Kala itu, Lilian Thuram baru saja menyudahi musim pertamanya bersama dengan . Tiga pekan sebelum kompetisi dimulai kembali, ia dikaruniai seorang buah hati. Bek berkebangsaan Prancis itu kemudian menamainya Marcus Thuram, layaknya seorang aktivis asal Jamaika, Marcus Garvey.
Nyaris 23 tahun kemudian, di depan wajah-wajah penonton yang dicetak dan ditempatkan di tribun Stadion Borussia-Park, Alassane Plea menyisir sisi kanan pertahanan Union Berlin. Bola kemudian ia kirimkan kepada Thuram yang sejurus kemudian menjebol gawang Rafal Gikiewicz.
Seperti biasa, ia melakukan selebrasi bersama rekan satu timnya di Borussia Mönchengladbach. Setelahnya, pemain bernomor punggung 10 tersebut melakukan selebrasi berlutut. Sebuah aksi yang dipopulerkan oleh seorang pemain american football, Colin Kaepernick.
Kaepernick memang sudah lama memulai aksi tersebut. Tujuannya adalah menunjukkan sebuah protes terhadap ketidakadilan sosial terhadap kaum minoritas di Amerika Serikat, terutama orang berkulit gelap. Sampai hari ini, maksud yang ingin disampaikan pun masih tetap sama, termasuk yang dilakukan oleh Thuram.
Penyerang muda itu melakukannya sebagai aksi penentangan terhadap tindak kekerasan salah seorang aparat di Negeri Paman Sam yang menewaskan George Floyd. Aksi serupa, dalam wujud yang berbeda, sedang marak terjadi akibat kematian pria berkulit gelap di Minneapolis itu.
Marcus mengambil bagiannya. Mencurahkan perasaannya di waktu dan tempat paling banyak kamera menyorot: di sisi gawang, setelah ia mencetak gol.
Sekitar 200 km ke arah timur laut dari kandang Gladbach, Julian Brandt baru saja membawa bola dari Thomas Delaney masuk ke kotak penalti. Si kulit bulat lalu ia berikan ke tiang jauh di mana Jadon Sancho dengan mudah menceploskannya ke gawang tim lawan, Paderborn.
Pemain sayap Dortmund tersebut berlari ke sisi lapangan sesaat kemudian. Melepaskan jerseynya dan menunjukkan goresan tinta hitam bertuliskan “Justice for George Floyd”. Membiarkan pesan itu tersorot oleh kamera selama beberapa dentingan waktu.
Lihat postingan ini di Instagram
Mantan pemain Manchester City itu sungguh bangga. Selepas laga, ia membagiakan foto momen tersebut melalui akun Twitter dan Instagram pribadinya sembari menyampaikan wejangan tambahan.
“Kita tidak seharusnya takut untuk berbicara tentang apa yang dianggap benar. Kita harus bersatu dan memperjuangkan keadilan. Bersama-sama kita lebih kuat!” ungkapnya.
Dua puluh lima menit sejak gol Sancho, Thorgan Hazard gagal menembus pertahanan Padeborn. Bola diselamatkan oleh Marcel Schmelzer, lalu mengirimkannya ke sisi kanan kotak penalti. Achraf Hakimi yang berada di sana menyambar si kulit bulat dan menaklukkan Leopold Zingerle.
Bek kelahiran Madrid itu hanya berdiam sejenak. Menyilangkan tangannya sebagai simbol anti-penindasan, lalu dihampiri oleh rekan-rekannya. Kemudian, masih di dalam kotak penalti, ia mengangkat bagian depan kaosnya. Terlihat pesan yang sama persis dengan milik Sancho tertulis di sana.
Sementara itu, Weston McKennie memang tak punya kesempatan selebrasi seusai mencetak gol. Tim yang dibelanya, Schalke 04, bahkan kalah ketika menjamu Werder Bremen di Stadion Veltins Arena. Namun, bukan berarti kehabisan akal.
Ia tahu bahwa dukungan untuk George Floyd itu bisa dilingkarkan di lengan kirinya. Selama 55 menit kata-kata itu terpampang. Tersorot oleh kamera dan dibawa gelombang elektromagnetik hingga sudut-sudut sempit manapun di muka bumi.
Usianya memang belum genap 22 tahun, tetapi ia berani mengamini apa yang dituliskan Sancho. Peduli setan dengan ancaman sanksi soal membawa pesan ke lapangan hijau. Baginya ―juga Sancho, Hakimi, dan Thuram―, pesan itu memang harus disampaikan.
Tak ada gentar jika datang surat investigasi dari DFB yang merupakan federasi sepakbola Jerman. Semua juga tahu mereka hanya berteriak soal kemanusian, aih-alih membawa pesan politik. Andai hukuman tersebut diketok palu, publik justru berada di belakang keempat pemain tersebut.
Akan tetapi, toh, tidak ada yang terjadi. Lagipula, Presiden FIFA, Gianni Infantino, malah mengapresiasi mereka. Melihat konteks terhadap situasi yang tengah terjadi, organisasi sepakbola dunia itu menganggapnya sebagai common sense.
Aleksander Ceferin mengangguk-angguk pula merespon kebijakan Infantino. Orang nomor satu UEFA tersebut mengatakan bahwa aksi keempat pesepakbola itu sesuai dengan cita-cita federasi yang tidak menoleransi rasisme di sepakbola Benua Biru.
Dua petinggi organisasi besar itu secara tidak langsung menyelentik kedua kuping Rainer Koch sampai merah. Wakil Presiden DFB itu sebelumnya membuka opsi untuk melakukan penyelidikan terhadap selebrasi Sancho. Ia mungkin sedang malu bukan kepalang pernah menyatakan itu kepada media.
Apalagi federasi sepakbola Jerman tersebut kini satu suara dngan Ceferin dan Infantino. Presiden mereka, Fritz Keller, telah menyatakan bahwa tak ada pesepakbola di Jerman yang akan terkena sanksi apabila melakukan protes terkait anti-rasisme.
Tak ada yang harus dikomentari terkait kebijakan tersebut, karena memang sudah semestinya begitu. Mereka sepertinya justru wajib menyalami Thuram, Sancho, Hakimi, dan McKennie karena telah menunjukkan citra apik sepakbola Jerman soal kemanusiaan.
Lihat postingan ini di Instagram
Mungkin malah ada banyak pihak di sekitar si kulit bulat yang berutang budi kepada mereka. Empat pesepakbola itu berhasil membabat alas. Membukakan jalan mulus kepada yang lain untuk menyampaikan solidaritas terhadap apa yang dialami George Floyd. Jalur yang akhirnya ditapaki oleh pemain-pemain Liverpool, Chelsea, Wolverhampton, dan AS Roma.
Atau bisa jadi justru kita semua yang seharusnya menyampaikan terima kasih. Karena meski hanya melalui layar gawai, aksi mereka mampu mencolok mata kita hingga terjengkang. Kemudian, bangun dengan kesadaran bahwa tak ada yang perlu ditakutkan andai ingin berbicara kebenaran soal kemanusiaan.