Selalu ada rasa getir di ujung ingatan ketika –secara tidak sengaja– memikirkan sepak bola Indonesia. Apa yang sekonyong-konyong terpantik dalam pikiran pembaca ketika frasa “bola lokal” menyapa indra pendengar? Pengaturan skor? Gaji yang tak terbayar? Bobrok instansi? Atau kaca primordialisme negatif para suporter ketika memaki di pinggir tribun? Tak apa kalau pembaca mau misuh sejenak. Saya tunggu wis sebelum melanjutkan tulisan ini.
Begini. Bagi penulis, sepak bola adalah kesenangan batin sejak masih ngompol di celana. Sepak bola bukan hanya urusan “menyepak kawan dan lawan”, namun soal latihan kebatinan yang tinggi hakekatnya. Ndak percaya? Coba lihat bagaimana suap-menyuap menjadi tajuk sepak bola lokal. Tengok bagaimana para pemain yang ingin gajinya dibayar justru disebut mempermalukan klub. Ingat tidak dengan aksi WO Bonek FC kemarin? Jika batin ndak kuat, ya sepak bola hanya urusan nendang bola. Kosong.
Ada yang bilang batin yang bersih hanya milik bayi yang baru lahir. Suci. Nah, sepak bola, sebagai unsur yang berdiri sendiri tanpa manusia adalah “alat” yang bersih. Menjadi sangat menjijikkan ketika manusia yang terlibat di dalamnya menunjukkan kebejatan. Ya soal pengaturan skor dan egoisme eksternal itu. Sepak bola adalah “tabula rasa” di mana nukleus batinnya sangat jernih dan tanpa cela (baca: tanpa manusia). Ketika manusia bejat masuk (menghidupkan), unsur pengalaman dan persepsi ikut terinjeksi dan diserap. Maka, wujud bobrok sepak bola lokal menjadi terejawantahkan.
Sebagai sebuah “tabula rasa”, apa yang bisa kita lakukan kepada sepak bola sebagai bentuk kasih sayang? Derajat akal dan budi manusia selayaknya lebih tinggi ketimbang binatang (katanya). Maka, gunakan kedua “atribut 90+” dari Tuhan tersebut untuk menggarap sepak bola lokal sebaik-baiknya. Caranya? Ya belajar. Gitu aja kok repot.
Belajar bagaimana? Ya gampang, toh. Tengok Jerman yang mampu bangkit dari “tumpukan abu” era 1990-an akhir dan (kembali) berjaya di gelaran Piala Dunia edisi terakhir. Tidak ada resep rahasia kenapa Jerman bisa bangkit dari keterpurukan dan melukis harmoni di kanvas “tabula rasa” mereka. Bahkan Google dan ketukan jari di atas keyboard pun sudah bisa membuka wawasan. Jika perlu lakukan studi banding. Kan Indonesia paling yahud soal plesiran ke mancanegara.
So, aspek apa yang bisa kita “curi” dari perkembangan sepak bola Jerman? Oh tentu banyak. Yang paling kasat mata adalah soal pembinaan pemain muda, meningkatkan kualitas pelatih, dan pembenahan (dan pembangunan) infrastruktur. Di dalamnya terdapat grand design untuk menciptakan pemain-pemain muda potensial. Bukan hanya soal gocek-menggocek bola, namun batin yang sudah penulis senggol di atas.
Luar biasanya, DFB (PSSI-nya Jerman) memulai kampanye ini lewat komunitas akar rumput, dekat dengan masyarakat. Pemain muda, para pelatih, dan infrastruktur dipoles secara maksimal. Jerman memperlakukan sekolah sepak bola seperti “klub profesional” dalam hal manajemen dan proses hidup, bukan bercorak SSB seperti di Indonesia. Oleh sebab itu, para pesepak bola muda usia dini sudah menerima “latihan” paling ideal untuk berkembang menjadi pesepak bola profesional.
Urusan pemain muda potensial menjadi tanggung jawab klub. Investasi besar memang harus dilakukan. Namun, justru menjadi starting point sebuah blueprint masa depan. Jerman tidak mau lagi ada klub bernasib sama seperti Borussia Dortmund yang bangkrut dan terdegradasi, salah satunya karena berinvestasi raksasa justru di sektor transfer. Untuk aspek ini, DFB memiliki kontrol penuh terhadap klub. Jika klub tidak mengindahkan aturan yang sudah ditetapkan, lisensi klub profesional bisa dicabut. Terkesan kejam secara literal, namun inilah bentuk sebuah perencanaan.
Selain soal pembinaan pemain yang terstruktur dan detail, DFB tidak lupa menggenjot kualitas para pelatih muda. Sejak kegagalan di Euro 2000, DFB melakukan gerakan regenerasi pelatih dari old-fashioned ke pelatih yang muda, segar, inovatif, dan berani menciptakan trend baru. Kini, nama-nama pelatih muda seperti Roger Schmidt, Jurgen Klopp, dan Thomas Tuchel menjadi buah bibir.
Terdapat sebuah kawah candradimuka tempat pelatih muda Jerman ditempa yang disebut Hennes-Weisweiler-Akademie yang dipimpin Brendan Birch. Hanya pelamar-pelamar terbaik yang bakal diterima akademi ini. Konon, setiap tahun terdapat hampir 80 pelatih yang mendaftar untuuk belajar selama 10 bulan di Hennes-Weisweiler-Akademie. Namun, hanya sekitar 24 pelatih saja yang akhir lolos diterima.
Tiga hal fundamental, yaitu pemain muda, pelatih yang berkualitas, dan infrastruktur yang representatif sudah dibangun oleh Jerman. Kenyataan ini jelas ada di depan mata dan bisa dipelajari, ditelaah, diresapi, dan di-copy lalu paste. Ini seruan untuk sepak bola lokal, bahwa solusi ada di sekelebatan mata. Jadikan sepak bola sebagai apa adanya, sebagai “tabula rasa” yang di atasnya dapat dilukis pengalaman dan kenangan indah bersama, bukan dengan ego sektoral, apalagi pribadi yang busuk baunya.