Desa tak sepatutnya hanya dikenang oleh pelancong dan dalam sajak para penyair karena desa sudah tidak lagi setenang sajak-sajak mereka.
Tempat yang satu ini sudah menjadi suatu gejolak yang diciptakan oleh berbagai kebijakan pembangunan berikut harapan-harapan yang menyertainya.
“Desa harus dibangun!”.
Seperti itulah kalimat yang sering didengar telinga ketika pejabat publik berpidato atau melakukan siaran pers. Belum lagi ratusan atau bahkan ribuan propaganda pembangunan yang acap digemakan.
Sejujurnya, hal itu bukan isapan jempol belaka sebab dana ratusan juta telah mengalir dengan tajuk, “Dana Desa untuk Kesejahteraan Rakyat”.
Harapannya, timbul improvisasi mandiri masyarakat dalam membangun desa sesuai potensi dan kebutuhannya. Muncul kemudian ide-ide wajah pembangunan yang tak biasa seperti membangun lapangan sepakbola berstandar internasional, alih-alih mengembangkan wisata berbasis kearifan lokal yang umum kita dengar.
Para jurnalis bergegas. Headline yang disuguhkan ke publik lantas pelbagai imaji tentang titik tolak mulainya kemajuan pembangunan sepakbola kita dari level terbawah.
Optimisme publik terhadap kemajuan sepakbola pun kembali terbangun karena sebelumnya lanskap putus asa terhadap pembangunan sepakbola di negeri ini terus tergerus oleh semrawutnya federasi dan minimnya prestasi yang dituai.
Keranjingan membangun lapangan sepakbola mulai menghinggapi warga hingga ke penjuru negeri. Desa yang tadinya hidup dalam stereotip ketenangan lantas ‘dipaksa’ menjawab titah yang tak main-main yaitu turut membangun dan memajukan sepakbola nasional.
Tatkala harapan itu masih dinikmati publik sebagai mimpi malam hari yang indah, kokok ayam jantan kadung merampasnya. Lapangan-lapangan sepakbola desa berstandar FIFA perlahan-lahan diterjang fakta-fakta miring.
Rumputnya mengering, dengan kontur lapangan yang tak lagi rata menunjukkan bahwa setelah lapangan itu dibangun, tidak diimbangi dengan perawatan yang baik.
Pembangunan lapangan sepakbola pada akhirnya hanya terjebak dalam pembangunan yang bersifat euforia. Pembangunan yang didasari efek kesenangan dan angan-angan sesaat.
Kita memang tak sematang Austria dalam hal membangun sepakbola dengan mengelola desa. Negara yang beribu kota Wina ini, membangun sepakbolanya dengan mengembangkan lapangan-lapangan desa sejak era 1980-an.
Konsep utama pengembangan sepakbola di negara yang berhias pegunungan Alpen ini tertumpu pada integrasi antardesa.
Warganya, tak terpaku hanya di kota-kota besar seperti Wina, Linz, Salzburg, Graz, dan Innsbruck, membentuk sebuah komunitas pembangunan sepakbola bernama International Football Camp Styria (IFCS) untuk menghubungkan desa satu dengan lainnya dalam hal pengembangan sepakbola secara kolektif.
Dari IFCS, antarwarga desa memikirkan pola perencanaan jangka panjang pembangunan sepakbola Austria. Federasi sepakbola Austria (OFB) menyambut itu dengan sumbangsih pemikiran tentang filosofi sepakbola Austria yang mengutamakan pembinaan. Ide brilian muncul, salah satunya dengan membangun kamp-kamp pemusatan latihan pada setiap desa.
Puncaknya, sejak tahun 1996 lapangan-lapangan desa di Austria tak hanya digunakan oleh tim lokal warga, tetapi juga dilirik oleh klub-klub top Eropa untuk menggelar pemusatan latihan pramusim seperti AS Roma, Manchester City, Paris Saint-Germain (PSG), dan Real Madrid.
Definisi membangun sepakbola dari bawah benar-benar terjadi di Austria. Pasalnya David Alaba, Marko Arnautovic, Martin Hinteregger, dan Marcel Sabitzer adalah beberapa pemain kelas wahid tim nasional yang tumbuh dari sepakbola desa.
Dari mereka, Das Team—julukan timnas Austria—berada di peringkat 15 UEFA dan 23 FIFA seperti dilansir dari situs resmi induk organisasi sepakbola dunia tersebut per Desember 2020 lalu. Capaian luar biasa bagi sebuah negara yang acap disebut sebagai pelengkap dalam konstelasi sepakbola Benua Biru.
Apa yang diperlihatkan oleh Austria menjadi bukti bahwa membangun sepakbola nasional dari akar rumput tak semudah membangun desa itu sendiri.
Namun di dalamnya menuntut pemahaman pengelolaan pembangunan sepakbola yang paripurna dari warga. Satu hal yang sepertinya masih jadi problem andai diterapkan di Indonesia.
Harapan-harapan membangun sepakbola dari desa seperti yang digaungkan oleh pers, pengamat sepakbola, federasi dan diamini oleh warga sendiri, mau tidak mau telah mengubah paradigma kehidupan di sana.
Akan tetapi, jika pembangunan sepakbola berbasis desa gagal, warga bukanlah kambing hitam.
Seperti di Austria, federasi dan seluruh unsur pecinta sepakbola mesti hadir meramu strategi pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab secara kolektif.
Satu yang perlu diingat, sepakbola memang harus dibangun dari komunitas terkecil, tetapi membangun sepakbola dari desa bukanlah membangun sebuah harapan.