pun banyak klub yang terkesan menjiplak logo klub asing dan belum bisa menerjemahkan visi dan misi klub secara lebih jelas ke dalam logo.
Pro kontra logo baru
Juventus FC baru saja mengumumkan desain logo barunya pada 17 Januari 2017. Aksen logo yang menurut saya sederhana, jelas, dan sangat revolusioner jika dibandingkan dengan logo klasik sebelumnya.
Dalam keterangan di situsweb resminya, logo baru Juventus merepresentasikan estetika DNA Juventus yang terukir ke dalam garis tajam membentuk huruf J, inisial kata Juventus. Logo yang diberi warna monokrom tersebut dirancang secara berani dan tanpa kompromi melampaui skema dan tradisi dalam sektor sepakbola.
Presiden klub Juventus, Andrea Agnelli, menegaskan bahwa pergantian logo Juventus bertujuan untuk mengenalkan Juventus kepada seluruh lapisan masyarakat, baik kepada penikmat maupun bukan penikmat sepakbola. Sebuah langkah berani Juventus yang patut ditiru klub-klub lain untuk mendefinisikan ulang sebuah logo sebagai atribut bisnis.
Tahun lalu, Premier League juga melakukan rebranding logo dengan desain yang jauh lebih simpel. Jika sebelumnya masih ada gambar singa dan dibatasi oleh sisi-sisi pentagonal, di logo yang baru hanya menyisakan gambar wajah singa dengan satu warna. Imbas dari desain baru tersebut adalah penyesuaian tampilan lini bisnis Premier League yang berbeda. Situsweb, aplikasi, hingga papan skor televisi menyesuaikan aksen logo.
Meski tampak lebih simpel, kedua desain tersebut cukup mudah diingat dan sarat makna, sama halnya ketika saat kita mengingat logo FedEx. Juventus akan lebih mudah dikenal lewat huruf J, Premier League akan lebih dikenal lewat wajah singa yang menjadi ciri khasnya selama bertahun-tahun. Interpretasi kita saat mengenali logo tersebut tidak dibebani dengan detail dan ragam warna yang kompleks.
Kelebihan lain kedua contoh logo tersebut yaitu mudah ditempatkan ke dalam publikasi digital. Bayangkan, jika logo-logo tersebut diperkecil, maka kedua logo tersebut akan lebih mudah dikenali ketimbang logo-logo klasik. Semisal jika kita melihat logo klasik Juventus dan A.C. Siena, yang secara bentuk dan warna utamanya hampir sama.
Tentu ada banyak cibiran seputar logo-logo yang baru diresmikan oleh sebuah lembaga atau klub. Subjektivitas dalam menilai logo tetap harus diapresiasi. Demikian juga dengan objektivitas. Selama logo klub tersebut masih banyak merepresentasikan sebuah klub dengan segala kekurangan yang ada, serta sesuai dengan visi dan misi klub di masa mendatang, saya kira hal tersebut bukan menjadi masalah serius.
“Masyarakat lebih akrab dengan desain yang buruk daripada desain yang baik. Ini terjadi karena mereka sudah terbiasa (lebih akrab) dengan desain-desain yang lama. Desain yang baru terlihat lebih mengancam, sedangkan desain yang lama menjadi tampak meyakinkan,” kata Paul Rand, desainer grafis yang pernah membuat logo untuk perusahaan sekelas ABC dan IBM. Penerimaan orang atas sebuah desain yang baru terkadang bukan soal baik dan buruknya desain itu, tetapi soal kebiasaan kita melihat hal-hal yang baru.
Sudah seharusnya klub-klub di dunia bisa segera menangkap semangat zaman. Jika ingin tumbuh besar dan dilirik sponsor, klub harus berani membangun klubnya dari hal-hal yang kecil, termasuk dengan menghadirkan kembali logo klub yang jelas dan mudah diingat oleh semua kalangan.
Bagaimanapun juga, sepakbola profesional tak akan jauh-jauh dari bisnis dan bisnis akan selalu bergantung dengan citra brand yang dibentuknya. Sebuah brand yang berhasil adalah yang mudah diterima dan diingat terus menerus oleh penikmat sepakbola. Entah dari logo, jersey, bendera, merchandise, atau hal-hal unik lainnya. Bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk investasi di masa yang akan datang.
Jadi, apakah kita akan segera familiar dengan kehadiran logo klub yang semakin sederhana dan mudah diingat itu? Akankah langkah Juventus segera diikuti oleh klub-klub lain?
Akankah logo-logo dalam bisnis sepakbola menjadi identitas yang lebih kuat secara bisnis seperti saat kita mengenali logo FedEx, Coca Cola, Nike, IBM, McDonald, Apple, hingga Starbucks? Kita tunggu saja.